“Setiap anak itu istimewa, dan aku ingin terus mengenali mereka dengan istimewa”
Harapan menjadi seorang Guru
Beginilah cerita seorang guru, rasanya nano-nano… di satu tahun penugasanku, aku terus belajar bahwa menjadi guru itu sungguh tugas mulia, tetapi bukan berarti aku menjadi dewa yang bisa melakukan segalanya, membuat semua anak-anakku menjadi sesuai yang ku mau…Bukan hanya soal kompetensi atau nilai-nilai yang tampak dari prestasi, tapi juga nilai-nilai dalam hidup yang harapannya mereka miliki. Ya, aku adalah seorang guru, yang aku yakini bahwa guru di manapun di dunia pasti menginginkan yang terbaik untuk anak didik mereka..Yang terbaik dari perspektif yang ada di logika mereka… Begitun aku…Predikat sebagai seorang guru membuatku memiliki harapan tinggi terhadap mereka sesuai dengan imajinasiku.
Kecintaan yang membuatku belajar
Mencintai mereka dengan sederhana
Kecintaanku kepada mereka, pada akhirnya membuatku belajar membumikan ego keguruanku, menolkan harapanku, dan mengenali mereka apa adanya sebagai anak-anak yang istemewa, dan mencoba melakukan yang terbaik atas mereka. Aku belajar bahwa tidak semua anak jago matematika dan hafal perkalian dengan sempurna. Mengerti konsep skala atau memahami bagian dari rangka. Pun aku memahami tidak semua anak yang penurut dan rajin membaca, apalagi senang ke sekolah dan menjadi juara. Mereka bukan anak pendiam dan melipat tangan ketika guru datang apalagi selalu berkosentrasi terhadap semua pelajaran yang kuberikan. Anak-anakku adalah sekelompok kumpulan perilaku unik yang harus kuterima apa adanya dengan sisi-sisi yang istemewa.
Menjadi guru terus membuatku lebih belajar memahami anak-anakku yang istemewa.
Akram anakku bukanlah anak yang jago di pelajaran yang berhubungan dengan konsep. Setiap anak pasti mempunyai bakat yang menonjol dari dirinya, termasuk Akram yang mahir bermain sepak bola dan bulutangkis seperti cita-citanya dimasa depan. Akram kadang membuatku emosi karena perilakunya yang agresif baik verbal maupun fisik. Si Akram yang reaktif, dan tampak amat spontan menyatakan suka atau tidak terhadap sesuatu adalah ciri khas dari Akram. Namun Akram adalah anak yang istimewa. Setiap sore aku melihatnya membantu ayahnya menggembala sapi. Berjalan cukup jauh, dan menggiring sapi menuju kandangnya. Akram kadang selalu membantuku untuk mendiamkan anak-anak di kelas, dan berteriak “ kamu orang jangan babikin enci marah”, Akram senang menjadi pemimpin dan tidak malu menyatakan pendapatnya, dan Si ramah Akram selalu tersenyum lalu berteriak enci!!!!….ketika aku lewat depan rumahnya.
Fauzan mungkin adalah tipe siswa yang akan disayang semua guru. Pintar, rajjn, cepat menangkap pelajaran, pendengar yang baik di kelas, dan adalah anak yang ketika diberikan tugas, akan selalu menyelesaikannya dengan baik. Tentu saja aku sangat senang memiliki siswa seperti Fauzan, membuat ego keguruanku merasa terpuaskan. Sifat anak-anak yang ingin menang sendiri tentu masih ada di Fauzan, tetapi sebenarnya ada yang lebih istemewa dari kecerdasannya. Dia adalah pemimpin di kelas empat, yang dipilih hampir oleh semua teman-temannya karena visi dan misinya di depan kelas, yang tanggung jawab mengkoordinasikan tugas teman-temannya kuberikan kepadanya dengan tanggung jawab yang baik. Fauzan belajar menjadi pemimpin dan suatu saat dia akan menjadi pemimpin yang baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain.
Hasna adalah anakku yang cenderung tidak percaya diri dengan kemampuannya. Butuh waktu yang cukup lama untuk memintanya mencoba tampil di depan umum. Hasna adalah anak yang pendiam dan tidak mencolok di kelas, namun Hasnaku istemewa. Dia adalah anak yang mudah memahami maksud suatu bacaan, matematikapun bisa dimengerti dengan mudah, Hasna bercita-cita sebagai dokter, katanya ia ingin membantu orang lain. Iyek enci, terimakasih…. Itu yang sering hasna katakan di jurnalnya jika aku menceritakan sesuatu. Hasna yang pendiam ini ternyata lebih asertif di dalam jurnalnya.
