Tentang Doa dan Harapan

Tentang Doa dan Harapan….

            Sahabatku bertanya beberapa kali tentang apa doa dan harapan di bertambahnya usia tahun ini, dan aku selalu menjawab ringan belum memikirkannya. Lalu malam ini, selepas magrib, setelah pertanyaan itu lagi.. akhirnya aku memikirkannya. Hari ini secara fisik aku tidak bekerja keras, aku menghabiskan waktu yang luar biasa menyenangkan dengan anak-anak di pantai. Aku dan mereka lagi tergila-gila dengan piknik dan bermain di pantai. Tentu saja dengan ikhlas aku bersedia menemani mereka. Menggenggam tangan mereka dan membagikan cerita lagi tentang apapun yang bisa aku bagi. Spesial membeli coklat dan kami makan bersama. Karena terlalu banyak anak yang ikut, akhirnya aku membagi satu bungkus coklat menjadi dua.

Ah, aku selalu suka desa dan anak-anak ini adalah kebahagiaanku. Kembali ke rumah, otak aku rasanya cukup penuh. Ini hari minggu, tapi aku masih mengutak atik borang, RPP, dan mengarang lagu belajar untuk anak… Lalu otakku sedikit penuh lagi dengan diskusi bersama teman penempatan aku  dan trustee, dan sore harinya masih berdebat dengan teman-teman di organisasi dulu tentang pandangan filosofis yang berbeda (haa…salamu juga si, mancing perdebatan di mainstrem yang tenang). Lho…kenapa aku jadi berceloteh ngasal ya… ya sudahlah, memang terbiasa ngasalkan kamu yan…!!!!

Kembali ke pertanyaan sahabatku tadi… “ apa wish kamu?”

Ha, mau berceloteh lagi…. soal ulang tahun, jujur saja aku lupa sampai ada anak kelas empat yang menulis di Jurnalnya tentang apa benar aku ulang tahun.  Anak-anak kelas empat sempat heboh dengan kebenaran ulang tahun. Mamak piaraku dulu bahkan sampai memanggil  dan menanyakan apakah benar berita ulang tahun ini. “anak-anak bisa-bisanya saja mamak” jawab aku menutup kalimat. Di pantai minggu lalu, anakku Edil berteriak,” enci…. ini kue ulang tahun, dan dia bernyanyi lagu selamat ulang tahun”  diikuti oleh anak-anak yang lainnya. Walaupun aku tidak mengkonfirmasi kebenaran benar atau tidak soal ulang tahun dengan mereka, tapi tetap saja, menurutku…ini adalah salah satu ulang tahun  paling romantis yang pernah aku jalani, karena berbagi bersama anak-anak ini.

Di penutup sabtu pekan ini, Fitri memberikanku kado, sebenarnya minggu-minggu ini, banyak sekali surat romantis yang ditujukan kepadaku. Membuat begitu terharu rasanya. Tentang terimakasih dan senangnya mereka belajar bersamaku. Di jurnal yang aku balas untuk mereka, akupun mulai memperkenalkan tentang penerusku dan guru-guru lain yang sebenarnya juga sama sayang kepada mereka. Anak-anak ini walaupun kadang selalu membuatku mengeluarkan suara keras, tetapi semangat belajar mereka, benar-benar mengalami peningkatan. Bolehkan aku menepuk pundak sendiri untuk ini….Kelas kami selalu bersih, mereka jujur berapa kali berkata kotor, semangat menghafal perkalian, potong kuku setiap minggu. Kemajuan-kemajuan kecil dari anak-anak ini adalah kado tak ternilai dari mereka di ulang tahunku.

Kado dari fitri adalah sebuah boneka lucu, yang dia selipkan di jurnalnya dan dia kumpulkan kepadaku. “ boneka ini untuk enci yanti…, mohon di terima ya”, Jujur, aku  hampir menitikan air mata ketika membuka jurnal fitri yang begitu romantis.  Satu persatu anak-anak aku begitu merasuk hingga ingin mengenal mereka dari banyak sisi, dan melakukan apa yang aku bisa untuk mereka. Walaupun hanya sepenggal kata motivasi atapun celotehan marah karena kenakalan mereka. Hah…. yang paling aku syukuri dari ikut Indonesia Mengajar adalah berkesempatan mengajar dan belajar dari anak-anak ini.

Aku kemudian ingin merefleksi perjalanan ulang tahunku. Dua tahun lalu aku masih di Yogyakarta ulang tahun dan kejutan sederhana di dunia pelangi.Tahun lalu, di malam pergantian ulang tahun.. Aku tepat berada di tengah hutan  berbivak sendiri, di temani bintang-bintang dan bunyi binatang malam. Aku begitu ingat malam itu…dimana aku merasa dekat sekali dengan engkau Rabb…. membaca ayat-ayatmu dengan penerangan seadaanya, dan menuliskan surat untuk diri aku sendiri. Dan malam ini, setelah lebih dari setahun….akhirnya aku membukanya..

Duh gusti, sudah setahun sejak tulisan ini, tulisan yang kubaca kembali disaat yang tepat, di sisa waktuku yang semakin sempit di desa.

Di sebuah hutan rimba, di 15 september 2012

Dengan kesederhanaan yang patut untuk di syukuri

Allah…Semoga selalu berkah…

Hai dude…ingat hari ini, ketika tepat di usiamu yang ke 26, Wow, ternyata hari ini ulang tahunku…Ketika Allah menitipkan nafas, ruh, dan jiwa ini kepada seorang aku. Ketika surat ini dikirim kepadaku, kira-kira aku ada dimana  ya..Mejene, Halmahera, Tulang Bawang, Bengkalis atau apakah Aceh dan Sulawesi. Jadi, apakah kamu tetap bersyukur yanti…..? sudahkah kamu melakukan yang terbaik untuk si kecil yang begitu luar biasa itu? lalu terus berkata untuk memaknainya….

Hei yanti, kamu adalah salah satu orang gila diantara calom PM yang sudah lulus sejauh ini, cara pandang  yang luar biasa basic ilmu yang berbagai rupa, dan keunikan perilaku yang sama-sama ingin berbuat yang terbaik kepada sesama.

Sudah kamu menjadi insprirator?

Sudah kamu mengeluarkan titipan ilmu yang diberikan kepadamu?

Apakah akhi-akhir ini kamu sering mengeluh? Jika ia, ingatkan berapa banyak yang kamu korbankan untuk mencapai ini?

Bagaimana sore sederhanamu

Dengan ilalang dan rumput liar, atau langit yang benderang, mungkin pantai yang menenangkan atau justru jalanan setapak yang membuat kamu paling tidak terus berolah raga. Bagaimana dengan pelangi dan rembulan di sudut yang berbeda.

Hei yanti….berbuat terbaiklah untuk  mereka ya, walau sederhana dan tampak biasa saja. Tapi mereka adalah anak Indonesia yang punya kesempatan, yang sama untuk bermimpi dan mencapai karya…Dan Allah memilihmu untuk menjadi bagian dari mencerdaskan mereka…. Jadi jangan pernah ada kata menyerah ya….

Apakah kamu sudah akrab dengan keluarga barumu?

Sudahkah kamu bercengkrama dengan warga desamu?

