sembilan puluh empat

Sembilan Puluh Empat….

“Saya meninggalkan cara berpikir seekor burung, yang memungkinkan kita melihat segala-galanya jauh dari atas. Saya mulai melakukan pandangan seekor cacing, yang berusaha mengetahui apa saja yang terpapar persis di depan mata. Saya mencium baunya, menyentuhnya, dan melihat apakah ada sesuatu yang bisa saya lakukan (Muhammad Yunus)

 

            Beberapa bulan lalu, aku iseng menghitung berapa jarak yang dihabiskan dari desa menuju ibu kota kabupaten, dan jaraknya adalah sekitar 94 km, sekarang mungkin tambah beberapa kilo lagi karena ada jalan yang harus muter di daerah Batui.

            Sering sekali aku melalui perjalanan kabupaten ke desa atau sebaliknya entah dengan beragam  urusan.  Aku bahkan mengevaluasi kemampuan mengendaraiku, yang mungkin sekarang tambah tidak tahu aturan… Badankupun menjadi beradaptasi, awal-awal lelah, menjadi biasa saja… bahkan bisa saja dalam sehari aku bolak balik untuk mengejar sekolah besok harinya.  Aku tidak pernah bosan dengan pemandangan yang kulewati di hampir tiga jam perjalananku. Pantai, perkampungan, perusahaan besar yang baru dibangun, sawah, atau perkebunan sawit. Kadang-kadang aku melihat pelangi di perjalan pulang. Sebuah bonus keindahan alam lainnya.

            Jalanan yang kulaluipun dari awalnya rusak parah, perbaikan, rusak lagi, sampai semi perbaikan. Mungkin saja ketika PM angkatan lima di Banggai, jalanannya sudah semulus jalan tol…berharap saja!…Motor bapak yang kupinjam untuk bolak balik nasibnya kadang menyedihkan,  adalah rutinitas yang pasti ketika sampai ke desa, bapak akan mengambil air dan membersihkannya.  Sudah tidak terhitung berapa kali motor ini bannya di tambal, entah karena  lubang yang kami tabrak atau bannya yang sudah mulai tipis,  bahkan pernah motor ini tiba-tiba saja mogok di sela hujan, sampai aku dan Ika harus minta tolong satpam-satpam sebuah perusahaan yang kami lewati untuk membawanya ke bengkel.

            Begitulah, buatku perjalanan ke desa tidak sedramatis temanku yang kemudian harus naik 20 km dari jalan poros, melewati jalan banyak berbatu dan jembatan semi menakutkan karena licin dan bolong-bolong. Perjalanku mungkin juga tidak semengharukan teman penempatanku lainnya, yang kadang harus berjudi dengan angin dan ombak untuk sampai ke sebuah pulau kecil di tengah laut.  Desaku hanya terletak paling ujung penempatan kami yang bisa di tempuh dengan mengendarai motor sejauh kurang lebih 94 km,

Tapi hari ini….

            Aku merasa lelah sekali…94 km itu bagiku amat jauh entah kenapa…. sepanjang perjalanan diguyur hujan yang tak berhenti, dan hanya aku yang berkendara sendiri..Biasanya ada Ika teman boncenganku atau kalaupun aku sendiri ada hari yang cerah mengawalku. Aku sedikit mengutuki diriku sendiri kenapa pulangnya ke sorean, sehingga ketika aku lewat perkebunan sawit di hari benar-benar gelap, tidak ada satupun kendaraan yang lewat dan hujan tambah tidak berkompromi. Bukankah badanku cukup banyak lemak akhir-akhir ini, tapi tetap saja aku mengigil kedinginan. Air hujan begitu deras mengguyur mataku hingga berhasil membuatku berjanji untuk mengganti kaca helm bapak yang sudah retak. Di sisa perjalanan malamku ke desa, harapanku ternyata sederhana, keseimbangan berkendaraku tetap baik walaupun entah berapa lubang yang kutabrak karena aku hampir tidak melihat jalanan.

Sembilan puluh empat kilo meter….

            Setiap jaraknya mewakili banyak cerita penuh makna di penempatanku di Banggai. Atas suka, duka, marah, kecewa, semangat atau lelah. Pernah aku begitu amat menikmati perjalaanku, pernah juga satu masa aku berkendara kencang karena kemarahanku, satu waktu banyak obrolan mencerahkan di perjalanku selama berboncengan dengan teman-teman penempatanku, waktu lainnya kami hanya diam seribu bahasa seolah tak ingin menyapa. Kadang aku terburu waktu, kadang lainya aku merasa tidak peduli dengan detik yang berlalu.

