Rindu Mereka !

IMG-20160122-WA0004[1].jpgAra, pengajar muda yang sekarang di desa Moilong, mengirimkan foto anak-anak di group Wa. Tampak Foto Aliana yang sudah semakin besar dan tinggi. Bocah ini sekarang menggunakan kerundung.  Cantik sekali rasanya. Di samping Alia, ada si kalem Suci dan si Cerdas Hasna. Dulu, ketika saya menjadi guru mereka, hampir setiap hari saya menghabiskan waktu untuk belajar dan bermain. Dengan setia, Alia, Hasna, Suci, dan puluhan anak lain akan pergi ke sekolah, rebutan bermain di perpustakaan, atau kalau bosan kami pergi ke sawah atau pantai. Ah desa saya Moilong menyajikan semuanya. Anak-anak, kebaikan orang desa, dan keindahan sekaligus. Malam ini saya begitu rindu dengan mereka. Begitu rindu dengan panggilan “ Enci..Enci”, dan begitu rindu menghabiskan senja saya berjalan ke masjid dan mendampingi mereka mereka mengaji.

Ibu Fadel menelpon saya dan mengatakan nenek Aji begitu rindu dengan saya, sudah tertebak alurnya kemudian, nenek akan selalu menangis mendengar suara saya. “ Bagaimana kabar kamu nak, kasian kamu nak, rindu saya sama kamu nak”, Ah…nenek…. Betapa saya juga sangat merindukan kampung kedua saya, kampung di mana salah satu masa terbaik dari hidup saya.

Saya rindu Moilong, walaupun sudah lebih dua tahun meninggalkannya. Saya begitu rindu untuk dipanggil Enci kembali oleh kalian nak.

Tunggu Enci ya

Doa Untuk Rangga

“Rangga, apa kabarmu Nak…? dan Enci sangat merindukanmu”

Al-Qur'an Pemberian Rangga

Al-Qur’an Pemberian Rangga

Malam ini selepas sholat mataku tiba-tiba tertuju kepada Al-Qur’an pemberian Rangga anakku yang sekarang duduk di kelas empat.  Aku kemudian membaca beberapa ayat di dalamnya dan air mata mengalir begitu saja kemudian.  Bukan Al-Qur’an baru yang diberikan Rangga kepadaku, tetapi Al-Qur’an yang sudah usang dan sampulnya berubah warna. Ada coretan di sisi buku untuk menghilangkan nama pemilik sebelumnya dan Rangga menambahkan kata Bu Yanti di sana.

Hadiah Rangga adalah salah satu yang paling berkesan dari tumpukan hadiah warga Moilong menjelang kepergianku dari desa dulu. Aku bahkan ingat detail kertas kado yang untuk membungkus Al-Qur’an ini, dari kertas koran yang bertuliskan Rangga. Al-Qur’an ini membuatku merasa sangat hangat ketika mengingat tangan kecil Rangga membacanya. Aku membayangkan bagaimana Rangga menghapus nama di sisi Al-Qur’an dan mengganti dengan namaku, membungkusnya dengan rapi, dan seperti biasa “Rangga yang tanpa banyak kata” memberikan kado itu kepadaku.

Apa kabar Rangga? Murid spesialku lainnya. Bersama Sindi, Rangga adalah orang yang hampir tidak pernah absen untuk pergi ke sekolah. Entah belajar, bermain atau hanya sekedar duduk. Aku kadang memboncengnya bersama anak lain untuk pergi ke masjid, tapi Rangga lebih banyak menolak tawaran tumpanganku. Dia memilih berjalan, kemudian menunduk malu.

Apa kabar Rangga? murid yang menemaniku berjalan di pesisir tanpa kata. Saat banyak anak yang berceloteh dan rebutan ingin memegang tanganku. Rangga kecil hanya berjalan di depan dan di belakang. Sesekali dia menjelaskan sesuatu kemudian menunduk dan berjalan lagi.

Apa kabar Rangga? Murid pertama yang membuatku berjanji untuk belajar lebih baik tentang pertolongan pertama pada kesehatan saat dia tiba-tiba terkapar di depanku hampir tidak bisa bernafas karena bermain bola. Aku merasa sangat bodoh waktu itu hingga ada warga yang menolong. Rangga kemudian berdiri dan bilang “tidak apa-apa enci”,  tanpa kata lagi, ia berjalan bersamaku dan pulang.

Apa kabar Rangga? Seorang kakak yang baik bagi Sindi, menjaga dan pembela adiknya yang kesulitan. Rangga tidak akan pernah memulai memukul atau baejek seperti beberapa teman-temannya. Rangga harus dibuat benar-benar marah untuk melakukan itu. Ia terbiasa diam dan menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan kepadanya segera.

Nak…Apa kabarmu? Lembar demi lembar Al-Qur’an ayat yang dibaca, membuat Enci begitu merindukanku, merindukan banyak kebersamaan tanpa kata tapi serasa hangat. Ada doa-doa terbaik yang bisa Enci panjatkan untukku.. Untuk selalu menjadi orang baik dan sayang kepada sesamamu, juga mencintai Tuhanmu.

Rangga, terimakasih ya…. Malam ini membuat suasana hati menjadi lebih damai.

Peluk jauh Enci

Dialog Tentang Hukum dan Keberagaman

                   Isu keberagaman masih menjadi isu yang asing di telinga anak-anakku. Aku senang sekali berkicau tentang betapa luasnya dunia ini agar mereka bisa menjelajah lebih dari kampung kami Moilong agar wawasan mereka lebih bertambah.  “Enci… kenapa kulit orang Papua itu hitam dan rambutnya keriting?”, tanya salah satu anakku dengan nada sambil mengejek yang disambut tertawa satu kelas. Banyak di antara anakku yang merasa aneh jika ada suku yang terlalu berbeda secara fisik dengan mereka. Aku kemudian bercerita tentang Cina dan tembok raksasa yang di sana, juga Eropa dan peradapan serta penduduknya yang punya kulit yang berbeda dengan mereka. Kutegaskan kepada mereka “ kalau misalkan kalian menganggap orang Papua itu paling hitam, karena pembandingnya adalah kulit kalian, bisa jadi kalau kalian pergi ke Eropa  atau Cina, justru kulit kalianlah yang paling hitam”. Kepada anak-anakku, aku ingin mereka lebih sekedar tau bahwa kulit berbeda adalah proses pigmen melanin dari manusia, paparan sinar matahari, atau genetis,  tetapi aku juga berharap mereka lebih belajar menghargai keberagaman itu sendiri.

            Di kampungku Moilong, penduduknya hampir seratus persen muslim dengan adat-adat kemusliman yang kental. Di sekitar desa kami, sebenarnya cukup banyak yang agamanya berbeda. Secara organis, anak-anakku memang sudah sering melihat orang-orang yang berbeda tata cara beribadah dengan mereka. Namun, kenapa mereka berbeda dalam mengekpresikan kecintaan kepada Tuhan. Logika anak-anakku sering menari-menari untuk menemukan jawabannya. Aku sebagai guru mereka kadang-kadang kebingungan menjelaskan dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh mereka. Enci… kenapa orang Kristen hari minggu ke gereja, kenapa sholatnya mereka sambil bernyanyi, lucu enci…orang Buddha macam bertapa sholatnya, yang bukan agama Islam ada puasakah enci?, mereka juga masuk surgakah Enci?. Persoalan menjelaskan hukum agama bagiku jauh lebih memutar otak dari pada menyampaikan runtutan SK dan KD pelajaran lainya, karena ini menyangkut hukum dan pemahaman yang bisa jadi membuat anak terdoktrinasi tanpa ilmu. Biasanya aku akan memilih jawaban aman seperti “ menurutmu bagaimana pikiran orang Buddha melihat kita sholat sambil sujud ke lantai? Atau posisi rukuk dengan cara menunggingkan badan?, setiap agama pasti punya tata cara ibadah sendiri, dan kita harus menghargainya”.  Beberapa anak-anakku yang kritis tentu tidak akan puas dengan jawaban ini dan mencercaku dengan berbagai pertanyaan lain.