Apa yang sudah kamu sumbangkan untuk mereka dari ilmu mu?

Apakah ada taman bacaan untuk mereka?

Bagaimana dengan TPAnya?

Atau pemberdayaan masyarakat?

Kamu harus selalu peka dan jeli untuk melihatnya ya

Apakah kamu selalu berangkat dengan senang?

Motivasimu tidak akan pernah padam kan

Ingat yan….berbagi itu dengan hati

Jadi, masih tuluskah?

Allah, bimbinglah hamba, semoga selalu berkah dan mensyukuri segala nikmatmu. Semoga aku dan anak-anakku nanti, bisa terus melakukan yang terbaik.

Di solo bivak pelatihan Wanardi

Yanti

            Aku ingin menuliskan surat ini kembali sebagai pengingat bahwa malam itu, aku merasa amat dekat dengan Rabbku dan ada doa-doa yang terpancar di kesunyian malam. Lalu satu tahun setelahnya, ternyata aku ada di sini. Di Banggai dengan anak yang luar biasa dengan segudang tantangannya..Yang dari hari ke hari membuatku benar-benar jatuh cinta. Rabb, aku mungkin belum melakukan yang terbaik, tetapi aku melakukan semampu tenaga yang kupunya.

            Aku kemudian ingin menjawab pertanyaan yang kutulis malam itu. Keluarga baruku di Moilong sangat baik, mereka amat perhatian dan mendukung semua aktivitas yang kulakukan untuk anak-anak, soreku juga amat kunikmati kebersamaan bersama anak-anak itu…Aku kadang frustasi, kadang juga emosi, tetapi itu semua tertutupi dengan kebahagiaan atas keajaiban kecil dari anak-anakku.  TPAku bentuknya amat unik, ada nenek Aji yang usianya lebih dari 80 tahun. Beliau begitu menyayangiku, demikian juga aku….nenek yang selalu memelukku walaupun amat jarang aku berkunjung kesana. Malam harinya, aku akan pergi ke masjid. Aku ingin bercerita, anakku adalah anak desa yang pandai sekali mengaji berlagu. Kadang kami mengaji menggunakan mikropon yang terdengar satu desa. Aku begitu jatuh cinta dengan waktu antara magrib dan Isya, dimana aku bisa merasa amat dekat dengan Rabbku.

Taman baca kami adalah perpustakaan sekolah, dimana setiap sore aku dengan ringan melangkah kesana..Menemani anak-anakku beberapa lembar bacaan lalu mengamati mereka bermain. Ah, aku ingin melukiskan…kesempatan bersama mereka sunggu luar biasa…Aku amat bahagia. Untuk anak-anakku aku selalu berangkat dengan senang. Rabbku dengan cara apa aku harus bersyukur padaMu…dengan melakukan yang terbaik di titik dimana aku berada bukan…berusaha selalu tulus dalam berbuat, dan keikhlasan yang menyelingkupi… begitukah..? Aku sedang berusaha…. dan berilah aku kekuatan sampai akhir.

Lalu ketika sahabatku bertanya apa harapanku…..

            Yang terlintas di kepalaku adalah soal mereka. Soal Andi, Yani, Ikhsan, Eel, Aco, Fikar yang segera bisa lancar membaca. Soal harapan Hasni yang terus bisa sekolah. Soal Iyan, Yoga, Aco yang perilakunya bisa lebih baik. Soal Aliana, Fauzan, Hasna dan Fitri yang suatu saat melampaui sekedar Moilong untuk cita-citanya. Soal Suci yang kuharap bisa betah di sekolah, Edil yang semakin mengerti matematika, atau Irsa yang bisa lebih menghargai orang lain. Soal kepala sekolahku yang bisa menikmati dan lebih mampu mengelola sekolah, soal guru-guru yang semakin peduli dengan anak-anak atau soal orang tua yang ikut andil dalam pendidikan. Harapanku adalah sepenuhnya untuk anak-anakku. Anak-anak yang amat ku sayangi, dengan harapan mereka terus tumbuh lebih baik.

Itulah doaku di bertambahnya usia.

Aku akan terus belajar untuk itu…

22 September 2013

Alhamdulillah

 

Tentang Guru

Kemaren saya dan Ika bertemu dengan Pak Paiman dan salah satu seorang pengawas dari Luwuk Utara dan cukup banyak perbincangan diantara kami. Di sela menyelesaikan urusan dan misi kami ke Dinas, aku juga belajar sesuatu yaitu tentang menjadi Guru. Pak Paiman bercerita tentang beberapa muridnya yang sekarang sudah banyak menjadi seseorang dan tetap mengingat diri mereka. Tentang sisi menyenangkannya jadi guru dan bayaran tak bermateri dan lebih berharga yang beliau terima. “ ada murid saya yang meminta saya sambutan keluarga di acara pernikahan…itu ibu… acara gunting rambut, ada juga yang dipatok buat gendong bayi yang pertama”.  Saya menjadi membayangkan ketika usia sudah beranjak 40 atau 50 an seperti pak Paiman ini, bagaimana kabar murid-murid saya di Moilong ya…Apakah mereka mengingat saya?, tidak penting mereka ingat dengan sosok saya atau tidak, hanya berharap mereka mengingat pesan-pesan dan nilai yang saya coba ajarkan kepada mereka.

                “Saya pernah kunjungan, dibawakan banyak makanan kebun” Kata pak Paiman, “ pokoknya harusnya pergi itu mobilnya kosong” kata pengawas Luwuk Utara. Saya menjadi ingat lagi bagaimana kebaikan orang desa di tempat saya. Tidak pernah terbayang jika ada orang asing yang meminta anaknya pindah kamar yang baru dibuat dan lebih kecil, lalu menempatkan saya di kamar besar dengan kasur empuk untuk saya tinggali. Tidak juga saya mengira bingkisan dan banyak bantuan dari orang tua murid kepada saya. Saya juga begitu diperhatikan dan disapa dengan ramah, diajak pesiar dan disuguhi makanan enak setiap bertamu. Pun saya tidak pernah menerka bahwa ada seseorang yang selalu menangis ketika berkungjung ke rumahnya, memeluk saya hangat, dan berkata “ kasian kamu nak, sendirian disini…. sering main kamu kesini nak”.  Lalu ketika ada orang asing yang menyebut saya dalam doanya, mendoakan saya sayang terbaik dan selalu sehat…. bukankah bayaran menjadi guru menjadi tidak ternilai.