Dulu guruku pernah berkata, siswa yang biasa-biasa saja, dalam artian tidak masuk dalam kategori pintar sekali, bodoh sekali, nakal sekali, pendiam sekali…tidak akan banyak mendapatkan perhatian guru. Anakku Rahmad memang tidak masuk dalam keempat kategori itu..Rahmad jarang bikin ulah, dan biasanya paham apa yang diterangkan. Sehingga kadang aku tidak perlu menghawatirkan Rahmad seperti beberapa temannya. Namun belakangan aku mengenal Rahmad sebagai anak yang istemewa. Jujur, itu adalah catatan pentingku untuknya. Aku melihat kekonsistenan perilakunya untuk memberikan apel hitam di pohonnya tanda dia sudah melakukan kesalahan. Telaten, itu catatanku berikutnya, ketika aku memberikan soal untuk latihan kepadanya, dia seolah hanyut dengan dunianya. Tidak peduli bagaimana ribut atau serunya teman-temannya bermain, Rahmad hanya akan asik dengan soalnya. Rahmadku benar-benar istemewa dengan cita-citanya menjadi pengusaha dan pegawai yang jujur. Di Jurnalnya Rahmad berkata ingin menjadi orang kaya agar bisa membangun mesjid. Mulia sekali cita-citanyakan, dan ada doa untuk mengaminkan dalam setiap harapan dan langkah Rahmad.
Tanyalah kepada guru-guru siapa gadis yang nakal, suka membantah, dan kadang dianggap tidak sopan di kelas empat. Jawabannya adalah Aliana. Walaupun demikian seisi sekolah mengakui bahwa Alia adalah anak yang luar biasa cerdas. Membahas ke ontetikan Aliana, aku bahkan membutuhkan satu note tersendiri untuk anakku yang amat spesial ini. Aku mengenalnya sebagai anak pemberani dan kritis terhadap keadaan juga bertanggung jawab kepada perilakunya. Alia memang suka membantah, tetapi belakangan aku tahu, itu adalah luapan emosinya yang tidak suka ditekan. Biasanya, setelah itu Alia dengan sadar akan melakukan hal yang dinasehatkan kepadanya. Bukankah Alia istemewa, ya….anakku ini sungguh istemewa dengan perpaduan ulah keseharian, kecerdasan, dan bagaimana Alia berproses untuk lebih bertanggung jawab tergadap perilakunya.
Jika bertemu anakku Suci, mungkin akan melihat gadis cantik kecil dengan senyum menawan…Cantik sekali rupanya, begitu juga lembut perasaannya. Suci kecilku memang bermasalah di pelajaran matematika. Dia membutuhkan waktu lebih banyak untuk mengali dan membagi. Suci kadang juga suka diejek oleh teman-temannya, dan di jurnalnya sering menuliskan perasaan sedih karena itu. Tetapi Suci adalah anak yang sabar, suaranya tidak pernah meninggi karena marah. Jikapun ia berteriak memanggil seseorang, pasti disertai dengan senyumnya yang khas. Istemewanya anakku ini adalah inisiatifnya untuk membantu orang lain. Di kelas aku kadang sering bertanya, siapa yang mau membantu enci membersihkan kelas?, Suci adalah salah satu dari sedikit anak yang mengambil sapu dan melakukannya. Menurutku, Suci akan menjadi gadis cilik yang suatu saat menjadi menjadi ibu yang lembut untuk anak-anaknya.
Fitri pernah menangis dan mengadu kepadaku karena ada yang mengejek cita-citanya sebagai pramugari. “Aku mau menghapus saja tulisan di dinding itu tentang cita-cita enci”. “Kenapa Fitri harus menghapus, biar saja mereka mengejek, yang bercita-citakan Fitri”. Suaraku yang cepat dan mungkin meninggi membuat Fitri justru tambah menangis. Seketika aku kaget dan menyadari bahwa Fitri adalah gadis cilik yang hatinya begitu lembut. Keistemewaan dari Fitri bukan nilai 100 pada setiap ulangan, tetapi caranya memperlakukan teman dan orang-orang di sekitarnya. Sopan dan santun mungkin begitulah sifatnya, penurut dan pendengar itulah sifat berikutnya. “Saya membantu matua buat bajemur padi enci, makanya saya tidak bisa datang ke sekolah”, Celetuk Fitri kepadaku. Anakku ini memang tidak menonjol di berbagai pelajaran di sekolah, tetapi sesungguhnya dia mempunyai keterampilan hidup yang baik sebagai anak desa yang bekerja membantu orang tuanya.