            Suatu ketika Alia bertanya kepadaku, Enci…. benarkah kita tidak boleh meminum air orang Kristen?, pertanyaan yang cukup mengagetkanku.  Di waktu yang berbeda-beda, Suci, Via dan Fauzan juga pernah bertanya kepadaku. Di sela pelajaran IPS tentang keberagaman, kami kemudian membahas lebih dalam tentang perbedaan agama dan konsekuensinya. “Enci sekarang bertanya kepada kalian…jika ada orang yang berbeda agama memberikan kalian makanan, apakah kalian mau memakannya”.  Menarik menurutku melihat tentang pola pikir anak-anakku dari jawaban-jawaban polos mereka.  “ Tidak apa-apa enci…asal jangan kita makan bekasnya”, Ucap Jihan yang didukung oleh beberapa teman lainnya. “ kalau saya enci…tidak apa-apa, asal itu bukan babi mi”, celetuk Rahmad.  “ Sebentar, maksud kalian…kalian tidak mau kalau makanan itu bekas dimakan sama orang yang berbeda agama? Walaupun itu air putih?”, tegasku kepada mereka. Fauzan kemudian menimpali dengan jawaban “ iya enci…pokoknya yang sudah dipegang atau sudah masuk bibirnya, kitorang tidak mau mi…sapa tau tangannya sudah najis”.  Sejenak aku terdiam mendengar beberapa jawaban anak-anakku ini. Menurutku, aku tidak hanya sekedar memerlukan logika untuk menjawabnya, tetapi hukum agama itu sendiri, dan menjelaskan kepada anak-anak adalah PR terbesarnya.

            Aku kemudian menjelaskan tentang apa itu makanan haram dan halal kepada mereka. “ kalian tau apa yang dimaksud dengan makanan haram?”.  Rebutan mereka menjawab “ anjing enci…babi, minuman keras”,  Baik..pikirku secara hukum mereka paling tidak sudah tau apa saja jenisnya. “ kalian tau kenapa itu haram?”,  rasanya aku deg-degkan menjelaskan ini kepada mereka, karena ilmuku yang tidak seberapa. “ kita ambil contoh minuman keras, jika kalian minum minuman keras, cap tikus misalkan, apa yang akan terjadi?” tanyaku kepada mereka. “ mabok mi enci…”  jawab entah siapa waktu  itu.  “lalu jika kalian mabok  memangnya kenapa?” , tanyaku sambil menerka jawaban sederhana mereka. “ tidak sadar enci…. tidak babangun mi dia, tidak disuka sama Allah, melayang-layang tubuhnya”, Jawaban yang sudah kuduga, percampuran pengaruh sinetron sudah menjelma di anak-anakku. “ Jika kemudian kalian tidak sadar, apakah kalian bisa belajar dengan baik, apakah kalian bisa berteman dengan baik dan tidak bapukul temannya, apakah kalian bisa dengan sehat pergi ke sekolah?”.  Anak-anakku sudah pasti menjawab tidak. “ Allah itu menetapkan sebuah hukum memakan makanan adalah haram, salah satunya karena banyak kejelekannya dari pada yang baiknya, karena Dia sayang kepada kita, maka dia haramkan makanan itu…”.  Persoalan tentu saja tidak sampai di sini, aku sungguh berharap anak-anakku kelak nanti akan belajar lebih banya tentang sebab musabab sebuah makanan dihalalkan dan diharamkan. Sejalan dengan perkembangan usia mereka, menurutku logika mereka akan banyak menjangkau hal-hal yang sekarang di luar pikiran mereka. “ ada lagi makanan yang haram, dari yang sudah langsung ditetapkan oleh Allah… yaitu makanan yang cara mendapatkannya tidak dengan cara yang benar, misalkan mencuri, tidak ijin kepada orang pemiliknya, memaksa memberikan makanan dari temannya, enci sekarang tanya…siapa yang pernah baambil mangga tapi tidak babilang?, mimum air temannya langsung minum, atau menemukan barang orang lain lalu langsung di bawa pulang?.  Tentu saja, anak-anakku akan tunjuk jari satu-satu karena masalah ini. “ Irsa, kalau kita ambil mangga Enci Ita tanpa ijin, itu namanya apa?”. “ mencuri Enci..tapi saya babilang Enci”, celetuk Irsa. “ Afdal, kalau air minum Hasna langsung kamu minum, lalu Hasnya tidak rela, kira-kira bagaimana”. Dengan gaya kocaknya Afdal langsung berkata “ Eh…Hasna, minta maaf e saya ya” .  Aku kemudian menjelaskan kepada anak-anakku soal konsep makanan halal dan toyib. “ Makanan yang halal itu telah ditentukan oleh Allah baik di dalam Al-Qur’an maupun Sunah, sedangkan makanan yang toyib itu adalah makanan yang sehat dan baik dikonsumsi oleh tubuh kita, misalkan mangga itu halal, tetapi  kalau kalian lagi sakit perut dan diare, maka itu menjadi tidak toyib, dan yang paling penting adalah bagaimana kalian mendapatkannya. Jika dengan cara menggambil punya orang lain walaupun makanan itu halal dan sehat untuk tubuh, maka tetap saja makanan itu haram untuk kita makan” . Aku kemudian menutup kesimpulan dengan pernyataan, “ walaupun  yang memberikan makanan itu adalah orang muslim,   dan kalian tahu makanan itu didapatkan dengan cara yang tidak baik, maka kalian tidak boleh memakannya, dan misalkan kalian mendapatkan makanan dari orang yang berbeda agama dengan kalian, kalian tau asal-usulnya baik, kenapa tidak diterima” .

            Dialog dengan anak-anakku menjadi semakin menarik rasanya “jika kalian diajar guru yang bukan Islam mau apa tidak?”.  Jihan berkata “ mau enci…asal dia baik sama kitorang”, “Semua manusiakan baik enci, asal dia tidak bajahat, mau kitorang” Ucap Fadel menambahkan. Sedangkan Fauzan berkata “ ah, enci…. saya tidak mau, lebih baik saya bodoh Enci dari pada punya guru seperti itu”. Anak-anakku masih terbagi menjadi dua kubu untuk pertanyaan ini. Antara mau dan tidak menerima, “ Yang penting dia tidak baajar agama Enci, kalau baajar agama tetap Pak guru tidak apa-apa kitorang mau”, tambah Alia. Lalu Edil berkata “ nanti kitorang diajar banyanyi-nyanyi enci….”.  Aku kemudian memancing mereka dengan pernyataan “kalian mau diajar Enci Lili?”. Serentak anak-anakku berkata “ mau…!”. Lili adalah teman sepenempatanku di Banggai yang beragama Kristen, anak-anakku sudah mengenal Lili dari beberapa interaksi mereka. “lho…ibu Lili kan agamanya Kristen kenapa kalian mau diajar oleh mereka?”,  Aku  berusaha menerka-nerka pikiran polos mereka  tentang orang-orang yang seolah berbeda dengan mereka. “ Karena enci Lili orangnya baik Enci…! dan dia temannya Enci, mau kitorang diajar sama dia”.  Aku tertawa dan geleng-geleng dengan jawaban mereka. “ jadi sebenarnya, jika orang itu baik, apapun agamanya kita harusnya berteman dan juga baik sama diakan!”,  tegasku kepada mereka. “Kalian semua beragama Islamkan, muslim yang baik itu salah saatunya adalah menghargai dan menghormati orang lain terlepas apa agama dan bagaimana warna kulitnya… bukan muslim yang baik kalau terus bagara orang lain”.

            Aku tidak tahu seberapa banyak dialog sederhana bersama anak-anakku memberikan kesan dipikiran mereka dan memberikan dampak apa atas penerimaan keberagaman. Namun aku belajar bahwa, pikiran anak kecil memang tidak serumit pikiran orang dewasa. Tidak mau diajar karena gurunya berbeda agama, kemudian digugurkan dengan pernyataan, mau diajar beda agama karena orangnya baik. Anak-anak pada dasarnya akan dengan tulus menerima siapapun yang juga tulus kepada mereka, terlepas apapun latar belakangnya. Usia, lingkungan atau orang-orang desawasa sekitar mereka yang kemudian membuat ketulusan itu memudar dengan prasangka kepada sesama.