Menjadi guru itu memang spesial, menjadi guru dan berbagi bersama anak-anak itu sungguh membahagiakan. Ketika banyak rasa antara tantangan dan keajaiban…. mendengar cerita Pak Paiman dan Pak Pengawas, saya menyadari satu hal…. setelah sekian puluh tahun paska mereka mengajar, apa yang membuat mereka terus diingat oleh murid mereka adalah soal ketulusan, tentang kebaikan, hal pengabdian. Saya kemudian mencoba merefleksi tentang guru saya dulu. Berapa orang guru yang pernah saya ingat dan berkesan di memori saya..Jawabannya tidak banyak. Saya ingat seorang guru yang sabar dan baik ketika SD dulu, yang selalu mempercayakan menulis catatan di papan tulis untuk teman-teman saya. Ketika kecil dulu, hal sederhana  ini membuat saya merasa diberi tanggung jawab. Saya juga punya seorang pelatih pramuka. Namanya adalah kak Ridwan dan beliau sangat baik kepada anak didiknya. Yang teringat saat ini, saya SD adalah pecinta pramuka dan kegiatan perkemahan. Mengapa bisa demikian, karena kak Ridwan mengajarkan saya dengan  sabar dan kesenangan. Tentu saja saya juga mengingat guru saya yang amat galak, yang membuat saya takut dan berfikir bagaimana cara menghindar. Saya menjadi tidak mengerti mengapa pelajaran yang diajarkan menjadi penting, karena pada dasarnya kognisi saya tidak lagi berfokus pada hal ini. Akhirnya, seumur hidup saya, saya hanya mengenang sisi beliau yang galak dan suka menghukum tanpa sempat mengerti itikad baik dari sikap beliau.

Ketika menjadi guru saya kemudian mengerti bahwa tidak semuanya adalah hitam dan putih. Bahwa tidak bisa saya membagi begitu saya antara guru baik dan guru jahat seperti pandangan saya kecil dulu. Guru adalah guru, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dengan beragam cara dan tindaknya. Tetapi ketika dia adalah guru….maka dia adalah bagian dari pendidik untuk membuat perubahan di dalam diri peserta didik terlepas bagaimana cara dia memenuhi tanggung jawabnya. Dan saya sekarang  percaya bahwa seorang guru, terlepas sisi manusianya yang penuh dengan khilaf….selalu bermaksud baik pada muridnya.

Setahun ini saya adalah guru SD, di bulan-bulan saya ada masa di mana semangat sedang meninggi, frustasi akibat sebuah perilaku atau frustasi karena kompetensi. Menjadi guru itu memang rasanya nano-nano. Dan saya menjalaninya hanya setahun ini, saya membayangkan bagaimana sosok guru yang adalah profesi seumur hidup. Tidak hanya butuh dedikasi tetapi keteguhan dan ketulusan untuk selalu bertahan. Seperti saya yang kadang amat lelah, yang pada masa lainnya juga amat menikmati…. saya mencerna bahwa harus ada sesuatu yang lebih dasar untuk membuat guru bertahan sekian tahun tanpa rasa pesimis terhadap anak didiknya. Saya percaya dasar itu adalah kecintaan…kecintaan yang membuat kita terus ringan bergerak, kecintaan yang kemudian walaupun amat lelah tetap terus bergerak.  Saya kemudian bertanya kepada diri sendiri, di sisa tugas saya, apakah saya mencintai menjadi guru…Jawabannya adalah saya mencintai anak-anak saya, lebih jatuh cinta dari pada biasanya….dan untuk itulah saya terus bergerak.

Terimakasih Guru….:)

 

Sore bersama mereka

Aku itu ternyata narsis lho….:),

edisi mengamati berkebun anak-anak, dan sore menyenangkan di sekolah

Gambar

Aku dan Anak-anakku

Aku dan Anak-anakku

Lagi bahagia-bahagianya bersama mereka……

Gambar

Berceloteh Cita-Cita

Berceloteh Cita-Cita

Belakangan ini ada beberapa orang yang mengingatkan tentang cita-cita, tentang apa yang diinginkan di masa depan… Jujur, sepuluh bulan ini, saya sungguh terlena dengan masalah keseharian, yang dari hari-ke hari seperti rutinitas untuk di selesaikan. Atau lebih tepatnya saya amat menikmati edisi menjadi pengajar muda, yang apapun masalahnya seolah ini adalah masalah-masalah di negeri dongeng yang pada akhirnya akan selesai ketika tiba-tiba ada yang mengguyur saya dengan air. Detik itu terus berjalan, hingga saking sporadisnya tiba-tiba saja kebahagiaan saya ini segera selesai, lalu hanya ada satu kata yang pantas saya sematkan dalam-dalam “ move on”.

Ibu saya tercinta, sedang rusuh dengan masa depan saya..tentang kemapaman yang dari dulu selalu diharapkan dari anak-anaknya. Masalah terbesaranya adalah versi mapan ibu saya adalah dengan menjadi “ PNS”, ini juga berlaku untuk kakak saya yang sebenarnya sudah bekerja di posisi yang lumayan…Kalau dipikir-pikir si, ngapain…. tapi begitulah…mungkin di setiap doanya, adalah harapan sederhana untuk kebahagiaan anak-anak dimasa depan, dengan gaji konsisten tiap bulan, dan kenaikan tunjangan berkala setiap beberapa tahun.

Aku sebenarnya sudah agak capek jadi anak ngeyel dan keras kepala, jadi kali ini, aku manut saja… melihat dan mengikuti apapun prosesnya, tanpa harapan apapun…masa-masa dimana aku seperti beberapa hal dalam hidupku…Menyerahkan saja PadaMu Rabb… Pasrah itu pada akhirnya membuat lebih ringan, lega dan tak perlu merasa banyak khawatir..

Merangkai Cita-Cita….

Saya pikir-pikir, sebenarnya cita-cita saya pada akhirnya tidak terlalu banyak. Kesempatan untuk melihat banyak dunia dan perspektif itu adalah bonus, tetapi yang paling penting adalah ketika hidup saya ini bermanfaat dan saya bisa ikhlas… Wuih, Abot sebenarnya ini…. Benar-benar menyelesaikan apa yang disebut masalah dasar, menjalaninya dengan bermakna, dan keseharian saya dibalut dengan syukur dan sabar… Ah, Gusti… apa ini terlalu utopis….

Ngoceh Malam…..

Jadi Apapun…Alhamdulillah

Jeda Sejenak

Well, sudah lama rasanya tidak menulis sembarang ngalir di blog, semenjak blog multiply saya tiba-tiba berubah menjadi situs komersial, kapan-kapan kalau saya jualan kue, buku, baju atau buka tempat cucian motor, nanti perlu di iklankan disana…sebagai penebus ratusan tulisan saya yang tiba-tiba raib dengan sempurna. Dimana saya sekarang, sekarang ada di mesjid Agung, memang Allah harus menakdirkan saya ke Luwuk minggu ini, padahal niatnya ingin bermain sepenuhnya dengan anak-anak saya yang luar biasa itu….

Hooo, rekor baru hari ini adalah saya mampu mengendarai Moilong-Luwuk dalam dua jam…. boleh dapat tepuk tangan kan ya…he, gak ngebut kok, cuman sekitaran delapan puluh aja…. sampai sini, saya menyadari kebegoan saya..ini hari minggu, dan banyak yang tutup…Yanti….!!!!!!!, kenapa saya tidak pergi besok saja setelah sekolah dan kembali subuh-subuh…Sudahlah, nasi sudah menjadi bubur…tapi ya, kenapa pepatah ni selalu dikaitkan sama nasi seseorang, emmm…misalkan kenapa tidak Mie ayam tinggal kuah, atau soto ayam kurang garam…Ya Ampun yanti…ya jelas aja gak nyambung!!!!!

