Ngocehan Pantai

WP_20131013_003[1]

Sekarang aku lagi berjemur di tepi pantai…ciah…gaya ya yan..udah tau kulit hitam pakai acara berjemur. Mengeringkan baju paska bercebur bersama anak-anak, ayooooo enci, mandi laut…ayo enci…rengekan seperti ini bikin tidak kuasa untuk menolak. Kita mandi lautnya sambil bacarita kata Salma…tentu saja tidak mungkin mandi laut sambil mendongeng….akhirnya terceburlah aku dengan rok yang tidak layak untuk berenang.

Enci macam anak e….lucu, mana lempar itu benen kataku…ha…dan mereka mendramatisir dengan ejekan, enci so besar tidak bisa berenang.

Sekarang aku mengeringkan pakaian dengam berjemur dan duduk di kapal nelayan… Sambil memandangi keceriaan anak-anakku…yang terus memanggil, enci…enci….enci…… Foto kitorang.

Ah, mari kita menikmati setiap detik yang sangat berarti yanti…beberapa bulan lagi, aku tidak bisa menikmati keceriaan ini bersama mereka..Anak pantai, yang walaupun standar kompetensi versi orang kota tidak selevel, tetapi kutegaskan, mereka jauh memiliki ketetampilan hidup dibanding anak-anak kota yang katanya serba ada…

Kesempatan… Anak-anakku hanya butuh itu

Bakiriang, Maleo, dan Anak-Anakku


tulisan maleo

Apa itu Bakiriang dan Burung Maleo?

            Bakiriang adalah sebuah kawasan Margasatwa yang luas tanahnya sekitar 3.500 hektar  dan terletak di komplek hutan Pengunungan Batui,  memanjang ke selatan sampai ke pantai. Komplek hutan ini diapit oleh dua kampung besar yaitu Moilong  dan Sinorang. Suaka margasatwa Bakiriang  adalah habitat satwa endemik Sulawesi yaitu burung Maleo. Burung Maleo sepintas mirip dengan ayam jago, tetapi ia mampu terbang dan hinggap di batang-batang pohon. Maleo kemudian ditetapkan oleh pemerintah daerah sebagai satwa maskot Sulawesi Tengah.

            Sebagai tempat perlindungan satwa, Bakiriang memiliki hubugan yang sangat erat dengan adat istiadat yang dilakuan masyarakat Banggai, khususnya masyarakat Batui yaitu penyelenggaraan upacara adat “tumpee”  (telur pertama) yang diadakan setiap tahunnya. Upacara adat ini bertujuan untuk memberi upeti kepada leluhur dengan persembahan telur Maleo. Kabarya burung Maleo terancam berada dalam kepunahan, oleh karena itulah Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Sulawesi Tengah bekerja sama dengan beberapa perusahaan Migas melakukan penangkaran Maleo, dan penanaman kembali pohon-pohon yang banyak di tebang di kawasan lindung.  Amat pentingnya isu ini, hingga akhirnya pejabat dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, hinggal level kecamatan dan desa serta petinggi perusahaan migas kemudian ikut serta dalam pelepasan Maleo dan penanaman pohon kembali.

            Warga desaku tentu tidak kalah heboh, balai desa kami mendadak penuh karena ada penyuluhan tentang burung Maleo, KSDA membagikan kaos juga makalah untuk dibawa pulang dan dibaca masyarakat. Kaos ini rencananya dipakai untuk acara penyambutan para tamu. Pameranpun diadakan di dekat tugu mesjid.  Spanduk, umbul-umbul, dan bahelo besar bertuliskan  “Selamatkan kami, atau kami akan punah” dibentangkan di sepanjang jalan desa menuju pantai, juga tidak tangung-tanggung, malam harinya, warga desa disuguhi film dengan layar tancep yang ditonton bersama-sama. Anak-anak sekolahkupun diminta untuk berpakaian rapi, berbabis di jalan untuk penyambutan, ceritanya mereka akan melambaikan tangan kepada para pejabat sebagai tanda selamat datang. “ beeehhh….ini gubernur mau datang…kitorang belum pernah dikunjungi gubernur”,  kata salah satu warga desa. Kapal dan logistik perut juga sudah disiapkan untuk melengkapi hebohnya acara ini. Begitulah masyarakat, para petinggi negeri ini harusnya tahu, bagaimana antusias rakyatnya ketik pemimpin mereka akan berkunjung.