            Aku menjadi merefleksi diriku sendiri terhadap kondisi anak-anakku. Aku kecil dulu, merasa bingung ketika orang dewasa menjelaskan tentang agama kepadaku. Tentang Tuhan itu harus diimani, nabi yang hidupnya harus diteladani atau tata cara ibadah yang harus dilakukan, kenapa manusia yang beragama itu harus berbeda. Otak kecilku tidak mampu menangkap hal-hal abstrak yang jauh di luar logikaku. Sepajang perjalanan usiaku kemudian aku menemukan banyak esensi tentang ketuhanan dan kemanusiaan yang lebih dari sekedar tuturan-tuturan saklek hukum oleh pemuka agama. Bahwa bagaimana makna membaca maknanya lebih luas dari hanya sekedar teks di buku atau lafal ayat di dalam kitab suci. Agama yang pada akhirnya menjadi tuntutan bagi anak-anak sebagai pedoman moral dalam berperilaku, agar seberapa suksespun nanti mereka dimasa depan, mereka tetap menyadari bahwa ada nilai-nilai yang ketika mereka kembali, mereka akan menemukan tidak hanya tuntutan hidup, tetapi juga ketenangan.

Semoga anak-anakku terus mendapatkan kesempatan untuk belajar.

Saraba dan Kehangatan

 

Malam ini aku agak kedinginan ketika enci siti Har, menyajikan ubi dan saraba di hadapanku. ” ini minuman khas Bugis yanti, enak kalau diminum dingin-dingin”

Saraba adalah minuman tradisional yang cukup sering dibuat di kampungku. Mudah cara membuatnya, percampuran antara susu atau santan, gula merah dan jahe dengan kompisisi tertentu. Biasanya orang-orang akan meminumnya dengan makanan pendampimg ubi atau pisang goreng. Saraba memang punya efek menghangatkan dan melegakan tenggerokan. Ini termasuk makanan khas Bugis yang cukup bisa kunikmati. Kampungku untuk urusan makanan berada di peringkat pertama kemewahan dari lima daerah penempataan pengajar muda lainnya. Tumpah ruah dan menggiurkan, namun sayangnya tidak semua aku bisa menikmati kelezatan ini. Cumi, kepiting, kerang, Papeda, Sinole atau beberapa jenis sayuran umumnya aku lewatkan begitu saja. Lidahku hingga masa kepulanganku rupanya belum bisa bertoleransi.

Aku mengenal Saraba pertama kali ketika kepala sekolahku membawakan seteko Saraba dengan riang dihadapanku. “ ini enci…. sambil diminum, buat bakerja”,. Busyet…minuman sebanyak itu aku disuruh menghabiskan. Atas nama ketulusan senyum pak Jamal yang spesial membelikan untukku, aku kemudian mencicipinya sedikit. Kala itu, untuk udara yang sangat panas, minuman ini terlalu luar biasa di tenggorokan. Saraba kemudian menjadi nyantol di kepalaku sebagai minuman unik yang sebenarnya amat enak jika disajikan sesuai kondisi.

Enci Siti Har dan Saraba

Enci Siti Har adalah andalan koki sekolah kami

Enci Siti Har adalah andalan koki sekolah kami

 Beberapa hari lalu Enci Siti Har, Guru kelas lima datang ke rumahku. “ yanti….kapan kamu bamalam ke rumah, kamu orang sudah mau pulang…, tak tau lagi ya…kalau kamu sudah pulang ke kampung, kapan lagi saya bisa melihat kamu”. Sambil menatapku, Enci Siti Har kemudian berlalu sambil menangis. Akupun akhirnya datang dengan niat bermalam di rumah enci, sekedar mengobrol dan melunasi janji pikirku. Bersama Ida aku menginap di sana. Enci sudah memasak makanan yang banyak untuk kami. Ayam masak lombok merah yang menggiurkan, mie goreng, juga ikan kuah. Aku sampai tambah berkali-kali karena kelezatannya.

“Banyak sekali makanannya enci” Ucapku kepada Enci

“ sudah mi, makan saja yang banyak, kapan lagi kita bisa makan bersama” Sahut Enci

Enci Siti Har benar, kapan lagi kami bisa bersama makan seperti keluarga seperti ini. Enci Siti Har adalah salah satu orang yang dari dulu amat baik kepadaku. Berkali-kali menyuruhku tinggal di rumah atau hanya sekedar bermalam. Malam ini Enci kemudian menambahkan minuman saraba untuk menemani kami ngobrol di sisa waktu.

Terimakasih Enci, atas kehangatan dan perhatiannya 🙂

Melihat Kembali (Mengabadikan Cerita)

Di Bakiriang bersama anak-anak belajar burung Maleo

Di Bakiriang bersama anak-anak belajar burung Maleo

            Akhirnya aku punya kesempatan lagi untuk melihat tayangan Lentera Indonesia tentang Desa Moilong dan anak-anakku. Pada tayangan perdana, aku memang menontonya. Hanya saja, aku terlalu sibuk dengan respon anak-anak sehingga banyak hal yang terlewat olehku. Bagaimana perasaanku? Well, rupa-rupa tidak berdefinisi…melihat rupa anak-anak yang begitu bersemangat…mata berbianar dan tantangan perilaku…Ada harapan di sana…Ketika anak-anakku terus belajar dan berproses.

Mendokumentasikan suasana kelas empat

Mendokumentasikan suasana kelas empat

wp_ss_20140704_0060

Sore hari yang menyenangkan dengan berdongeng

Terlepas dari kesalahanku menulis bagi dengan akar, yang mungkin akan terus dicaci oleh Masyhur dan Aul, dengan bumbu tambahan dari Masyhur tentang tidak kamera face… Paling tidak nilai-nilai yang berusaha kuperjuangkan di dalam tayangan ini, secara umum dapat tergambar. Aku kemudian benar-benar menyadari pentingnya menulis… karena beberapa hal di tayangan itu, terpapar dari tulisanku… betapa pentingnya mengkomunikasikan, karena komunikasi membuat orang akhirnya tidak meraba-raba.

Bingkisan untuk Nenek Aji yang sekian lama mengabdi

Bingkisan untuk Nenek Aji yang sekian lama mengabdi

            Aku menarik nafas panjang ketika melihat sosok nenek Aji, nenek yang selama ini amat menyayangiku. Puluhan tahun perjuangannya mengajarkan ayat demi ayat kepada anak-anak, sebenar-benar ketulusan itulah Nenek Aji yang mengajar tanpa dibayar sepeserpun. Aku mengamati sosok Pak Lis yang berkata“ melalui olah raga ini, saya dan anak-anak bisa sama-sama sholat di mesjid, Alhamdulillah banyak anak-anak yang sekarang sholat di mesjid. Itu tujuan utama saya”. Oh Tuhan, dibalik langkah dan perilaku orang-orang ini, ada tujuan kemuliaan di baliknya.

Berceloteh Cita-cita di kelas enam

Berceloteh Cita-cita di kelas enam

           

Perjalanan ke Bakiriang

Perjalanan ke Bakiriang

“Enci…. kemaren kitorang menonton tayangan di TV…. itu jadi kenangan anak-anak sama enci e..”, ucap seorang ibu kepadaku. Sejenak aku terdiam mendengar ucapan sang ibu…kenang-kenangan. Yah, itu adalah kata yang tepat untuk menggambarkan rasa ini. Aku dan anak-anak punya kenangan bersama yang bisa kami nikmati kapanku kami mau… bahwa kami pernah sama-sama berproses, bahwa ada harapan besar untuk mereka dimasa depannya. Bahwa guru mereka ini sangat ingin mereka memiliki nilai-nilai hidup yang baik disamping prestasi, bahwa di desa mereka sendiri sebenarnya banyak orang yang punya ketulusan terhadap berbagi, dan hingga aku menjadi kakek nenek kelak…kengangan akan desa Moilong terus akan lekat dalam hati dan ingatanku.

Mengabadikan Proses menjadi guru

Mengabadikan Proses menjadi guru

Tayangan hampir lima puluh menit ini, menggambarkan bagaimana aku sendiri berproses di dalam hidupku. Nilai-nilai apa saja yang ingin kuperjuangkan di dalam hidupku, dan hal-hal esensi apa yang ingin terus kupertahankan. Tayangan yang akan menjadi pengingat kecintaanku berbagi dan betapa bahagianya aku di masa itu. Penampar ketika aku lelah dalam hidup, bahwa kita harus terus bergerak dan bermanfaat untuk sesama.

NB : katarsis emosi habis ngerjain Dapodik….

Penugasan dan Penerusku….