Untunglah pagi ini saya bersenang-senang dengan anak-anak di Pantai…percayalah, ini salah satu piknik yang paling menyenangkan….“Enci, menyanyi terus, kita orang mendengarkan”,  percayakan suara saya bagus….ha, mungkin teman saya di Malang akan garuk-garuk sambil berkata ” apa….bagus dari mana”. Paling tidak saya mempunyai pendengar dan penggemar setia untuk menyanyi, yaitu murid-murid luar biasa saya yang super aktif menjelang hiperaktif….Hah…sambil mengambil nafas…..

Kenapa saya ke Luwuk, kalau nasehat teman saya dulu di Bandung si karena  ” birul walidain”, ini adalah salah satu nilai ibadah yang paling tinggi di mata Allah….Yang jelas, ini adalah untuk menyenangkan hati ibu saya.. Sisanya ya Rabb, terserah Engkau….

Ah, sudah lama aku tidak merayu Tuhanku dengan kata…sekali lagi…semenjak blog saya yang dulu hilang…. Pokoknya Rabbku, apapun….Alhamdulillah….

Ingin bercerita banyak, tapi saya masih harus menyelesaikan list saya di Luwuk, biar gak terbuang percuma….biar berdaya, dan lebih ikhlas akhirnya karena satu hari tidak mendapat pelukan hangat dari anak-anak kelas empat saya…..

Blog saya ini sepertinya harus ganti nama deh….kembali menjadi blog katarsis emosi….

Tentang Berangkat Haji di Desaku…

WP_20130912_002

Labaik, Allah humma labaik, labaik allahummna labaik…

Pa Asfi memimpin alunan lafat talbiyah untuk mengiringi jamaah haji turun dari pelataran mesjid dusun kami. Hatiku bergetar atas maknanya  “kusambut panggilanMu ya Allah…kusambut PanggilanMu”. Aku pun menjadi begitu rindu ingin melihat Ka’bah, kiblat umat muslim seluruh dunia dan tempat dimana banyak sejarah Islam bermula. Banyak warga desa ikut menangis melepas kepergian nenek Winda (muridku kelas empat). Nenek yang biasanya sholat di sampingku pada jamaah magrib dan isya, nenek yang biasa bertanya kepadaku “ kemana kamu nak…”  jika sudah lama tidak kelihatan di mesjid, dan terakhir nenek mengomeliku karena tidak datang ke acara haji beliau saat aku harus bertemu orang dinas ke kabupaten.

Sebelum mobil benar-benar berangkat, suara azan menyertai haru sebagai penutup pelepasan sederhana di dusun kami. Merinding rasanya, ketika melihat orang-orang desa menangis haru dan bahagia saat melepas kepergian keluarga mereka. Perjalanan haji, bukan hanya perjalanan jauh melintasi negara, tetapi adalah tertunaikannya rukun Islam ke lima sebagai pelengkap ke Islaman seseorang. Bagi kampungku yang hampir seratus persen muslim, mampu naik haji adalah hal yang sangat diharapkan. Bahkan ada cerita beberapa orang telah tertipu oleh iming-iming akan segera berangkat haji secepatnya.

Dua minggu ini, tema pesta di desaku dan sekitarnya adalah tentang pergi haji. Acara selamatan pergi haji sama spesialnya dengan pesta nikahan seseorang. Enci Siti Har, seorang guru di tempatku bahkan memotong seekor sapi dan mengundang lebih dari 500 dari beberapa dusun untuk datang di selamatan.  Satu malam sebelum pergi, Enci kemudian mengundang beberapa orang lagi untuk kegiatan pengajian yang di dalamnya ada bersanji dan mengaji. Bersanji adalah bagian dari adat bugis yang menurutku menarik. Biasanya selalu digunakan dalam acara-acara selamatan, seperti Mapacing  (acara untuk pernikahan), potong rambut, ataupun lahiran. Isinya adalah pujian-pujian kepada Allah dan rasulnya. Biasanya ada satu orang (umumnya Imam) yang memimpin bersanji, dan sahut-sahutan dengan jamaah yang hadir.

Ibu piaraku dan beberapa orang dekat yang ku kenal di desa juga ikut sibuk dengan persiapan naik haji ini. Saat selamatan, aku dan ibuku pulang hampir jam sebelas malam, dan beberapa guru malah tidak masuk sekolah ke esokan paginya.  Aku cukup menikmati berkumpul dengan ibu-ibu bugis di malam hari dan bebantu seadanya.  Menggoreng pisang atau menggiling onde-onde. Mereka saling bercerita, aku mendengarkan, kadang aku juga menimpali. Suku bugis di desaku sangat terbuka menurutku, setelah kenal dan akrab, orang baru serasa sudah menjadi bagian dari keluarga itu.

Acara selamatan haji di bugis menurutku sama uniknya dengan acara pernikahan. Dulu, pernikahannya yang kuhadiri, diisi dengan berbagai sambutan dahulu, baru makan-makan. Di Bugis berbeda, ketika ada acara (lazimnya di sebut pesta), Pembawa acara setelah dibuka dengan doa, meminta tuan rumah untuk berdiri yang bermakna mempersilahkan untuk mencicipi makanan yang disajikan. Setelah semua kenyang, baru setelah itu seremonial lainnya. Acara dibugispun tidak lama-lama dan umumnya selalu tepat waktu. Jika habis isya, maka pasti akan dimulai tepat setelahnya. Dengan format acara jamuan makan di awal, tamu mau tidak mau dituntut untuk menyelesaikan acara hingga selesai. Au kabur dan tiba-tiba pulang???, silahkan saja malu dan dipelototin semua orang, mau terlambat datang ke pesta? Mari tidak bisa menikmati jamuan ala Bugis yang super lezat…”aneka rasa daging yang nikmat”.

            Mungkin hampir tujuh mobil yang mengantar jamaah haji untuk dua orang dari desaku, sedangkan Enci Siti Har berangkat dengan tiga Mobil. Semua mobil itu  berisi penuh penumpang, antara 6 sampai delapan orang. Aku membayangkan pasti Masjid Agung di Luwuk (Kabupaten), akan sangat penuh dengan manusia. Memang benar ternyata, “ baku desak dan baku tolak itu manusia” cerita ibu piaraku selepas pulang dari Luwuk.  Semoga saja jamaah haji yang berangkat dari desaku, bisa kembali dengan selamat dan berkumpul dengan sanak keluarga.

Catatan : selepas menikmati pagi dengan langit yang amat indah dan ombak yang tenang… serta harunya orang-orang desaku.

Mari menikmati setiap detiknya

12 September 2013

.

Tentang Imam Masjid dan Mengaji

imam mas jid

” Akan selalu ada orang-orang yang tulus untuk berjuang…Aku percaya itu…”

Catatan 10 September 2013

Malam ini Imam mesjid yang akrab kupanggil tetek (kakek) menyapaku…sudah lama rasanya tidak ngobrol bersama tetek. Terakhir aku bicara banyak adalah saat kemah pramuka di bulan juni lalu, saat aku menerima kabar kalau tetek sedang di rawat di rumah sakit. Bergegas kala itu aku langsung ke puskesmas dan melihat bagaimana keadaan beliau.  Tetek terlihat capek sekali, tubuhnya terlalu tua untuk bekerja berat, apalagi dengan tanggung jawab tambahan sebagai Imam Masjid dusun kami.