Soal anak-anakku….

            Sudah lama anak-anak memaksaku untuk pergi ke Bakiriang, jika menyisiri pantai desa, jaraknya mungkin sekitar tiga kilo meter.  Berjalan kaki,  butuh sekitar 1 jam, naik kapal nelayan hanya butuh 15 menit.  Aku belum berani menemani anak-anak bermain ke sana, karena untuk sampai Bakiriang, kami  harus menyebrangi kuala (sungai) Moilong yang kabarnya di sana ada banyak buaya. Gak  lucukan, kalau tiba-tiba ada buaya yang mangap di depan kami!!!.  Ternyata, setelah mengkonfirmasi dengan penjaga Bakiriangnya, buayanya ada di sisi hutan yang berbeda.

            Ada hikmahnya untuk anak-anakku ketika isu penyelamatan satwa yang dilindungi sampai juga pada desa kami. Harapan banyak anakku akhirnya kesampaian untuk menginjakan kaki di Bakiriang dan melihat burung yang selama ini hanya menjadi cerita di telinga mereka, tentang burung Maleo. Intruksi untuk anak-anakku adalah berkumpul di dekat mesjid dan menunggu para pejabat ini datang, tetapi entah bagaimana  sebagian anak-anakku kemudian pergi ke pantai, ikut naik kapal nelayan, dan diantar ke Bakiriang.  Tentu saja ini adalah anugrah buat mereka, walaupun kemudian beberapa guruku cukup dipusingkan oleh keberadaan anak-anak ini dan segera memikirkan cara bagaimana mengangkut mereka segera ke desa.  Menurutku ini adalah rencana Tuhan yang Indah. Bocah-bocahku ini tidak terlalu peduli dengan siapa pejabat yang datang….yang mereka nikmati, adalah bisa naik kapal bersama, menginjak Bakiriang, dan melihat Maleo.

            Anak-anakku tidak dipusingkan oleh  panitia yang mondar mandir mengangkut makanan, mempersiapkan sound system, atau kapal yang harus bolak balik untuk mengangkut warga untuk sampai tempat acara (maklum, acara ini dilakukan di hutan). Anak-anakku hanya berlarian kesana kemari, melihat banyak burung Maleo yang ada di Kandang, pergi ke kuala mencari buaya, kegirangan melihat anjing hutan, atau heboh melihat puluhan polyback yang ditanami oleh tumbuhan yang akan dikembangkan di Bakiriang. Beberapa anak terus menarikku dan menunjukan apa yang mereka temukan. “ini burung Maleo kecil enci…. yang disana ibunya”, “ enci…kemari, ada anjing disana…”, “ enci…mari kita bafoto”, “ enci, kita orang senang ada disini”.  Kenapa kalian bisa ada di sini tanyaku kepada mereka, ada anakku kemudian menjawab “ tidak tau enci…orang-orang naik, kitorang ikut mi…”.

            Dengan gembira, aku kemudian berputar mengelilingi beberapa kawasan suaka bersama anak-anak. Sampai akhirnya salah satu guru di sekolahku menemukan kapal untuk membawa mereka kembali ke desa sebelum rombongan tamu datang. Apakah mereka menggerutu tidak bertemu para pejabat?,  tentu saja tidak, anak-anakku dengan senang hati dan tersenyum riang naik kapal dan kembali ke desa. Meninggalkan orang dewasa yang harus mengikuti acara pelepasan. Bagi mereka, bisa ke Bakiriang dan melihat langsung burung Maleo itu sudah cukup.

“ enci, nanti kitorang piknik ke Bakariang lagi e…” Teriak rahmad di atas kapal.