            Sebentar lagi masa penugasanku habis, dua bulan lalu aku sudah mewacanakan kepada anak-anakku bahwa akan ada penerus yang menggantikanku.. Ku sebut sebagai penerus, karena aku yakin, kami tidak saling menggantikan, tetapi meneruskan apa yang menjadi cita-cita luhur pendidikan.   Dan kenapa akhirnya kami memilih mewakafkan setahun mengajar anak-anak ini, karena kami memiliki idealisme yang sama. Beragam ekpresi kutemui dari anak-anak, aku akhirnya mulai menemui kecintaan mereka kepadaku.. Apakah tandanya aku sudah berhasil….. aku tidak pernah memikirkannya. Bagiku, semakin banyak kesempatan bisa kuberikan kepada anak-anakku untuk belajar dan mengenal banyak hal, rasanya itu adalah kebahagiaan. Anak kelas empat biasanya langsung terdiam dengan kata penerus ini… beberapa detik kemudian disertai dengan respon tidak terima yang dilontarkan dengan beberapa pertanyaan kenapa, kenapa dan kenapa. Suatu ketika Afdal pernah mengangkat tangan dan bilang “ enci….kitorang tadi bercerita, kalau sebentar lagi enci mau pergi… Fauzan enci…langsung menangis…sedih kita enci”.  Kata polos mereka, seketika ingin membuat air mataku juga ingin menetes… Yah, sebentar lagi masa itu akan tiba….di detik-detik yang terus saja berlalu… Kampung keduaku Moilong, akan kutinggalkan.

“ enci nanti penggantinya enci ba ajak kitorang ke sawah”

“ enci…. guru baru nanti baajak kitorang menonton?”

“ enci…. nanti lama-lama guru baru itu bapukul kitorang mi…awal-awalnya saja baik…lama-lama jahat pasti”

“ enci…. tidak usah mi enci diganti, enci saja selamanya di sini…kenapa enci harus diganti….”

            Anak-anakku tetap saja selalu luar biasa, sumber kebahagiaan sekaligus kegemasanku di desa ini. Rasanya ingin kuberikan dunia kepada mereka agar mereka tau dan mengerti. “ enci…kalau enci pergi ke kampungnya enci…pilih satu anak buat ikut enci” kata Lala kepadaku. “ Lala mau ikut ke kampung enci?….” Lala dengan senyum bilang “ mau enci”.  Pikirku, mungkin aku yang harus lebih cepat beranjak setelah penugasan. Anak-anak ini sejalan waktu dengan adanya penerus yang kuyakin lebih baik dariku pasti akan bisa melupakan kesedihan atas enci mereka yang pergi. Bukankah anak-anak cepat sembuh dari lukanya, anak-anak secara natural akan menerima orang-orang yang terus menyayanginya. Orang dewasa sepertikulah yang harus lebih belajar terhadap ketulusan anak-anak.

“ mungkin tidak akan sama itu penggantinya enci…”

“ macam situ kan penggantinya enci…disini kalau cuek-cuek, tidak cocok sama kitorang”

“ belum tentu macam enci penggantinya….pasti tidak sama”

            “Guru baru itu adalah penerus saja bu…pak…., insya allah dia pasti lebih baik dari saya”,  rupa kata-kata inilah yang selalu kukatakan kepada beberapa orang desa menanggapi kepergianku. Orang-orang yang selama ini menghiasi hari-hariku. Aku memang belum mengenal keseluruhan dari mereka. Tetapi setahun yang luar biasa ini. Masyarakat desa Moilong memberikan pelajaran amat berharga kepadaku. Bagaimana akhirnya aku begitu mencintai mesjid, menyenangi acara keagamaan, berkumpul dan mengenal kesederhanaan perpektif, atau sisi kebersamaan yang mencerminkan kearifan lokal. Indonesia….yah, aku berada di sudut pandang Indonesia pedesaan yang sungguh suatu kesempatan besar bisa melaluinya.

Minggu ini pengumuman pengajar muda kabupaten Banggai, satu diantaranya adalah penerusku di desa Moilong. Guru baru yang akan membersamai anak-anakku, guru-guru, dan orang-orang di desaku menuju perubahan-peruahan kecil menuju sesuatu yang lebih besar. Ingin rasanya ku melakukan lebih dari yang sudah ada, namun pendidikan itu adalah sinergisitas dan seberapa besarpun semangat juga tenagaku aku tidak akan pernah bisa bekerja sendirian. Begitu juga dengan penerusku…ada harapan di tahun kedua Indonesia Mengajar, semuanya bisa lebih sama-sama bergerak.

Selamat datang Pengajar Muda Banggai…. Anak-anak luar biasa dan pembelajaran berharga sudah menunggumu.

Mengenal Anak-anakku yang Istimewa (Kado Kecintaan Untuk Kalian)

 

Setiap anak itu istimewa, dan aku ingin terus mengenali mereka dengan istimewa

Harapan menjadi seorang Guru

            Beginilah cerita seorang guru, rasanya nano-nano… di satu tahun penugasanku, aku terus belajar bahwa menjadi guru itu sungguh tugas mulia, tetapi bukan berarti aku menjadi dewa yang bisa melakukan segalanya, membuat semua anak-anakku menjadi sesuai yang ku mau…Bukan hanya soal kompetensi atau nilai-nilai yang tampak dari prestasi, tapi juga nilai-nilai dalam hidup yang harapannya mereka miliki. Ya, aku adalah seorang guru, yang aku yakini bahwa guru di manapun di dunia pasti menginginkan yang terbaik untuk anak didik mereka..Yang terbaik dari perspektif yang ada di logika mereka… Begitun aku…Predikat sebagai seorang guru membuatku memiliki harapan tinggi terhadap mereka sesuai dengan imajinasiku.

Kecintaan yang membuatku belajar

WP_20131012_007

Mencintai mereka dengan sederhana

            Kecintaanku kepada mereka, pada akhirnya membuatku belajar membumikan ego keguruanku, menolkan harapanku, dan mengenali mereka apa adanya sebagai anak-anak yang istemewa, dan mencoba melakukan yang terbaik atas mereka. Aku belajar bahwa tidak semua anak jago matematika dan hafal perkalian dengan sempurna. Mengerti konsep skala atau memahami bagian dari rangka. Pun aku memahami tidak semua anak yang penurut dan rajin membaca, apalagi senang ke sekolah dan menjadi juara. Mereka bukan anak pendiam dan melipat tangan ketika guru datang apalagi selalu berkosentrasi terhadap semua pelajaran yang kuberikan.  Anak-anakku adalah sekelompok kumpulan perilaku unik yang harus kuterima apa adanya dengan sisi-sisi yang istemewa.

Menjadi guru terus membuatku lebih belajar memahami anak-anakku yang istemewa.

            Akram anakku bukanlah anak yang jago di pelajaran yang berhubungan dengan konsep. Setiap anak pasti mempunyai bakat yang menonjol dari dirinya, termasuk Akram yang mahir bermain sepak bola dan bulutangkis seperti cita-citanya dimasa depan. Akram kadang  membuatku emosi karena perilakunya yang agresif baik verbal maupun fisik. Si Akram yang reaktif, dan tampak amat spontan menyatakan suka atau tidak terhadap sesuatu adalah ciri khas dari Akram. Namun Akram adalah anak yang istimewa. Setiap sore aku melihatnya membantu ayahnya menggembala sapi. Berjalan cukup jauh, dan menggiring sapi menuju kandangnya. Akram  kadang selalu membantuku untuk mendiamkan anak-anak di kelas, dan berteriak “ kamu orang jangan babikin enci marah”, Akram senang menjadi pemimpin dan tidak malu menyatakan pendapatnya, dan Si  ramah Akram selalu tersenyum lalu berteriak enci!!!!….ketika aku lewat depan rumahnya.

            Fauzan mungkin adalah tipe siswa yang akan disayang semua guru. Pintar, rajjn, cepat menangkap pelajaran, pendengar yang baik di kelas, dan adalah anak yang ketika diberikan tugas, akan selalu menyelesaikannya dengan baik. Tentu saja aku sangat senang memiliki siswa seperti Fauzan, membuat ego keguruanku merasa terpuaskan. Sifat anak-anak yang ingin menang sendiri tentu masih ada di Fauzan, tetapi sebenarnya ada yang lebih istemewa dari kecerdasannya. Dia adalah pemimpin di kelas empat, yang dipilih hampir oleh semua teman-temannya karena visi dan misinya di depan kelas, yang tanggung jawab mengkoordinasikan tugas teman-temannya kuberikan kepadanya dengan tanggung jawab yang baik. Fauzan belajar menjadi pemimpin dan suatu saat dia akan menjadi pemimpin yang baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain.