“Enci kemana saja, so lama tidak kelihatan di mesjid”

“ saya pulang kampung tek, baru dua minggu lalu balik, tapi belum ke mesjid karena bolak-balik Luwuk terus”.  Aku melihat tetek tampak tidak sehat, tetapi wajahnya selalu teduh dan  menyenangkan.

enci, jaga anak-anak mangaji ya, anak-anak senang sebenarnya mengaji, tapi tidak ada yang jaga”

“ tidak adakah tek, remaja mesjid yang bisa menjaga bisa menjaga mereka mengaji, siapa tau saya sering ke Luwuk, dan saya juga tidak selamanya disini.. apalagi kalau tetek yang bajaga terus nanti pasti capek”

“ itulah nci, susah agak susah mengarap remaja mesjidnya disini, saya berharapnya dorang-dorang itu memang, tapi mau bagaimana lagi…. saya mau berhenti jadi imam nci, bingung juga saya siapa yang ganti..”

Aku melihat kebingungan di cerita tetek kepadaku.

“ apakah tidak ada yang tetek sarankan untuk menjadi imam”. Aku kemudian menyebutkan beberapa nama tokoh masyarakat yang biasanya mengisi acara keagaman.

tidak tahu enci, harusnya yang ilmunya pas itu dorang-dorang itu, tapi masyarakat di sini susah, mereka sering tidak mau, harusnya nanti dirapatkan habis sembahyang jum’at. Saya sudah dua tahun lebih jadi imam masjid…sudah tidak dimampu saya rasa…”

Perkara menjadi imam bagiku entah kenapa adalah urusan sederhana, asal ilmunya ada dan sanggung jadi Imam, pemuda yang baru beranjak dewasapun tidak masalah. Hanya saja urusan imam, bagi tetek  dan masyarakat dusunku ternyata agak berbeda. Selain sebagai imam masjid, imam kampung sering di daulat pada acara-acara keagamaan, menjadi saksi pernikahan, atau bahkan yang menikahkan. Tokoh yang netral dan disepakati warga desa semacam syarat mutlak terpilihnya imam.

“ dulu saya sempat mau berhenti, sempat empat bulan lebih tidak ada imam enci….lalu yang dari Jakarta (orang desa yang sekarang sukses) memanggil saya, dan minta tolong di mesjid…”

Jujur  aku sayang sekali dengan tetek, dan perkara imam masjid tentu sudah di luar kendaliku sebagai pengajar muda. Aku hanya berharap tetek sehat, dan tidak terlalu capek. Aku tau, menjadi imam masjid bagi tetek bukan cuman sekedar memimpin sholat berjamaah di setiap waktunya. Tetapi menjaganya agar tetap nyaman untuk semua warga menggunakannya. Sering aku melihat tetek menyapu masjid sendirian, menyalakan dan mematikan lampu, mengulung dan membuka sajadah di masjid, atau menjadi pemukul bedug tanda waktu sholat. Ketika mesjid belum selesai sepenuhnya di rehab, tetek  menurutku adalah orang yang paling pusing dengan kondisi ini. Aku sendiri sampai frustasi dengan hujan yang deras, dan membasahi lantai dalam mesjid, karena aku tahu siapa yang nanti akan bekerja keras mengepelnya.

Perkenalan ku dengan tetek adalah hari kedua aku tiba di desa. Saat pertama kali aku menginjakan kaki di mesjid Nurul Iman Dusun Moilong. Tetek adalah tokoh masyarakat pertama yang aku kenal. Saat selepas magrib, aku mendekatinya yang sedang berkumpul dengan anak-anak dan mengajar mengaji. “ bolehkah saya ikut mengaji”, Ada ekspresi bingung dari tetek  kala itu…mungkin dibenaknya sedang berkata “ siapa perempuan ini, wajah asing yang tiba-tiba ingin ikut mengaji”. Biasaya tetek memintaku mengaji dengan mikropon di mesjid, dan meminta anak-anak mendengarkanku, tetapi lama-lama aku sudah bisa menghindar dari permintaan ini, mengaji di mikropon dan di dengar satu dusun tentu adalah beban moral untukku. Ketika aku sedang menstruasi dan tidak hadir di mesjid, banyak orang akan bertanya mana enci?,  agak susah untukku menjelaskan terutama kepada anak laki-laki kelas rendah tentang kondisi ini.

“Saya enci, biar satu anak saya ajar..biar satu huruf”,  itu adalah ucapan tetek di awal-awal kebersamaan kami mendampingi anak-anak mengaji.  Tetek kemudian menjadi orang penting untukku di desa ini karena aku merasa beliaulah orang desa pertama yang menerimaku dengan terbuka, dengan rentang usia yang begitu jauh dari ku-usia tetek sekarang 72 tahun, tetapi mempunyai keinginan yang sama untuk mendidik anak-anak. Jika tidak benar-benar sakit atau ada urusan amat penting, tetek tak pernah absen mendampingi anak-anak mengaji selepas magrib, dia dengan sabar membetulkan satu persatu bacaan anak-anak yang salah. Bulan-bulan terakhir ini, tetek sering sakit-sakitan sehingga urusan mengaji anak-anak kadang diserahkan kepadaku. Aku kadang sering risau sendiri, jika ada urusan ke kota atau kala aku sudah tidak di Moilong lagi, dan penerusku PM berikutnya tidak memiliki minat yang sama dengan urusan mengaji dan masjid.

Ayat demi ayat yang tetek ajarkan kepada anak adalah tanpa bayaran, biarlah Allah yang akan membalasnya. Tetap sehat ya tek….

Harusnya entah bagaimana caranya, para remaja masjid ini yang mendampingi anak-anak agar mereka tetap cinta masjid dan Al-Qur’an.

Catatan 14 September 2013

Beberapa hari sebelumnya, mas Hara seorang remaja Masjid yang dulu pernah membantu pesantren ramadan desa menyapaku selepas Isya. “ enci baajar mangaji tadi…, sendirian?”, Ku jawab dengan anggukan. Lalu mas Hara hanya geleng-geleng, tanpa ku mengerti maknanya.

Sore  ini, saat anak-anak belajar di sekolah, mereka kemudian bercerita kepadaku…”enci…katanya mas Hara mau mengajar kita orang mengaji”.  Aku sedikit terkejut dan senang mendengar berita ini, aku hanya berhadap semoga ini benar mengingat beberapa hari yang lalu aku sedang bingung dengan pengajar mengaji ini.

Ternyata berita ini benar, Mas Hara membawa Al-Qur’annya  dan tidak pulang selepas Magrib. Aku kemudian bertanya kepadanya ingin mengajar kelas berapa kepadanya. “Yang SMP sama SMA sama saya saja Enci”.  Formatsi mengaji malam ini kemudian berubah, biasanya anak-anak mengaji dengan mikropon satu persatu, malam ini anak-anak kemudian di bagi menjadi tiga,  SMP dan SMA dengan Mas Hara, SD perempuan bersamaku, dan SD laki-laki kemudian tetek yang ajar karena sudah beliau lebih sehat.