“Dalo katanya kamu sudah paham… lalu kenapa ini masih salah”, kadang-kadang emosi keguruanku meningkat gemas ketika anakku Dalo selalu salah mengerjakan tugas yang kuberikan. Hatiku melunak setiap membaca tulisannya tentang cita-cita “Enci, aku ingin menjadi tentara yang jujur dan baik juga sholeh”. Mulia sekali cita-citanya dan semoga kesempatan selalu menyertainya. Dalo adalah anak dari keluarga sederhana di desaku. Bapaknya membantu mengurus mesjid, dan keseharian biasanya bapukat (nelayan). Dalo anakku ini senang sekali pelajaran olah raga, bermain bola adalah kebiasaan rutinnya hampir setiap sore di sekolah. Dalo anakku ini istemewa karena ia rajin ke mesjid untuk berjamaah, suka bercerita di jurnalnya, dan ia juga menyukai menggambar.
Yah…setiap anak memang istemewa. Sekumpulan bocah ini terus membuatku belajar untuk lebih membumikan egoku yang melangit, belajar menerima mereka apa adanya dan mengenali setiap potensi yang ada pada mereka.
Anak-anakku yang super hebat di kelas empat
Sudahlah fikirku tentang matematika atau mencapai kompetensi tertentu. Ada anak-anak yang dengan mudah memahami logika numerik, namun ada juga yang mampu memahaminya sejalan dengan perkembangan umurnya. Mereka tidak harus mahir semuanya, tetapi minimal menguasasi hal-hal dasar yang menjadi bekal di jenjang pendidikan berikutnya atau hidup mereka kelak. Aku kemudian menjadi teringat sesi pelatihan sebelum kami penugasan oleh Pak Munif Chatif tentang gurunya manusia. Ya…aku adalah gurunya manusia, bukan gurunya robot dengan cetakan yang sama dari pabrik. Setiap anak adalah juara, bahwa kemampuan tidak harus dinilai dari kognitif belaka yang bisa jadi setiap anak dilahirkan dengan potensi berbeda-beda untuk dikembangkan agar versinya pak munif menjadi masterpiece dari Tuhan sebagai anugerah bagi setiap orang tua.
Mereka punya sisi yang luar biasa …..
“Enci saya mau babeli yang ini enci..yang ini…”, Teriak Edil di kelas sambil mengangkat tipe-x teman sebangkunya saat aku bertanya ingin belanja apakah mereka dengan uang tabungan mereka. Spontan ulah polosnya membuat satu kelas termasuk aku tertawa terbahak-bahak karena selama ini Edil sering dimarahi teman-temannya sebagai pemakai tipe-x terbanyak dan menghabiskan isinya. Edil sering membuatku gagal dan frustasi sebagai guru, karena nilai-nilainya yang selalu di bawah rata-rata. Kompetensi membaca dan berhitung, suatu saat akan dikuasainya dengan baik jika anak ini terus mendapatkan kesempatan belajar. Istemewanya Edil adalah caranya yang selalu senyum walaupun kadang menjadi bahan ejekan teman-temannya. Edil memang selalu selesai paling akhir, tetapi dia selalu menyelesaikannya. Beberapa kali dia kuminta mengulangi pekerjaannya, dan dia selalu menyelesaikannya tanpa mengeluh dan tidak tergoda dengan teman-temannya yang sudah bermain. Yang paling aku suka dari Edil adalah keinginannya untuk belajar. Edil datang les ya…dia akan datang paling awal dan setia menunggu di depan perpustakaan sekolah. Mungkin butuh waktu untuk Edil mengejar kemampuan teman-temannya,tetapi aku yakin Edil pasti akan lebih baik.