            Hasna adalah anakku yang cenderung tidak percaya diri dengan kemampuannya. Butuh waktu yang cukup lama untuk memintanya mencoba tampil di depan umum. Hasna adalah anak yang pendiam dan tidak mencolok di kelas, namun Hasnaku istemewa. Dia adalah anak yang mudah memahami maksud suatu bacaan, matematikapun bisa dimengerti dengan mudah, Hasna bercita-cita sebagai dokter, katanya ia ingin membantu orang lain. Iyek enci, terimakasih…. Itu yang sering hasna katakan di jurnalnya jika aku menceritakan sesuatu. Hasna yang pendiam ini ternyata lebih asertif di dalam jurnalnya.

            Dulu guruku pernah berkata, siswa yang biasa-biasa saja, dalam artian tidak masuk dalam kategori pintar sekali, bodoh sekali, nakal sekali, pendiam sekali…tidak akan banyak mendapatkan perhatian guru. Anakku Rahmad memang tidak masuk dalam keempat kategori itu..Rahmad jarang bikin ulah, dan biasanya paham apa yang diterangkan. Sehingga kadang aku tidak perlu menghawatirkan Rahmad seperti beberapa temannya. Namun belakangan aku mengenal Rahmad sebagai anak yang istemewa. Jujur, itu adalah catatan pentingku untuknya. Aku melihat kekonsistenan perilakunya untuk memberikan apel hitam di pohonnya tanda dia sudah melakukan kesalahan. Telaten, itu catatanku berikutnya, ketika aku memberikan soal untuk latihan kepadanya, dia seolah hanyut dengan dunianya. Tidak peduli bagaimana ribut atau serunya teman-temannya bermain, Rahmad hanya akan asik dengan soalnya. Rahmadku benar-benar istemewa dengan cita-citanya menjadi pengusaha dan pegawai yang jujur.  Di Jurnalnya Rahmad berkata ingin menjadi orang kaya agar bisa membangun mesjid. Mulia sekali cita-citanyakan, dan ada doa untuk mengaminkan dalam setiap harapan dan langkah Rahmad.

            Tanyalah kepada guru-guru siapa gadis yang nakal, suka membantah, dan kadang dianggap tidak sopan di kelas empat. Jawabannya adalah Aliana. Walaupun demikian seisi sekolah mengakui bahwa Alia adalah anak yang luar biasa cerdas. Membahas ke ontetikan Aliana, aku bahkan membutuhkan satu note tersendiri untuk anakku yang amat spesial ini. Aku mengenalnya sebagai anak pemberani dan kritis terhadap keadaan juga bertanggung jawab kepada perilakunya. Alia memang suka membantah, tetapi belakangan aku tahu, itu adalah luapan emosinya yang tidak suka ditekan. Biasanya, setelah itu Alia dengan sadar akan melakukan hal yang dinasehatkan kepadanya. Bukankah Alia istemewa, ya….anakku ini sungguh istemewa dengan perpaduan ulah keseharian, kecerdasan, dan bagaimana Alia berproses untuk lebih bertanggung jawab tergadap perilakunya.

            Jika bertemu anakku Suci, mungkin akan melihat gadis cantik kecil dengan senyum menawan…Cantik sekali rupanya, begitu juga lembut perasaannya. Suci kecilku memang bermasalah di pelajaran matematika. Dia membutuhkan waktu lebih banyak untuk mengali dan membagi. Suci kadang juga suka diejek oleh teman-temannya, dan di jurnalnya sering menuliskan perasaan sedih karena itu. Tetapi Suci adalah anak yang sabar, suaranya tidak pernah meninggi karena marah. Jikapun ia berteriak memanggil seseorang, pasti disertai dengan senyumnya yang khas. Istemewanya anakku ini adalah inisiatifnya untuk membantu orang lain. Di kelas aku kadang sering bertanya, siapa yang mau membantu enci membersihkan kelas?, Suci adalah salah satu dari sedikit anak yang mengambil sapu dan melakukannya. Menurutku, Suci akan menjadi gadis cilik yang suatu saat menjadi menjadi ibu yang lembut untuk anak-anaknya.

            Fitri pernah menangis dan mengadu kepadaku karena ada yang mengejek cita-citanya sebagai pramugari. “Aku mau menghapus saja tulisan di dinding itu tentang cita-cita enci”. Kenapa Fitri harus menghapus, biar saja mereka mengejek, yang bercita-citakan Fitri”. Suaraku yang cepat dan mungkin meninggi membuat Fitri justru tambah menangis. Seketika aku kaget dan menyadari bahwa Fitri adalah gadis cilik yang hatinya begitu lembut. Keistemewaan dari Fitri bukan nilai 100 pada setiap ulangan, tetapi caranya memperlakukan teman dan orang-orang di sekitarnya. Sopan dan santun mungkin begitulah sifatnya, penurut dan pendengar itulah sifat berikutnya. “Saya membantu matua buat bajemur padi enci, makanya saya tidak bisa datang ke sekolah”, Celetuk Fitri kepadaku. Anakku ini memang tidak menonjol di berbagai pelajaran di sekolah, tetapi sesungguhnya dia mempunyai keterampilan hidup yang baik sebagai anak desa yang bekerja membantu orang tuanya.

“Dalo katanya kamu sudah paham… lalu kenapa ini masih salah”,  kadang-kadang emosi keguruanku meningkat gemas ketika anakku Dalo selalu salah mengerjakan tugas yang kuberikan. Hatiku melunak setiap membaca tulisannya tentang cita-cita “Enci, aku ingin menjadi tentara yang jujur dan baik juga sholeh”. Mulia sekali cita-citanya dan semoga kesempatan selalu menyertainya. Dalo adalah anak dari keluarga sederhana di desaku. Bapaknya membantu mengurus mesjid, dan keseharian biasanya bapukat (nelayan). Dalo anakku ini  senang sekali pelajaran olah raga, bermain bola adalah kebiasaan rutinnya hampir setiap sore di sekolah. Dalo anakku ini istemewa karena ia rajin ke mesjid untuk berjamaah, suka bercerita di jurnalnya, dan ia juga menyukai menggambar.

Yah…setiap anak memang istemewa. Sekumpulan bocah ini terus membuatku belajar untuk lebih membumikan egoku yang melangit, belajar menerima mereka apa adanya dan mengenali setiap potensi yang ada pada mereka.

Anak-anakku yang super hebat di kelas empat

Anak-anakku yang super hebat di kelas empat


            Sudahlah fikirku tentang matematika atau mencapai kompetensi tertentu.  Ada anak-anak yang dengan mudah memahami logika numerik, namun ada juga yang mampu memahaminya sejalan dengan perkembangan umurnya. Mereka tidak harus mahir semuanya, tetapi minimal menguasasi hal-hal dasar yang menjadi bekal di jenjang pendidikan berikutnya atau hidup mereka kelak. Aku kemudian menjadi teringat sesi pelatihan sebelum kami penugasan oleh Pak Munif Chatif tentang gurunya manusia. Ya…aku adalah gurunya manusia, bukan gurunya robot dengan cetakan yang sama dari pabrik. Setiap anak adalah juara, bahwa kemampuan tidak harus dinilai dari kognitif belaka yang bisa jadi setiap anak dilahirkan dengan potensi berbeda-beda untuk dikembangkan agar versinya pak munif menjadi masterpiece  dari Tuhan sebagai anugerah bagi setiap orang tua.

Mereka punya sisi yang luar biasa …..

            “Enci saya mau babeli yang ini enci..yang ini…”, Teriak Edil di kelas sambil mengangkat tipe-x teman sebangkunya saat aku bertanya ingin belanja apakah mereka dengan uang tabungan mereka. Spontan ulah polosnya membuat satu kelas termasuk aku tertawa terbahak-bahak karena selama ini Edil sering dimarahi teman-temannya sebagai pemakai tipe-x terbanyak dan menghabiskan isinya. Edil sering membuatku gagal dan frustasi sebagai guru, karena nilai-nilainya yang selalu di bawah rata-rata. Kompetensi membaca dan berhitung, suatu saat akan dikuasainya dengan baik jika anak ini terus mendapatkan kesempatan belajar. Istemewanya Edil adalah caranya yang selalu senyum walaupun kadang menjadi bahan ejekan teman-temannya. Edil memang selalu selesai paling akhir, tetapi dia selalu menyelesaikannya. Beberapa kali dia kuminta mengulangi pekerjaannya, dan dia selalu menyelesaikannya tanpa mengeluh dan tidak tergoda dengan teman-temannya yang sudah bermain. Yang paling aku suka dari Edil adalah keinginannya untuk belajar. Edil datang les ya…dia akan datang paling awal dan setia menunggu di depan perpustakaan sekolah. Mungkin butuh waktu untuk Edil mengejar kemampuan teman-temannya,tetapi aku yakin Edil pasti akan lebih baik.