Rupa perjalanan yang merefleksikan atas banyak detik yang kulalui….

            Sepanjang perjalanan aku kemudian mulai memikirkan tentang banyak hal yang sudah kudapatkan selama sepuluh bulan ini. Entah terbawa suasana atau ini pengaruh lagu melow yang menemaniku sepanjang perlananan. Perjalanan sendiri mungkin membuat kita jauh bisa memikirkan banyak hal. Aku kemudian tanpa sadar menjadi menitikan air mata.  Atas sempitnya waktu yang tersisa di desa,  tetapi entah…. sebagian besar aku masih tidak tahu harus bagaimana. Yang kulakukan sekarang adalah tetap berusaha menjadi cacing dalam perilaku, dan berfikir seperti burung dalam keseluruhan.  Aku di hari-hariku di penempatan kemudian hanya berusaha kepada satu titik, melakukan apapun yang terbaik yang ada di depanku, mengendusnya, melumatnya dengan sederhana, dan memberikan setiap semangat dalam perbuatannya. Sambil entah dengan bagaimana menemukan sesuatu yang lebih besar dan mendasar atas hal-hal apa yang seharusnya dimiliki anak-anaku sebagai bekal mereka nanti ketika dewasa.

            Aku kemudian berteriak dalam diri…” akupun butuh energi, aku butuh charger untuk mengisi tenaga yang seolah hampir habis akhir-akhir ini”.  Seperti tulisan yang membutuhkan spasi, seperti ibadah sholat yang mengharuskan tuma’ninah, atau sebuah perjalanan panjang yang kadang membutuhkan transit terlebih dahulu untuk sampai ke tujuan. Aku pada akhirnya butuh sejenak merebahkan diri tanpa memikirkan apapun dan siapapun, hanya egosis dengan diri sendiri untuk sekedar merefleksi dan menata kembali. Yah…Di titik ini, tiba-tiba saja aku merasa sangat lelah.

            Aku ingin terbangun dengan pagi yang hangat…dengan ceria dan cerita sederhana anak-anakku. Melangkahkan kaki dengan ringan dan terus memiliki alasan kenapa kemudian aku harus terus bergerak. Adalah anak-anakku yang membuatku begitu jatuh hati, bahkan dari hari ke hari di sisa kebersamaan kami yang semakin sempit. Anak-anak yang suatu saat nanti akan melampaui lebih dari 94 km ku untuk mencapai cita-cita. Keluar dari dunia kecil desa Moilong, belajar banyak tentang dunia kemudian kembali untuk membangun orang-orang di sekitarnya.

            Kemudian aku membaca lagi dan lagi kalimat Muhammad Yunus, kata ajaib yang terus menemani perjalan bulan demi bulanku selama menjadi pengajar muda. Sebuah pemahaman yang kemudian menjadikanku akar rumput bagi orang-orang di sekitarku dan percaya bahwa ada Allah yang selalu mendampingiku… Yah, Mengutip kata-katanya Pak Hikmat, Tuhan selalu ada di akar rumput.

Aku berharap 94 km selanjutnya, ku jalani dengan lebih ringan, atas apapun yang terjadi di sisa perjalananku sebagai pengajar muda. Bahwa 14 bulan waktu yang kuberikan, adalah sepenuhnya untuk mereka. Aku kemudian menasehati diri, mari kita nikmati saja setiap detiknya. Atas senang, sedih, kecewa, marah, semangat atau lelah. Seperti nasehat seorang teman kepadaku…” teruslah bergerak, hingga kelelahan pada akhirnya lelah mengikutimu, teruslah berlari, hingga kebosanan bosan mengikutimu”.

            Selamat sepuluh bulanan Yanti, begitu juga dengan teman-temanku di penempatan..Auliya, Ika, Masyhur, Mas Luqman, dan Lili, pun teman-teman Pengajar Muda lainnya yang tersebar di pelosok negeri. Mari menepuk bahu sendiri dengan lembut, atas apapun hal-hal sederhana yang telah kita lakukan. Semoga saja, ketika kita begitu lelah seperti aku saat ini, aku tahu ketika bertemu kalian atau mendengar keajaiban kecil tentang anak-anak didik kita, aku bisa melepas penat hingga separonya. Suatu saat apa yang kita lakukan selama ini, akan menjadi kenangan berharga yang bisa menjadi cerita layak kenang hingga kakek nenek nanti.

 Semoga…Kita tetap tabah sampai akhir.

Apapun, Alhamdulillah.

4 September 2013,