Bocah-bocah!!!! Terimakasih Tuhan

Ekskul Sepak Bola Kami

WP_20131018_015[1]Hari ini adalah kali pertama anak-anak mempunyai ekskul baru, yaitu sepak bola. Ekskul yang tidak mungkin bisa kujalankan karena aku tidak bisa bermain bola. Sebenarnya sudah lama aku melihat bakat olah raga anak-anakku. Mungkin jika matematika atau logika, anak-anakku membutuhkan waktu untuk memahami, tetapi untuk urusan olah raga, jangan di tanya. Mereka adalah pelari yang handal, perenang dan penyelam yang baik, dan anak-anakku banyak sekali mempunyai permainan yang mengandalkan kekuatan fisik yang lumayan. Kasti, sepak bola,  Kalario, ataupun beberapa permainan tradisional lainnya.

Beberapa minggu yang lalu, aku dan pak Lis guru olah raga sekolah kami pergi ke Bintek Kurikulum 2013, disana kami mendapatkan pencerahan tentang kurikulum baru yang serba heboh ini. Salah satunya adalah tentang pengembangan ekskul. Prinsipnya adalah pengembangan karakter bisa di mana saja termasuk kegiatan di luar intra sekolah. Kami kemudian oleh pemateri disuruh merancang kegiatan ekskul baru untuk dilaksankan di sekolah. Tentang karakter yang disasar, peralatan yang dibutuhkan, dan bagaimana tekniks pelaksanaaan. Segeralah kami merancang. “ Mari kita wujudkan pak”  ucapku kepada beliau. Pak Lis yang ajar, saya yang kasih kumpul anak-anak.

Dan terjadilah kemudian, saya mendata siapa saja anak-anak laki-laki yang ingin ikut sepak bola, dan menentukan jadwal dengan mereka. Jadwal kami adalah hari jum’at sore setelah asar. Kejutan untuk saya, sekitar jam dua siang anak-anak  sudah banyak yang datang. Enci kapan kitorang latihan bola… tanya beberapa anak secara bergantian kepadaku. Ini jam berapa?, habis asar baru latihan…. aku menjawab celotehan mereka sambil lalu.

Aku adalah pengamat, itulah yang terjadi… memandangi anak-anak pemanasan, diajari beberapa teknik kemudian tanding antar tim. Aku senang hari ini bisa terjadi, saat guru di sekolahku kemudian menginisiasi ekskul untuk anak-anak. Aku percaya bahwa jauh dari kata “sorotan” banyak sekali orang-orang yang rela dan berdedikasi untuk melatih dan mendidik anak-anak meskipun tidak dibayar. Seperti yang dilakukan pak Lis. Pak lis guru olah raga kami, yang membuat sekolah lebih ramai sejak beliau diterima sebagai guru honor beberapa bulan lalu. Ya…guru honor dengan gaji tak seberapa dan dibayar setiap tiga bulan.  Lulusan SMA yang ingin terus belajar, dan mengerti banyak tentang olah raga. Yang kadang melatih senam di sore hari, bertanggung jawab melatih upacara sebelum hari senin, atau menjadi tokoh dibalik suksesnya pertandingan antar kelas semester lalu

Celoteh Kurikulum, Guru dan Opini Pribadi

Celoteh Kurikulum, Guru dan Opini Pribadi.

            Hari ini saya sosialisasi kurikulum 2013, dan mendengarkan banyak petuah tentang “karakter”, sampai pak pemateri bilang, kita akan mandi karakter…karena yang disampaikan dari pagi hingga sore adalah  serba ini kata. Secara keseluruhan pemateri di kecamatan saya cukup ok, mengingat cerita teman penempatan saya di Bintek mereka, saya rasa kekonyolan itu tidak terjadi di pemateri yang saya ikuti. Kata habituasi berasal dari kata habitat, dan contoh pekerjaan entrepreneur semacam MC untuk acara tidak muncul. Pun soal memilih anak mana yang orang tuanya bisa dipukul atau tidak, atau contoh merokok sebagai topik lain dari karakter. Pemateri di Kecamatan saya rupanya cukup menghayati pelatihan yang mereka peroleh di Kabupaten, saya merasakan semangat dan pandangan baru dari pemateri yang cukup tertular ke guru-guru.