            “Irsa…kenapa kamu senang sekali begara teman-temanmu”, “ Irsa, kenapa memukul temanmu”. “ Irsa, kenapa kamu harus berteriak di kuping enci begitu”, Irsa…Irsa…Irsa… Tidak terhitung rasanya aku bertanya tentang perilakunya setiap hari. Irsa kadang membuat kesabaranku benar-benar diambang batas kemarahan. Atas bakatnya di kelas yang sering membuat onar, aku kemudian memberikan jabatan sie. Keamanan kepadanya. Irsa senang sekali melakukannya tentu saja dengan gaya dan caranya yang cenderung agresif. Irsa harus belajar untuk mengkomunikasikan segala sesuatu dengan lebih asertif, itulah catatan pentingku untuknya. Dari Irsa akhirnya aku lebih belajar lagi tentang makna sabar dan berfikir bagaimana cara bersikap dengan anak ini, dan mencoba memahami sisi-sisinya yang istemewa.  Irsaku istemewa, ketika ia sudah benar-benar memahami matematika, ia seperti orang yang ketagihan pelajaran ini. “kalau begini aku bisa enci”  begitu biasanya teriak Irsa. Seperti Akram, ia senang berolah raga dan selalu merasa tertantang untuk melakukan hal-hal yang baru. Irsa bukan anak yang pemalu dan itu adalah modal untukknya kelak. Aku menjadi teringat kata-kata Dorothy berkata “jika anak dibesarkan dengan celaan, maka ia belajar memaki. Jika anak di besarkan dengan permusuhan maka ia akan belajar berkelahi. Dan Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, maka ia belajar menyesali diri”.  Aku tidak ingin anakku Irsa menjadi demikian, kesabaran dan ketulusan orang-orang sekitarnya dalam mendidik suatu saat akan menjadikan anak ini lebih toleransi, mengghargai dan penyayang terhadap orang-orang sekitarnya.  Seperti cita-citanya yang ingin menjadi pemain bola pemberani dan sholeh, semoga kesempatan untuk terus belajar selalu Irsa dapatkan di dalam hidupnya.

            Menjelang pulang sekolah, Jihan kadang-kadang mengangkat tangannya dan berkata “ enci…saya mau mengaku, saya sudah dua kali berkata kotor..”,  Itulah Jihan, salah satu anak yang paling jujur di kelas. Satu-satunya anak yang belum pernah dapat apel hitam di pohon kebaikannya. Tandanya Jihan selalu menjadi anak yang baik dalam keseharianya.  Jihan yang baik hati, lembut, mendengarkan dengan baik, dan menolong teman-temannya itulah keistemewaan Jihan. Jihan tinggal bersama neneknya dan  termasuk anak yang cukup mandiri. Di banyak pelajaran di kelas, Jihan memang membutuhkan banyak latihan, namun ketelatenan dan tekunnya Jihan akan mampu mengimbanginya hingga suatu saat insya allah ia akan bisa menjadi dokter yang baik seperti cita-citanya.

            Muh. Afdal namanya, panggilan kesayanganku untukknya adalah Adal. Dia adalah salah satu anak yang paling lucu sekaligus sering membuat ulah di kelas. Berjalan-jalan di kelas, bernyanyi paling keras, berjoget-joget sendiri, atau menggoda teman-temannya. Sering sekali ketinggalan pulpen dan merasa amat frustasi jika aku memberikan apel busuk di pohon apelnya, memecahkan kaca rumah Dinas kosong di siang bolong untuk mengusir setan di sana, tiba-tiba membuka baju dan mengeluarkan jurus bertapa di pagar sekolah,  berputar-putar sendiri berkali—kali di lapangan bulu tangkis desa untuk mendukung temannya, berinisiatif memerintah teman lain menuliskan apel merah di pohon  temannya, jago merayu teman yang digara untuk segera memaafkannya atau pergi ke kandang ayam dan mengerami telur-telurnya. Adal bagiku adalah hiburan di saat mengajar, dan belajar ketegasan untuk mengontrolnya di sisi lainnya. Mungkin banyak yang tidak sadar bahwa Adal adalah pemerhati lingkungan sekitarnya. Adal adalah anak yang menyadarkanku tentang kekhasan wajah teman sepenempatanku, langsung bertanya keadaanku saat aku tampak sakit, dan kadang aku merasa dia memperhatikan ekpresi wajahku terlebih dahulu sebelum melakukan tingkah berikutnya.  Awalnya aku sempat berfikir, bahwa Adal memiliki kecendrungan kurang konsentrasi yang mengarah kepada hiperaktif, tetapi penilaiannku salah, Adal adalah anak yang penuh dengan energi yang harus di salurkan kepada hal-hal yang positif. Adal senang sekali bermain bola dan bulu tangkis, pencinta pelajaran olah raga, dan aku menemukan bakatnya yang cukup baik di pelajaran IPA karena dia cukup mampu menghubungkan teori dengan dunia nyata. Afdal dengan imajinasiya, dengan keceriaan dan kepolosannya, dengan kepekaan dan caranya menyayangi menjadi anak yang sungguh istemewa bagiku.

            Aku pernah menghukum Winda duduk di pojokan dekat lemari karena perilakunya yang mencoret buku dan lantai sekolah kami tidak lama setelah kuingatkan tentang perilaku mencoret-coret. Aku juga pernah menghukum Winda karena menambahkan apel busuk di pohon temannya setelah kesepakatan kelas bahwa dilarang melakukannya. Ya, Winda…. adalah salah satu anak yang satu sisi kadang membuatku gemas, sisi lainnya membuatku belajar mengenali sisi spesialnya. Winda senang bercerita di jurnalnya, tentang perasaan-perasaan atau kejadian di sekitarnya. Winda anakku ini bercita-cita ingin menjadi Polwan yang baik dan menolong orang lain dan dengan semangat dia menuliskan akan belajar dengan giat untuk mencapainya. Saat Winda tiba-tiba mengangkat tangannya di kelas dan berkata “enci…saya mau jujur, saya sudah tiga kali berkata kotor, saya mau taruh apel hitam di pohon saya”,  sejenak aku kemudian tersadar bahwa sama ketika aku kecil yang kadang suka melawan, Windapun butuh proses untuk lebih mengerti baik dan salah dari lingkungannya. Winda yang rajin menabung, Winda yang berusaha menyelesaikan soal hingga selesai, Winda yang berusaha menepati janji yang dibuatnya… anakku Winda sedang berproses menjadi anak yang lebih baik.

            “Enci, terimakasih sudah suruh saya untuk bakasih pinjam teman-teman saya. Saya sungguh senang”,  tulis Fadel di buku jurnal hariannya. Fadel adalah salah satu dari dua anak di sekolah yang kupercaya mengelola buku-buku penyala di rumahnya. Kakak Fadel bercerita kepadaku bahwa Fadel rewel sekali kalau masalah peminjaman buku, dia harus mencatatnya sendiri, memastikan siapa yang meminjam, dan meletakannya di lemari pakaian di kamarnya. Ketika aku berkunjung ke rumah Fadel dan kutengok kamarnya, dengan antusias dia menunjukan catatan peminjaman dari anak-anak dan bercerita siapa saja yang sudah membaca buku-buku yang kutitipkan kepadanya. Dari Fadel aku belajar bahwa anak merasa teristemewakan jika mereka dipercaya oleh orang yang lebih dewasa. Tanggung jawab Fadel menjaga buku-buku itu di luar batas ekpektasiku sebagai guru. Anak ini ternyata mampu melakukannya dengan baik dan aku akhirnya melihat sisi istemewa Fadel atas kesempatan yang diberikan kepadanya. Fadel bercita-cita ingin menjadi tentara yang berani,” aku ingin membela negaraku indonesia dan menjaga negaraku, membela kebenaran dan ketertiban masyarakat Indonesia”  tulis Fadel di pojok cita-cita yang tertempel di kelas kami. Dia memang tidak jago matematika atau selalu mendapatkan nilai seratus di setiap ulangan, bukan juga anak yang penurut dan selalu mendengarkan duru, tetapi Fadel anakku adalah anak yang berusaha belajar dan menyelesaikan tugas sampai selesai.