Bagaimana perasaanku, rasanya senang dan sedikit lega lalu berharap semoga ada lagi remaja masjid yang bergabung untuk mengajar anak-anak ini mengaji. Formasi seperti ini lebih memudahkan mengontrol benar dan salah bacaan anak-anak dari pada formasi sebelumnya, apalagi dengan banyaknya anak-anak yang kadang-kadang ribut dan rebutan mikrpon. Innamaal usriyusra (sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan). Aku kemudian percaya bahwa akan selalu ada orang-orang tulus yang tergerak hatinya untuk membuat lingkungan sekitarnya lebih baik.

sembilan puluh empat

Sembilan Puluh Empat….

“Saya meninggalkan cara berpikir seekor burung, yang memungkinkan kita melihat segala-galanya jauh dari atas. Saya mulai melakukan pandangan seekor cacing, yang berusaha mengetahui apa saja yang terpapar persis di depan mata. Saya mencium baunya, menyentuhnya, dan melihat apakah ada sesuatu yang bisa saya lakukan (Muhammad Yunus)

 

            Beberapa bulan lalu, aku iseng menghitung berapa jarak yang dihabiskan dari desa menuju ibu kota kabupaten, dan jaraknya adalah sekitar 94 km, sekarang mungkin tambah beberapa kilo lagi karena ada jalan yang harus muter di daerah Batui.

            Sering sekali aku melalui perjalanan kabupaten ke desa atau sebaliknya entah dengan beragam  urusan.  Aku bahkan mengevaluasi kemampuan mengendaraiku, yang mungkin sekarang tambah tidak tahu aturan… Badankupun menjadi beradaptasi, awal-awal lelah, menjadi biasa saja… bahkan bisa saja dalam sehari aku bolak balik untuk mengejar sekolah besok harinya.  Aku tidak pernah bosan dengan pemandangan yang kulewati di hampir tiga jam perjalananku. Pantai, perkampungan, perusahaan besar yang baru dibangun, sawah, atau perkebunan sawit. Kadang-kadang aku melihat pelangi di perjalan pulang. Sebuah bonus keindahan alam lainnya.

            Jalanan yang kulaluipun dari awalnya rusak parah, perbaikan, rusak lagi, sampai semi perbaikan. Mungkin saja ketika PM angkatan lima di Banggai, jalanannya sudah semulus jalan tol…berharap saja!…Motor bapak yang kupinjam untuk bolak balik nasibnya kadang menyedihkan,  adalah rutinitas yang pasti ketika sampai ke desa, bapak akan mengambil air dan membersihkannya.  Sudah tidak terhitung berapa kali motor ini bannya di tambal, entah karena  lubang yang kami tabrak atau bannya yang sudah mulai tipis,  bahkan pernah motor ini tiba-tiba saja mogok di sela hujan, sampai aku dan Ika harus minta tolong satpam-satpam sebuah perusahaan yang kami lewati untuk membawanya ke bengkel.

            Begitulah, buatku perjalanan ke desa tidak sedramatis temanku yang kemudian harus naik 20 km dari jalan poros, melewati jalan banyak berbatu dan jembatan semi menakutkan karena licin dan bolong-bolong. Perjalanku mungkin juga tidak semengharukan teman penempatanku lainnya, yang kadang harus berjudi dengan angin dan ombak untuk sampai ke sebuah pulau kecil di tengah laut.  Desaku hanya terletak paling ujung penempatan kami yang bisa di tempuh dengan mengendarai motor sejauh kurang lebih 94 km,

Tapi hari ini….

            Aku merasa lelah sekali…94 km itu bagiku amat jauh entah kenapa…. sepanjang perjalanan diguyur hujan yang tak berhenti, dan hanya aku yang berkendara sendiri..Biasanya ada Ika teman boncenganku atau kalaupun aku sendiri ada hari yang cerah mengawalku. Aku sedikit mengutuki diriku sendiri kenapa pulangnya ke sorean, sehingga ketika aku lewat perkebunan sawit di hari benar-benar gelap, tidak ada satupun kendaraan yang lewat dan hujan tambah tidak berkompromi. Bukankah badanku cukup banyak lemak akhir-akhir ini, tapi tetap saja aku mengigil kedinginan. Air hujan begitu deras mengguyur mataku hingga berhasil membuatku berjanji untuk mengganti kaca helm bapak yang sudah retak. Di sisa perjalanan malamku ke desa, harapanku ternyata sederhana, keseimbangan berkendaraku tetap baik walaupun entah berapa lubang yang kutabrak karena aku hampir tidak melihat jalanan.

Sembilan puluh empat kilo meter….

            Setiap jaraknya mewakili banyak cerita penuh makna di penempatanku di Banggai. Atas suka, duka, marah, kecewa, semangat atau lelah. Pernah aku begitu amat menikmati perjalaanku, pernah juga satu masa aku berkendara kencang karena kemarahanku, satu waktu banyak obrolan mencerahkan di perjalanku selama berboncengan dengan teman-teman penempatanku, waktu lainnya kami hanya diam seribu bahasa seolah tak ingin menyapa. Kadang aku terburu waktu, kadang lainya aku merasa tidak peduli dengan detik yang berlalu.

Rupa perjalanan yang merefleksikan atas banyak detik yang kulalui….

            Sepanjang perjalanan aku kemudian mulai memikirkan tentang banyak hal yang sudah kudapatkan selama sepuluh bulan ini. Entah terbawa suasana atau ini pengaruh lagu melow yang menemaniku sepanjang perlananan. Perjalanan sendiri mungkin membuat kita jauh bisa memikirkan banyak hal. Aku kemudian tanpa sadar menjadi menitikan air mata.  Atas sempitnya waktu yang tersisa di desa,  tetapi entah…. sebagian besar aku masih tidak tahu harus bagaimana. Yang kulakukan sekarang adalah tetap berusaha menjadi cacing dalam perilaku, dan berfikir seperti burung dalam keseluruhan.  Aku di hari-hariku di penempatan kemudian hanya berusaha kepada satu titik, melakukan apapun yang terbaik yang ada di depanku, mengendusnya, melumatnya dengan sederhana, dan memberikan setiap semangat dalam perbuatannya. Sambil entah dengan bagaimana menemukan sesuatu yang lebih besar dan mendasar atas hal-hal apa yang seharusnya dimiliki anak-anaku sebagai bekal mereka nanti ketika dewasa.

            Aku kemudian berteriak dalam diri…” akupun butuh energi, aku butuh charger untuk mengisi tenaga yang seolah hampir habis akhir-akhir ini”.  Seperti tulisan yang membutuhkan spasi, seperti ibadah sholat yang mengharuskan tuma’ninah, atau sebuah perjalanan panjang yang kadang membutuhkan transit terlebih dahulu untuk sampai ke tujuan. Aku pada akhirnya butuh sejenak merebahkan diri tanpa memikirkan apapun dan siapapun, hanya egosis dengan diri sendiri untuk sekedar merefleksi dan menata kembali. Yah…Di titik ini, tiba-tiba saja aku merasa sangat lelah.

            Aku ingin terbangun dengan pagi yang hangat…dengan ceria dan cerita sederhana anak-anakku. Melangkahkan kaki dengan ringan dan terus memiliki alasan kenapa kemudian aku harus terus bergerak. Adalah anak-anakku yang membuatku begitu jatuh hati, bahkan dari hari ke hari di sisa kebersamaan kami yang semakin sempit. Anak-anak yang suatu saat nanti akan melampaui lebih dari 94 km ku untuk mencapai cita-cita. Keluar dari dunia kecil desa Moilong, belajar banyak tentang dunia kemudian kembali untuk membangun orang-orang di sekitarnya.