            Bicara soal kurikulum 2013, secara esensi cukup bagus, walaupun sebenarnya tanpa ganti kurikulumpun pendidikan karakter sudah ada dan diterapkan oleh guru-guru sebagai hidden curriculum, walaupun tidak semua guru merepakan itu, dan semua sekolah sadar pentingnya karakter. Eh, Btw, Pak Mentri harusnya sadar dong, sebenarnya hampir sepuluh tahun ini, ada hal esensi yang merusak karakter bangsa kita, yaitu soal Ujian Nasional. Dari pelaku ujian nasional yang merasa terzolimi waktu itu, hingga saya menjadi guru dan menyaksikan sendiri bagaimana kepolosan anak-anak ternodai atas nama nilai dan kelulusan. Kembali ke kurikulum 2013, mungkin Pak Mentri maunya perubahan karakter menjadi tersistem dan tidak hanya menjadi wacana pada kalangan  tertentu. Fine, saya pikir-pikir, melihat pengalaman saya mengajar hampir satu tahun ini, si hidden curriculumnya  tentang karakter memang tidak sampai. Why, karena guru-guru sudah cukup sibuk dengan anak bodoh dan pintar yang ukurannya dari mana?. Untuk guru kampung macam saya ini, dari mana lagi kalau bukan evaluasi kognitif.

            Dulu ketika saya lagi gandrungnya berkunjung ke sekolah dengan kurikulum berbeda,  saya sungguh terpesona dengan penerapan karakter yang mereka bangun. Sekolah Alam di Yogya dengan kotak utama adalah cinta lingkungan, anak-anak SD Tumbuh yang menghargai keberagaman, atau sekolah Al-Azhar yang menerapkan Paikem. Saya paham satu hal, sekolah gemilang seperti ini, tidak berlaku untuk anak-anak di desa saya, yang mengeja saja masih susah, nemambah mengurang menjadi PR, atau bercerita cita-cita adalah hal istemewa.  Anak-anak saya ini sebenarnya butuh guru-guru yang juga harusnya sama berkualitasnya dengan anak-anak di kota dan sekolah mahal sana. Eh, bukan saya mengatakan guru-guru saya tidak berkualitas ya….Guru-guru di sekolah saya ini sudah melakukan hal yang maksimal, hanya saja frame dan pendekatannya yang berbeda. Bukan mereka tidak mau belajar, tetapi mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan diri menjadi lebih baik sehingga tambah berbuka wawasannya. Menjadi guru di desa, kemudian menambahkan list pemahaman baru untuk saya…bahwa guru-guru inipun harus mendapatkan kesempatan untuk terus belajar, dan ini pada akhirnya menjadi urusan kita bersama.

            Cerita saya tambah melebar, sebelum menyambung tentang kurikulum tadi. Masih soal guru. Kenapa saya bisa beragumen seperti di atas karena saya menemukan banyak orang yang sebenarnya berdedikasi dengan caranya. Ada seorang guru yang memukul, bukan karena dendam atau marah semata, tetapi dalam kaca mata  mereka, cara yang harus dilakukan biar anak pintar adalah dengan membuat mereka patut. Patut sama dengan anak tidak ribut dan keluar kelas, How…. salah satunya dengan pukulan.  Jika kita melihat esensi maksud, sebenarnya ini tidak salah, yang kurang tepat mungkin adalah cara. Saya membayangkan diri saya, ketika saya tidak sekolah di Psikologi bertahun-tahun, lalu dibekali pelatihan intensif di Indonesia Mengajar, kemudian moro-moro yang didaulat menjadi guru dengan anak-anak spesial seperti penempatan saya…Cara apa yang saya gunakan? Mungkin begitulah kira-kira gambaran guru di daerah, kesempatan untuk belajar untuk meningkatkan kemampuan mereka hampir tidak pernah ada.

            Otak saya kemudian berusaha mengali, berapakah pelatihan yang pernah saya ikuti sebagai bagian dari guru desa selama saya di pemerintahan. Otak saya hanya terkait dengan urusan KKG pembuatan soal, perumusan prosem yang berujung pada pembagian sekolah mana yang mengerjakan sisanya bayar dan copy paste, atau mengisi masalah teknik bagaimana RPP yang baik dan penilaia kinerja. Ini masih agak mendingan dibandingkan kecamatan teman saya yang selama ini hampir tidak pernah ada KKG bermutu. Saya kemudian menjadi berfikir lagi…. bagaimana mungkin anak-anak di desa ini mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar maksimal sementara guru-gurunya saja tidak mendapatkan kesempatan yang maksimal.