Harapanku kepada anak-anakku yang istemewa

Ingin kukatakan kepada dunia, bahwa mereka sungguh istemewa. Mungkin butuh waktu untuk mereka mengerti kata atau logika matematika, proses yang akan terus berkembang jika mereka mendapatkan kesempatan. Tapi tengoklah keterampilan hidup yang mereka dapatkan semenjak kecil. Menggembala sapi yang lebih besar dari ukuran tubuh mereka, berjualan untuk membantu orang tua, memanjat pohon kelapa, berenang dan menyelam, bapukat, pekerjaan rumah yang setiap hari di kerjakan, bagaiamana menjemur padi atau coklat, kemandirian karena orang tua pergi melaut dan pulang larut malam, atau belajar mensyukuri hal-hal sederhana yang mereka punya. Anak-anakku memang masih belajar bercita-cita dan merangkai cara untuk menggapainya tetapi anak-anakku memiliki potensi luar biasa untuk mencapainya. Semoga kesempatan selalu menyertai mereka.

Untuk anak-anakku yang istemewa….

Entah sepuluh atau dua puluh tahun lagi, ketika anak-anakku membaca catatan ini, guru mereka yang sangat sayang pada mereka ini, mempunyai harapan yang terbaik untuk mereka, dan semoga mereka bisa menjadi orang yang demikian.

Ketulusan Nenek Aji

 

nenek yang selalu ikhlas untuk berbagi

nenek yang selalu ikhlas untuk berbagi

Taqabbalallaahu minna wa minkum taqabbal yaa kariim” “

“Insya Allah artinya : Semoga Allah menerima (ibadah) kami dan (ibadah) kalian.” Kalimat yang biasanya dilafalkan sebelum mulai mengaji.

            Sosok yang paling kukagumi di desa Moilong adalah seorang nenek yang usianya lebih dari 80 tahun. Nenek Sairah nama asli beliau, anak-anak biasanya memanggil dengan nenek Polu, sedangkan orang dewasa menyebut beliau dengan nama nenek Aji (artinya nenek yang sudah pergi ke tanah suci). Aku berkenalan dengan nenek pertama kali dari anak-anak. Dengan semangat mereka bercerita bahwa sepulang sekolah mereka akan pergi ke rumah nenek Aji untuk belajar mengaji. “ Mengaji ba eja Enci, kalau so bisa Qur’an kecil, pindah mi ke Qur’an besar”. Ucap Yoga ketika itu padaku. Akupun memberanikan diri untuk mendatangi beliau kemudian, dan nenek Aji menyambutku dengan terharu hingga menitikan air mata. “ kasian kamu nak, ke sini jauh-jauh ba ajar anak-anak”. Nenek ini sangat penyayang, itulah asumsi awalku, aku tidak pernah menyangka ada orang yang menangis dipertemuan pertamanya denganku. Namun seolah mengenal lama, aku kemudian begitu jatuh cinta dengan kata dan perilaku nenek Aji.

Nenek Aji menginjakan kaki di Kampung Moilong lebih dari 60 tahun yang lalu, semenjak itu nenek selalu meluangkan waktunya untuk mengajar mengaji untuk anak-anak. Nenek Aji muda, sering pergi ke pulau seberang desa Moilong untuk bekerja, dan uangnya pelan-pelan beliau tabung untuk pergi naik haji bersama sang suami. Tujuan hidup nenek dari dulu hingga sekarang begitu sederhana yaitu beribadah kepada Allah. Islam dan ajarannya adalah kesatuan yang tak terpisahkan dari beliau.

Belasan anak biasanya diajar nenek setiap harinya

Belasan anak biasanya diajar nenek setiap harinya

Belajar semangat itulah nenek Aji, fisiknya yang renta tidak menghalangi keinginan beliau untuk selalu mengajar kepada anak-anak. Aku membayangkan berapa lintas generasi pembaca Al-Qur’an hasil didikan nenek Aji dengan cengkok Bugis dan suara yang amat merdu. Nenek sering berujar nasihat yang kudefinisikan sebagai ketulusan “ ba ajar mangaji itu janan dibayar nak, jangan dibayar, kasian…tidak ada uangnya orang, karena Allah Ta’ala”. Nasehat nenek mengingatkanku bahwa apa yang kulakukan di desa Moilong tidaklah ada artinya. Nenek sering menamparku dengan kalimat sederhananya “Banyak orang pintar nak, tapi tidak mau ba ajar, saya tidak mau…saya mau ma ajar mereka.Yang penting dia mau diajar nak, biar bodoh-bodo yang penting belajar pasti bisa”.

Nenek Aji sang penyemangatku

Nenek Aji sang penyemangatku

Nenek Aji adalah penguatku, jika semangatku mulai meredup dan aku merasa lelah untuk bergerak, aku akan datang ke beliau. Melihat dan mendapatkan pelukan dari nenek Aji menjadi semacam energi kembali untukku. Kami memilih jalan untuk sama-sama berbagi. Nenek dengan lantunan ayat sucinya, dan aku dengan peranku sebagai seorang guru di sekolah.

Nenekku sayang, terimakasih untuk selalu menjadi pengingatku. Pengingat untuk selalu tulus, pengingat untuk selalu beribadah kepadaNya. Semoga nenek terus sehat 🙂

Tabungan Anak Moilong

Buku Tabungan Siswa

Buku tabungan siswa SD Inpres Moilong

“Kalian ingin membeli alat lukis ini, berarti kalian harus menabung sendiri”, pancingku kepada anak-anak di kelas siang hari itu. Aku sengaja membeli cat air dan kuas yang kami pergunakan untuk pelajaran kesenian. Aku membagi mereka menjadi tiga kelompok, dan cat air yang digunakan terbatas. Anak-anak tampak tak puas karena ingin menggambar sepuasnya.

Itulah awal ide menabung kelas kami, dengan tujuan sederhana membeli cat air yang diidam-idamkan mereka. Dengan semangat 45 akupun membuatkan mereka tabungan dan menyelipkan kata “rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya”. Keesokan harinya, mulailah anak-anak menabungkan uangnya padaku.

“Enci, kitorang juga mau menabung” kata Hasni dan Icha di kelas enam selang beberapa hari kelas empat memulai tabungan perdana mereka. Budaya menabung kemudian mulai menyebar ke kelas enam. Awal-awal aku cukup kaget dengan jumlah uang yang ditabungkan oleh kelas enam. Beberapa anak bisa menabung lebih dari sepuluh ribu. Aku khawatir mereka minta dengan orang tua, sehingga esensi menyisihkan uang jajan untuk menabung jadi berkurang. Kemudian keluarlah aturan, sehari hanya boleh menabung 5 ribu saja.

” Enci…, aku mau menabung 30 ribu enci..”, kata Iwan mendatangi kelas ku.

“Dari mana kamu mendapatkan uang sebanyak itu Iwan?” tanyaku padanya.

” Ini hasil kerjaku enci, kerja babantu di kebun sawit, dikasih mi aku uang”. Ucap Iwan polos

Rupa yang sama juga oleh Mansya, ia ingin menabung lebib dari lima ribu karena habis menjemur coklat dan mendapatkan upah dari penjualannya. ” Berapa satu Kilonya coklat kering Mansya”, tanyaku kepada Mansya, “18.000 enci, aku dapat tiga kg”. Ya, begitulah, sebagian anak-anakku terbiasa bekerja dan aku senang mereka menyisihkannya untuk ditabung.

Dari kelas empat dan kelas enam, tabungan kemudian mulai berkembang. Kelas lima kemudian mulai iri dengan tabungan kelas lainnya. Merekapun merengek minta kepadaku. Beberapa anak kelaa bawah sering masuk ke kelas dan tiba-tiba menyerahkan uang kepadaku. Siklus yang kemudian terus berulang, hingga kurang dua bulan semua anak di SD Moilong mempunyai tabungan mereka.

Tinggallah aku yang sangat kewalahan. Kepala sekolah sering mendatangi kelasku dan menyuruh istriahat di kantor, dan aku mulai kehabisan waktu untuk bercengkrama dengan guru-guru karena harus menuliskan tabungan di buku mereka di sela mengajar.