            Kemudian aku membaca lagi dan lagi kalimat Muhammad Yunus, kata ajaib yang terus menemani perjalan bulan demi bulanku selama menjadi pengajar muda. Sebuah pemahaman yang kemudian menjadikanku akar rumput bagi orang-orang di sekitarku dan percaya bahwa ada Allah yang selalu mendampingiku… Yah, Mengutip kata-katanya Pak Hikmat, Tuhan selalu ada di akar rumput.

Aku berharap 94 km selanjutnya, ku jalani dengan lebih ringan, atas apapun yang terjadi di sisa perjalananku sebagai pengajar muda. Bahwa 14 bulan waktu yang kuberikan, adalah sepenuhnya untuk mereka. Aku kemudian menasehati diri, mari kita nikmati saja setiap detiknya. Atas senang, sedih, kecewa, marah, semangat atau lelah. Seperti nasehat seorang teman kepadaku…” teruslah bergerak, hingga kelelahan pada akhirnya lelah mengikutimu, teruslah berlari, hingga kebosanan bosan mengikutimu”.

            Selamat sepuluh bulanan Yanti, begitu juga dengan teman-temanku di penempatan..Auliya, Ika, Masyhur, Mas Luqman, dan Lili, pun teman-teman Pengajar Muda lainnya yang tersebar di pelosok negeri. Mari menepuk bahu sendiri dengan lembut, atas apapun hal-hal sederhana yang telah kita lakukan. Semoga saja, ketika kita begitu lelah seperti aku saat ini, aku tahu ketika bertemu kalian atau mendengar keajaiban kecil tentang anak-anak didik kita, aku bisa melepas penat hingga separonya. Suatu saat apa yang kita lakukan selama ini, akan menjadi kenangan berharga yang bisa menjadi cerita layak kenang hingga kakek nenek nanti.

 Semoga…Kita tetap tabah sampai akhir.

Apapun, Alhamdulillah.

4 September 2013,

Si Pohon Kecilku-Aliana

Si Pohon Kecilku-Aliana

 alinana

“….. menengok semangat, itulah Aliana…”

Aliana, itulah namanya, cantik sekali rupanya. Melihat tingkah dan polahnya setiap hari di sekolah seperti membayangkan gadis cilik di cerita Alice in Wonderland tetapi dengan versi Moilong, dimana ada dunia pantai, hamparan sawah yang luas, jalanan desa untuk bersepeda, dan pohon-pohon untuk dipanjat.  Memang tidak ada tokoh tambahan seperti  The White Rabbit  atau Cheshire Cat yang menemani petualangannya, tetapi karakter Alice yang lincah, mudah penasaran, selalu ingin tahu, suka bertanya, tidak sabaran, dan mau mencoba seperti cocok dengan anakku ini. Tentunya dengan bumbu keontentikan Aliana yang bermata bulat hitam berbinar, rambut lurus sehabu, dengan pembawaan ceria dan terkesan hangat kepada semua orang, Aliana adalah anak istimewa yang dengan caranya membuatku terpesona.

Ketika Mbak Rahayu  seorang volunter yang bekerja di Inggris datang mengunjungi  Moilong dan bertanya tentang apa cita-cita anak-anaku. Aliana berkata “aku ingin jadi pohon enci..”,  dia lalu tersenyum dan berlalu. Beberapa saat kemudian merevisi ucapannya. “Aku ingin jadi Polwan Enci…bukan Pohon”. Semenjak kejadian di pantai itulah, kadang-kadang aku menggodanya dengan memanggilnya “ pohon”.  Kadang dia sebal dan berkata “ enci….bukan pohon…tapi Polwan…”. Belakangan, dia menggantinya dengan cita-cita menjadi pramugari.

Tanyakanlah kepada guru-guruku di sekolah, siapakah yang menurut mereka gadis paling nakal tetapi sekaligus paling pintar?. Jawabannya adalah Aliana. Siapa yang menurut mereka gadis yang gila (tidak dalam makna sebenarnya)?  Jawabannya adalah Aliana. Siapa juga gadis paling berani tetapi sekaligus rajin kalau disuruh? Jawabannya adalah Aliana. Siapa rekomendasi pertama untuk ikut olimpiade Sains Kuark di Level 2, serentak pasti akan menjawab Aliana. Tanyakan juga, siapa  yang kadang bikin sebal dengan teriakannya, ulah dalam kelas atau bikin perkara dengan orang lain. Salah satu jawabannya pasti adalah Aliana. Aliana adalah perpaduan antara gadis kecil usil sekaligus punya kecerdasan yang luar biasa.

Aliana adalah anak yang berani, itu adalah catatan pentingku untuknya. Seorang guru honor pada hari terakhirnya mengajar di sekolah bertanya kepada anak-anak kelas tiga, “siapa yang jengkel kepada pak guru, silahkan angkat tangan”. Dan Aliana adalah satu-satunya siswa yang angkat tangan.  Saat Mbak Ayu bertanya siapa yang mau membacakan puisi di depan teman-temannya, Aliana juga menunjuk dirinya. Begitu juga dengan pentas seni Pramuka, Aliana adalah adalah pembaca puisi di sela paduan suara kelompok. Aliana tangkas dan cepat sekali ketika bergerak, “Aliana, coba gantikan Hasni ke depan untuk melapor pentas seni” Pintaku kepadanya. Tidak perlu komando dua kali dia segera melakukannya. Keberaniannya untuk menyatakan ketidaksukaannya, bertanya dan mengemukakan pendapat, serta melakukan sesuatu di depan umum tanpa canggung, cukup membuatku takjub.

Tidak hanya berani dalam bertindak, yang membuatku salut dengan anak ini adalah keberaniannya mengakui kesalahan yang dilakukannya. Pernah saat di sekolah, Aliana dengan wajah gugup datang ke mejaku di kelas. “ enci, aku mau mengaku….aku salah enci ,aku sudah melepas kertasnya yang diperpustakaan”.  Aku yang penasaran, atas ulah apa yang membuatnya begitu gugup seperti itu kemudian bergegas ke perpustakaan. “ Aku akan menempelkannya lagi enci…” Ucap Aliana. Ternyata tempelan itu hanyalah kertas hiasan kecil di mading perpustakaan kami. Tentu saja aku tidak akan marah jika tempelan itu lepas, pun Aliana tidak mengaku, mungkin aku tidak akan sadar kalau ada tempelan hiasan itu. Hanya saja keberaniannya mengakui kesalahan kecil yang tidak terlihat itu adalah luar biasa. Semenjak itu, aku mempercayai Aliana, aku yakin dia akan bertanggung jawab atas perbuatannya. Hal inilah yang membantuku tidak terbawa emosi ketika teman-temannya menuduh Aliana mencuri uang ketika kemah pramuka walaupun seolah bukti mengarah kepadanya. Karakter khas anakku ini adalah tidak suka dipojokkan atau dibercandai di depan umum, wajahnya akan berubah sangat ekpresif akan ketidaksukaannya, dan seketika wajahnya yang ceria akan menjadi cemberut. “ Enci tau kamu tidak mencuri Aliana, Enci percaya kamu tidak akan melakukannya tetapi mengakui kesalahan itu menandakan kamu bertanggung jawab”. Ucapku saat duduk berdua dengannya di luar tenda.” Aku tidak sengaja enci…aku pikir itu uangku, makanya aku belanjakan, aku tidak tahu itu uang Tiara”.  Aliana kemudian masuk ke  tenda, dan dengan caranya yang bergurau meminta maaf kepada Tiara, dia menjelaskan bahwa uang Rp. 10.000 itu tidak sengaja dia pakai, dan Aliana berjanji akan menggantinya. Ya, begitulah….Anakku ini, adalah orang yang bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya.