            Entah kenapa saya menjadi teringat kata-kata yang amat sering dikuandangkan oleh orang-orang Indonesia Mengajar, “ berhenti mengutuk kegelapan dan nyalakan lilin”, saya di sisa penugasan saya menjadi benar-benar tersadar, seharusnya kehadiran Pengajar muda di Banggai adalah sebagai jalan untuk memberikan kesempatan untuk guru-guru ini meningkatkan kompetensinya sebagai seorang guru, entah bagaimana caranya. Saya kemudian sedikit mengutuki diri saya sendiri…. Yang seharusnya bisa lebih membagi waktu untuk bisa berbagi lebih banyak terhadap guru-guru, walaupun hanya di lingkup sekolah saya. Pada akhirnya ini akan juga berdampak kepada anak-anak saya.

            Saya mencoba memahami kemudian satu persatu personal guru-guru saya. Pandangan saya beberapa bulan ini cukup banyak perubahan dari awal saya menginjakan kaki di desa. Idialisme saya yang melangit kemudian mulai membumi dengan kenyataan, tetapi bukan pasrah kepada keadaan. Ini hanya melahirkan pemahaman baru yang mungkin versinya IM adalah  grassroot. Di sisa waktu saya, terhadap guru-guru ini, saya tidak tahu seberapa banyak bisa berbuat. Tetapi saya harus menghargai kemajuan-kemajuan kecil yang kami buat bersama. Kami yang saling mempengaruhi, saling mengajarkan dengan tidak saling menggurui. Mereka melihat perpektif yang berbeda dari saya, dan saya mendapatkan pemahaman yang lebih utuh dari bagaimana kondisi pendidikan sebenarnya. Pada akhirnya benar, pendidikan itu bukan urusan saya semata sebagai seorang guru, tetapi urusan kita bersama secara sinergis.

            Ha, semacam saya sudah melantur terlalu banyak. Kembali ke kurikulum 2013,  saya kagum melihat beberapa respon dari guru di pelatihan tentang karakter. Semacam guru-guru ini merindukan karakter anak yang dalam gambaran utupis seperti yang disampaikan sang pemateri. “Dulu kitorang itu tidak ada yang berani sama guru-guru, sekarang murid itu macam teman memperlakukan guru”. Papar pemateri. Ini mungkin ada benarnya, tetapi sesungguhnya esensi perubahan perilaku adalah multi faktor dan tidak hanya sebab musabab kurikulum bukan.  Kalau difikir-fikir, selama ini memang pembelajaran lebih berpusat kepada kognitif semata, kecuali sekolah-sekolah dengan binggkai tersendiri, dengan catatan itu tidak banyak dan kadang mahal. Tetapi kebanyakannya memang berorentasi seperti itu. Oleh karena itulah, saya cukup menghargai usaha jajaran kementrian pendidikan, terlepas apapun motif terselubungnya untuk membuat karakter menjadi tersistem dan nilai-nilanya bisa meresap hingga garda paling depan yaitu para guru. Semoga saja, cita-cita luhurnya tercapai….

Ngelanturnya sebenarnya masih banyak si… dan aslinya bisa semakin ngawur, tapi wes ngantuk.

Jadi yan…. belajarlah yang baik ya…

Tentang Bersama

Tentang Bersama

Ini adalah salah satu ulang tahun saya yang spesial. Setiap tahun rasaya berbeda, di penempatan di Banggai bersama teman sepenempatan yang akhirnya menjadi layaknya seperti keluarga. Dengan warna dan keunikan yang berbeda-beda. Mendapat kejutan ala worldclass dan menikmati kebersamaan diantara list pekerjaan.

Detik itu aku kemudian berkata…. berbahagialah Yanti…mari kita nikmati setiap detik yang sangat berarti. Semoga mereka juga demikian
Mengenal mereka, adalah sebuah pembelajaran bagiku, untuk itu aku berterimakasih kepadaMu ya Rahman…

Gambar