“Irsa…kenapa kamu senang sekali begara teman-temanmu”, “ Irsa, kenapa memukul temanmu”. “ Irsa, kenapa kamu harus berteriak di kuping enci begitu”, Irsa…Irsa…Irsa… Tidak terhitung rasanya aku bertanya tentang perilakunya setiap hari. Irsa kadang membuat kesabaranku benar-benar diambang batas kemarahan. Atas bakatnya di kelas yang sering membuat onar, aku kemudian memberikan jabatan sie. Keamanan kepadanya. Irsa senang sekali melakukannya tentu saja dengan gaya dan caranya yang cenderung agresif. Irsa harus belajar untuk mengkomunikasikan segala sesuatu dengan lebih asertif, itulah catatan pentingku untuknya. Dari Irsa akhirnya aku lebih belajar lagi tentang makna sabar dan berfikir bagaimana cara bersikap dengan anak ini, dan mencoba memahami sisi-sisinya yang istemewa. Irsaku istemewa, ketika ia sudah benar-benar memahami matematika, ia seperti orang yang ketagihan pelajaran ini. “kalau begini aku bisa enci” begitu biasanya teriak Irsa. Seperti Akram, ia senang berolah raga dan selalu merasa tertantang untuk melakukan hal-hal yang baru. Irsa bukan anak yang pemalu dan itu adalah modal untukknya kelak. Aku menjadi teringat kata-kata Dorothy berkata “jika anak dibesarkan dengan celaan, maka ia belajar memaki. Jika anak di besarkan dengan permusuhan maka ia akan belajar berkelahi. Dan Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, maka ia belajar menyesali diri”. Aku tidak ingin anakku Irsa menjadi demikian, kesabaran dan ketulusan orang-orang sekitarnya dalam mendidik suatu saat akan menjadikan anak ini lebih toleransi, mengghargai dan penyayang terhadap orang-orang sekitarnya. Seperti cita-citanya yang ingin menjadi pemain bola pemberani dan sholeh, semoga kesempatan untuk terus belajar selalu Irsa dapatkan di dalam hidupnya.
Menjelang pulang sekolah, Jihan kadang-kadang mengangkat tangannya dan berkata “ enci…saya mau mengaku, saya sudah dua kali berkata kotor..”, Itulah Jihan, salah satu anak yang paling jujur di kelas. Satu-satunya anak yang belum pernah dapat apel hitam di pohon kebaikannya. Tandanya Jihan selalu menjadi anak yang baik dalam keseharianya. Jihan yang baik hati, lembut, mendengarkan dengan baik, dan menolong teman-temannya itulah keistemewaan Jihan. Jihan tinggal bersama neneknya dan termasuk anak yang cukup mandiri. Di banyak pelajaran di kelas, Jihan memang membutuhkan banyak latihan, namun ketelatenan dan tekunnya Jihan akan mampu mengimbanginya hingga suatu saat insya allah ia akan bisa menjadi dokter yang baik seperti cita-citanya.
Muh. Afdal namanya, panggilan kesayanganku untukknya adalah Adal. Dia adalah salah satu anak yang paling lucu sekaligus sering membuat ulah di kelas. Berjalan-jalan di kelas, bernyanyi paling keras, berjoget-joget sendiri, atau menggoda teman-temannya. Sering sekali ketinggalan pulpen dan merasa amat frustasi jika aku memberikan apel busuk di pohon apelnya, memecahkan kaca rumah Dinas kosong di siang bolong untuk mengusir setan di sana, tiba-tiba membuka baju dan mengeluarkan jurus bertapa di pagar sekolah, berputar-putar sendiri berkali—kali di lapangan bulu tangkis desa untuk mendukung temannya, berinisiatif memerintah teman lain menuliskan apel merah di pohon temannya, jago merayu teman yang digara untuk segera memaafkannya atau pergi ke kandang ayam dan mengerami telur-telurnya. Adal bagiku adalah hiburan di saat mengajar, dan belajar ketegasan untuk mengontrolnya di sisi lainnya. Mungkin banyak yang tidak sadar bahwa Adal adalah pemerhati lingkungan sekitarnya. Adal adalah anak yang menyadarkanku tentang kekhasan wajah teman sepenempatanku, langsung bertanya keadaanku saat aku tampak sakit, dan kadang aku merasa dia memperhatikan ekpresi wajahku terlebih dahulu sebelum melakukan tingkah berikutnya. Awalnya aku sempat berfikir, bahwa Adal memiliki kecendrungan kurang konsentrasi yang mengarah kepada hiperaktif, tetapi penilaiannku salah, Adal adalah anak yang penuh dengan energi yang harus di salurkan kepada hal-hal yang positif. Adal senang sekali bermain bola dan bulu tangkis, pencinta pelajaran olah raga, dan aku menemukan bakatnya yang cukup baik di pelajaran IPA karena dia cukup mampu menghubungkan teori dengan dunia nyata. Afdal dengan imajinasiya, dengan keceriaan dan kepolosannya, dengan kepekaan dan caranya menyayangi menjadi anak yang sungguh istemewa bagiku.