Banyak pengalaman yang berkesan antara aku dan Aliana. Pada saat persiapan olimpiade Sains Kuark, walaupun terkesan dia tidak peduli dan sering bermain, tetapi aku tahu Aliana membaca banyak komik yang kupinjamkam. “Saya membaca sambil tiduran di rumput enci…” celetuk Aliana suatu waktu. Guru-guru yang mendampingi Aliana lomba kadang marah karena anak ini tidak bisa diam dan suka jalan-jalan. Namun aku lebih suka menyebut orentasi ruang Aliana yang bagus. Dengan mudah dia menemukan dimana sungai tempat mandi pramuka, dengan jeli dia bisa menghafal dan mengerti sandi pramuka yang diajarkan, dan Aliana adalah salah satu anakku yang menguasai dengan cepat sesuatu yang berhubungan dengan kinestetik seperti senam ataupun baris berbaris.

Anak ini pernah mendatangiku di kelas dengan pertanyaannya cukup membuatku kaget dan bingung menjawabnya.  “Enci, benarkah kalau kita minum air orang kriten kita akan masuk neraka?, Katanya enci, air orang kristen itu tidak boleh diminum, jadi enci…kalau kita dikasih air sama orang Kristen, kita tidak boleh minum”.  Aku kemudian menjawab“ Alia…. yang membuat minuman itu boleh diminum atau tidak itu bukan siapa yang memberi, tetapi apa jenis minumannya…. jika misalkanpun orang Islam yang memberiku minuman, dan minuman itu yang memabukkan…seperti cap tikus atau alkohol itu, maka kamu juga tidak boleh meminumnya ya…, dan jika  bukan orang Islam yang memberimu minuman, dan itu adalah air putih biasa, kenapa kamu harus menolaknya”. Aliana diam agak lama dan berfikir, lalu dia berkata lagi  “lalu enci…kenapa ada yang bilang itu tidak boleh diminum…..”. Aku yang agak bingung menjelaskan dengan bahasa anak kecil kemudian hanya berkata “nanti, kalau kamu sudah besar, kalau melakukan sesuatu harus ada dasarnya ya…buat itu… berarti Alia harus banyak ilmunya dan belajar, menurut Alia, jika orang itu baik dengan kita apakah kita harus baik kepadanya?” tanyaku kemudian pada Alia, “Iyek enci….jelas itu,” jawab Aliana tegas. “ nah begitu juga orang yang beragama berbeda dengan kita” mengakhiri penjelasanku.  Aliana memandangku dengan mata tajamnya. Dari ekpresinya aku tau dia tidak puas dengan jawabannku. Dia mangguk-mangguk kemudian pergi berlari. Pertanyaan Aliana paling tidak menggambarkan kekritisannya untuk tidak begitu saja menerima atas apa yang orang lain katakan, untuk anak yang baru berumur sembilan tahun itu adalah sesuatu yang luar biasa.

Aliana adalah gadis petualang yang cepat bosan dengan keseriusan dan aturan. Kadang ini sedikit membuatku emosi jika aku tidak ingat bagaimana cerdasnya anak ini. Dia tidak suka terlalu banyak diatur dan Aliana suka sekali mengekplorasi sekitarnya. “ enci, aku so punya teman banyak dari sekolah lain”,  sambil menyebutkan satu persatu nama baru yang dikenalkannya. “ aku juga so tau dimana tempat baambil air dan babeli enci”. Cerita Aliana di hari pertama jambore ranting kami.  

Konyol, itulah kata enci Muawiyah tentang Aliana, “ seharusnya dia ini diikutkan saja pentas seni melawak, pasti menang”.  Yah, begitulah Aliana, dia sangat lucu dan pencair suasana di satu waktu, dan harus membuat orang lain ekstra sabar di waktu lainnya. “ ayo menyanyi, biar lagunya pendek-pendek” kata pak Lis terhadap regu kelompok putri Moilong. Aliana yang sedang bosan tiba-tiba menyanyi kencang dengan nada seadanya “menyangi, menyanyi…pak guru yang suruh, menanyi…menyanyi…pak guru yang suruh”. Lagu ini kemudian menjadi teman perjalanan regu yang dinyanyikan bersama-sama selama penjelajahan pramuka.

Satu masa aku kesal padanya gara-gara ribut di mesjid, tidak tanggung-tanggung dia ribut dengan menggunakan mikropon mengaji kami yang kedengaran satu dusun, tetapi harus kuakui, kualitas mengaji berlagunya luar biasa. Bahkan nenek Aji, pengajar mengaji di desaku mengakui kenakalan sekaligus kepintarannya melantunkan ayat suci ini.  Saat lainnya dia pernah menendang sandalku karena kesal, tidak menegur dan cuek kepadaku, atau mengekpresikan ketidaksukaannya kemudian berlari, kemudian masa lainnya dia akan memelukku mesra, mendatangi ke kelas hanya untuk mengatakan “ enci…enci cantik sekali, enci baik, enci pintar…”, atau dia memegangku erat dan tidak memperbolehkanku pergi dari mesjid tanpanya. Dengan ulahnya itu, Aliana adalah salah satu anak yang mampu membuatku jatuh cinta.

Sekarang,  aku menjadi guru di kelas empat. Setiap hari ada saja kulihat polah dan tingkahnya yang menggambarkan betapa istimewanya anak ini. Aliana pernah menghibur kami satu kelas dengan menyanyikan lagu cherrybelle yang disambut tepuk tangan teman-temannya, dia adalah pemegang apel busuk pertama di pohon kebaikan kami karena kesalahan di dalam kelas, pemimpin anak-anak perempuan dalam kerja kelompok dan paduan suara, serta bersama Fauzan, Aliana adalah pemegang skor 100 terbanyak di latihan soal yang kuberikan.  Mendapinginya belajar setiap hari adalah sesuatu yang membahagiakan di sisa masa penugasanku di desa.

Menengok semangat…itu adalah Aliana…salah satu anak yang membuatku kembali ke desa dengan segera jika harus ke kota…anak yang membuatku tidak sembarang ajar jika mengajar, membuatku berfikir, bagaimana caranya atas apa yang kusampaikan, anak ini tambah terkesan dengan ilmu pengetahuan…

Semoga, suatu saat Aliana bisa keluar dari desa ini, dan menemukan Wonderland lain  yang membantunya menemukan potensi terbaiknya.

Alianapun membuatku terus belajar….