” Enci Dahlia, mau memegang tabungan anak-anak kelas dua” yang ternyata disambut baik oleh beliau. Lalu di lanjut oleg Enci Ida, Pak Lis, dan Enci Muawiyah. Aku lega pada akhirnya hanya memegang tabungan kelas empat dan kelas enam. Kelas lain dikelola oleh wali kelas masing-masing.

“Yanti…saya so bilang di kelas satu, disisihkan uang belanja, jangan,bahutang-hutang di warung lagi, anak-anak suka kalau buku tabungannya penuh”.Aku terharu dengar ucapan Enci Muawiyah yang juga begitu semangat dengan tabungan. Diawal-awal keberadaanku di Moilong, aku agak frustasi dengan beberapa anak yang suka hutang di warung dekat sekolah. Akupun kesulitan untuk menyakinkan ibu warung untuk tidak melakukan itu kepada anak-anak dan aku belum tau cara menyelesaikannya. Well, Tuhan memang baik, mungkin tabungan tidak menyelesaikan perilaku berhutang beberapa anak ini, tetapi paling tidak memberikan alternatif pilihan ketika mereka tau teman-teman mereka menabung (he…edisi memancing sifat konpetitif anak), dan benar saja, Yani bilang kepadaku “Aku mau menabung enci”, sambil menyerahkan uang kepadaku malu-malu dan pergi berlalu.

“Terimakasih Enci, soalnya ba ajar anak saya menabung, kata anak saya, Mama! duit bajual kuenya saya mau tabung di sekolah”. Jujur ekpektasi terhadap tabungan begitu sederhana, untuk membeli cat air untuk melukis. Aku tidak menyangka bonusnya adalah anak-anak SD Moilong kini memilki tabungan sendiri.

Rajin menabung ya Nak😃

Aku dan Liputan

WP_20131025_004[1]

Finaly, selesai sudah acara pendokumentasian kegiatan anak-anak dan desa, begitulah aku terus membahasakannya kepada beberapa orang di sekolah ataupun tokoh  masyarakat yang kuberitahu. “ jika nanti dalam pendokumentasiannya dianggap memberikan banyak manfaat untuk orang lain, dirasa memberikan inspirasi dan orang lain bisa belajar, maka kemungkinan akan di tanyangkan di televisi”.  Aku tidak ingin ada ekpektasi yang berlebih dari warga terhadapku ataupun orang-orang dari Jakarta yang ceritanya datang ke desa kami.

Beberapa minggu sebelumnya, trusteeku Mas Dimas bilang kalau akan ada peliputan di Banggai. Aku masih berfikiran bahwa kami sekelompok akan mendiskusikannya.  Aku masih berkeyakinan pasti bukan tempatku. Ketika kemudian Mas Maman (Exs PM yang bekerja di stasiun ini)  mengabarkan lebih jelas tentang kepastian tempat mana yang akan diliput.. Rasanya aku hampir frustasi mendengarnya. Media dan caranya memberitakan sesuatu kadang-kadang adalah hal yang sering kucaci maki sendiri saat membaca dan menontonnya. Sekarang aku akan berurusan dengan mereka, aku membayangkan “ seberapa banyak belanja sosial yang harus kulakukan?” . Ditambah dengan energi yang kukeluarkan, fikiran meracauku mulai menghantui. Apalagi dengan becandaan teman penempatanku yang tidak membuat perasaan tentang media ini menjadi lebih baik.

Sahabatku kemudian berkata “ kenapa kamu harus menolaknya?”, Ucapan sahabatku ini kemudian mengajakku berfikir, “bisa jadi ini adalah kesempatan untuk anak-anakku belajar banyak, dan ini adalah kenang-kenangan untuk kalian”.  Begitulah mungkin Deen berkata kepadaku. “ apa yang kamu takutkan?”, “ soal riya atau diketahui orang?”,  Aku kemudian berfikir, mungkin aku hanya butuh dukungan dan keyakinan, apakah demikian?, “ jika memang itu yang kamu takutkan, berdoa sama Allah untuk dijagakan hatinya?”.Aku tidak bisa membayangkan kalau tiba-tiba ada kamera yang harus mengikuti aktivitasku sis”,  mungkin itu adalah sisi ngeyelku waktu itu kepada sahabatku. Tetapi yang aku suka dari penegasan Deen adalah “ aku tidak terlalu peduli dengan ketidaknyamananmu..tapi jika anak-anak dan orang desa bisa mendapatkan kesempatan atas sesuatu itu…”,  yah…itulah saatnya aku mungkin harus lebih belajar.. Belajar untuk memberikan kesempatan kepada anak-anakku.

Aku hanya berhasil menghubungi Deen malam itu, tetapi pembicaraan singkat denganya membuatku jauh sangat lebih baik. “ Aku hanya harus mencari alasan untuk ikhlas dan dengan senang melakukannya”, itulah fikirku….

Dan aku melakukannya….

Aku melakukannya karena anak-anakku, karena aku ingin mereka terus belajar dan mengenal banyak orang luar yang mungkin bisa menginspirasi mereka. Memberikan cerita di hidup mereka kelak bahwa dari kecil mendapatkan kesempatan untuk belajar dan akan sia-sia jika mereka tidak memanfaatkanya dengan baik. Aku melakukannya untuk sekolahku, untuk memberikan apresiasi atas perubahan-perubahan kecil yang telah kami lakukan bersama. Atas semangat guru-guru yang menata kursi dan meja siswa dengan beragam model, atas dukungan pengembangan ekskul di sekolah, atas usaha yang dilakukan untuk terus bisa masuk ke sekolah, atas kebersamaan yang sekarang mulai hangat di sekolah, atas usaha-usaha yang semoga terus bisa dilakukan di masa yang akan datang. Aku melakukannya untuk desaku…Desa indah yang memberikan banyak pelajaran hidup hampir setahun ini atas pelajaran  tentang ketulusan dan salig membantu, atas cara mereka yang membuat perubahan paradigma di logikaku untuk memahami sesuatu, atas harapan desa ini terus lebih baik dan maju. Dan aku melakukan ini untuk diriku sendiri, untuk mentransfer nilai-nilai yang ingin kutularkan, sebagai bagian cerita dalam jejak langkah hidupku. Bahwa aku telah menunaikan janji untuk mendidik anak-anak ini, pengingat bahwa aku tidak pernah menyerah dengan mereka, pemberi makna bahwa aku amat sangat belajar sehingga di kehidupanku setelah ini aku menjadi pribadi yang terus bisa bersykur, sabar, ikhlas dan melakukan yang terbaik di setiap kesempatan.

Tidak seburuk yang kubayangkan

Aku kemudian mengevaluasi apa saja yang sudah terjadi lima hari ini, apa saja yang telah kupelajari, apakah aku bisa mengusung nilai-nilai yang ingin kusampaikan di liputan, adakah orang-orang yang mungkin akan di kecewakan, atau apakah prasangkaku soal media selama ini terbukti benar.

Aku kemudian belajar menjadi lebih asertif, menyuarakan yang seharusnya, mengkomunikasikan yang menurutku tidak sesuai, atau mengambil jalan tengah untuk kepentingan bersama. “ ingat yanti…. ini untuk anak-anakku”,  pikiran yang kemudian membuatku selalu bersemangat ketika aku benar-benar capek. Tidak seburuk yang kubayangkan menurutku, karena anak-anak tampak sangat senang dengan kehadiran orang baru, tokoh yang diliput menyambut dengan baik, dan harapan kecil anak-anakku untuk bisa berwisata bisa terwujud. “Sudahlah dengan ketidaknyamaman”  yang penting mereka bisa mendapatkan pengalaman berharga pikirku.

Aku tidak tahu apakah aku sudah melakukan yang terbaik, aku hanya mengusahakannya.. Mengusakahan anak-anakku nyaman di depan kamera, berbicara kepada Alia dan Putra secara dewasa mengapa mereka yang dipilih sebagai tokoh anak, mengkomunikasikan dengan tokoh masyarakat, dan berusaha mengantisipasi kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi.

Memang cukup melelahkan…tetapi jika dalam proses lelah kita bisa belajar banyak dan menikmati…. terbayar sudah.

Jadi yan….Mari terus menikmati setiap detik yang terus berlalu ya… J

Previous Older Entries