Aku pernah menghukum Winda duduk di pojokan dekat lemari karena perilakunya yang mencoret buku dan lantai sekolah kami tidak lama setelah kuingatkan tentang perilaku mencoret-coret. Aku juga pernah menghukum Winda karena menambahkan apel busuk di pohon temannya setelah kesepakatan kelas bahwa dilarang melakukannya. Ya, Winda…. adalah salah satu anak yang satu sisi kadang membuatku gemas, sisi lainnya membuatku belajar mengenali sisi spesialnya. Winda senang bercerita di jurnalnya, tentang perasaan-perasaan atau kejadian di sekitarnya. Winda anakku ini bercita-cita ingin menjadi Polwan yang baik dan menolong orang lain dan dengan semangat dia menuliskan akan belajar dengan giat untuk mencapainya. Saat Winda tiba-tiba mengangkat tangannya di kelas dan berkata “enci…saya mau jujur, saya sudah tiga kali berkata kotor, saya mau taruh apel hitam di pohon saya”, sejenak aku kemudian tersadar bahwa sama ketika aku kecil yang kadang suka melawan, Windapun butuh proses untuk lebih mengerti baik dan salah dari lingkungannya. Winda yang rajin menabung, Winda yang berusaha menyelesaikan soal hingga selesai, Winda yang berusaha menepati janji yang dibuatnya… anakku Winda sedang berproses menjadi anak yang lebih baik.
“Enci, terimakasih sudah suruh saya untuk bakasih pinjam teman-teman saya. Saya sungguh senang”, tulis Fadel di buku jurnal hariannya. Fadel adalah salah satu dari dua anak di sekolah yang kupercaya mengelola buku-buku penyala di rumahnya. Kakak Fadel bercerita kepadaku bahwa Fadel rewel sekali kalau masalah peminjaman buku, dia harus mencatatnya sendiri, memastikan siapa yang meminjam, dan meletakannya di lemari pakaian di kamarnya. Ketika aku berkunjung ke rumah Fadel dan kutengok kamarnya, dengan antusias dia menunjukan catatan peminjaman dari anak-anak dan bercerita siapa saja yang sudah membaca buku-buku yang kutitipkan kepadanya. Dari Fadel aku belajar bahwa anak merasa teristemewakan jika mereka dipercaya oleh orang yang lebih dewasa. Tanggung jawab Fadel menjaga buku-buku itu di luar batas ekpektasiku sebagai guru. Anak ini ternyata mampu melakukannya dengan baik dan aku akhirnya melihat sisi istemewa Fadel atas kesempatan yang diberikan kepadanya. Fadel bercita-cita ingin menjadi tentara yang berani,” aku ingin membela negaraku indonesia dan menjaga negaraku, membela kebenaran dan ketertiban masyarakat Indonesia” tulis Fadel di pojok cita-cita yang tertempel di kelas kami. Dia memang tidak jago matematika atau selalu mendapatkan nilai seratus di setiap ulangan, bukan juga anak yang penurut dan selalu mendengarkan duru, tetapi Fadel anakku adalah anak yang berusaha belajar dan menyelesaikan tugas sampai selesai.
Harapanku kepada anak-anakku yang istemewa
Ingin kukatakan kepada dunia, bahwa mereka sungguh istemewa. Mungkin butuh waktu untuk mereka mengerti kata atau logika matematika, proses yang akan terus berkembang jika mereka mendapatkan kesempatan. Tapi tengoklah keterampilan hidup yang mereka dapatkan semenjak kecil. Menggembala sapi yang lebih besar dari ukuran tubuh mereka, berjualan untuk membantu orang tua, memanjat pohon kelapa, berenang dan menyelam, bapukat, pekerjaan rumah yang setiap hari di kerjakan, bagaiamana menjemur padi atau coklat, kemandirian karena orang tua pergi melaut dan pulang larut malam, atau belajar mensyukuri hal-hal sederhana yang mereka punya. Anak-anakku memang masih belajar bercita-cita dan merangkai cara untuk menggapainya tetapi anak-anakku memiliki potensi luar biasa untuk mencapainya. Semoga kesempatan selalu menyertai mereka.
Untuk anak-anakku yang istemewa….
Entah sepuluh atau dua puluh tahun lagi, ketika anak-anakku membaca catatan ini, guru mereka yang sangat sayang pada mereka ini, mempunyai harapan yang terbaik untuk mereka, dan semoga mereka bisa menjadi orang yang demikian.