” Akan selalu ada orang-orang yang tulus untuk berjuang…Aku percaya itu…”
Catatan 10 September 2013
Malam ini Imam mesjid yang akrab kupanggil tetek (kakek) menyapaku…sudah lama rasanya tidak ngobrol bersama tetek. Terakhir aku bicara banyak adalah saat kemah pramuka di bulan juni lalu, saat aku menerima kabar kalau tetek sedang di rawat di rumah sakit. Bergegas kala itu aku langsung ke puskesmas dan melihat bagaimana keadaan beliau. Tetek terlihat capek sekali, tubuhnya terlalu tua untuk bekerja berat, apalagi dengan tanggung jawab tambahan sebagai Imam Masjid dusun kami.
“Enci kemana saja, so lama tidak kelihatan di mesjid”
“ saya pulang kampung tek, baru dua minggu lalu balik, tapi belum ke mesjid karena bolak-balik Luwuk terus”. Aku melihat tetek tampak tidak sehat, tetapi wajahnya selalu teduh dan menyenangkan.
“ enci, jaga anak-anak mangaji ya, anak-anak senang sebenarnya mengaji, tapi tidak ada yang jaga”
“ tidak adakah tek, remaja mesjid yang bisa menjaga bisa menjaga mereka mengaji, siapa tau saya sering ke Luwuk, dan saya juga tidak selamanya disini.. apalagi kalau tetek yang bajaga terus nanti pasti capek”
“ itulah nci, susah agak susah mengarap remaja mesjidnya disini, saya berharapnya dorang-dorang itu memang, tapi mau bagaimana lagi…. saya mau berhenti jadi imam nci, bingung juga saya siapa yang ganti..”
Aku melihat kebingungan di cerita tetek kepadaku.
“ apakah tidak ada yang tetek sarankan untuk menjadi imam”. Aku kemudian menyebutkan beberapa nama tokoh masyarakat yang biasanya mengisi acara keagaman.
“ tidak tahu enci, harusnya yang ilmunya pas itu dorang-dorang itu, tapi masyarakat di sini susah, mereka sering tidak mau, harusnya nanti dirapatkan habis sembahyang jum’at. Saya sudah dua tahun lebih jadi imam masjid…sudah tidak dimampu saya rasa…”
Perkara menjadi imam bagiku entah kenapa adalah urusan sederhana, asal ilmunya ada dan sanggung jadi Imam, pemuda yang baru beranjak dewasapun tidak masalah. Hanya saja urusan imam, bagi tetek dan masyarakat dusunku ternyata agak berbeda. Selain sebagai imam masjid, imam kampung sering di daulat pada acara-acara keagamaan, menjadi saksi pernikahan, atau bahkan yang menikahkan. Tokoh yang netral dan disepakati warga desa semacam syarat mutlak terpilihnya imam.
“ dulu saya sempat mau berhenti, sempat empat bulan lebih tidak ada imam enci….lalu yang dari Jakarta (orang desa yang sekarang sukses) memanggil saya, dan minta tolong di mesjid…”
Jujur aku sayang sekali dengan tetek, dan perkara imam masjid tentu sudah di luar kendaliku sebagai pengajar muda. Aku hanya berharap tetek sehat, dan tidak terlalu capek. Aku tau, menjadi imam masjid bagi tetek bukan cuman sekedar memimpin sholat berjamaah di setiap waktunya. Tetapi menjaganya agar tetap nyaman untuk semua warga menggunakannya. Sering aku melihat tetek menyapu masjid sendirian, menyalakan dan mematikan lampu, mengulung dan membuka sajadah di masjid, atau menjadi pemukul bedug tanda waktu sholat. Ketika mesjid belum selesai sepenuhnya di rehab, tetek menurutku adalah orang yang paling pusing dengan kondisi ini. Aku sendiri sampai frustasi dengan hujan yang deras, dan membasahi lantai dalam mesjid, karena aku tahu siapa yang nanti akan bekerja keras mengepelnya.
Perkenalan ku dengan tetek adalah hari kedua aku tiba di desa. Saat pertama kali aku menginjakan kaki di mesjid Nurul Iman Dusun Moilong. Tetek adalah tokoh masyarakat pertama yang aku kenal. Saat selepas magrib, aku mendekatinya yang sedang berkumpul dengan anak-anak dan mengajar mengaji. “ bolehkah saya ikut mengaji”, Ada ekspresi bingung dari tetek kala itu…mungkin dibenaknya sedang berkata “ siapa perempuan ini, wajah asing yang tiba-tiba ingin ikut mengaji”. Biasaya tetek memintaku mengaji dengan mikropon di mesjid, dan meminta anak-anak mendengarkanku, tetapi lama-lama aku sudah bisa menghindar dari permintaan ini, mengaji di mikropon dan di dengar satu dusun tentu adalah beban moral untukku. Ketika aku sedang menstruasi dan tidak hadir di mesjid, banyak orang akan bertanya mana enci?, agak susah untukku menjelaskan terutama kepada anak laki-laki kelas rendah tentang kondisi ini.
“Saya enci, biar satu anak saya ajar..biar satu huruf”, itu adalah ucapan tetek di awal-awal kebersamaan kami mendampingi anak-anak mengaji. Tetek kemudian menjadi orang penting untukku di desa ini karena aku merasa beliaulah orang desa pertama yang menerimaku dengan terbuka, dengan rentang usia yang begitu jauh dari ku-usia tetek sekarang 72 tahun, tetapi mempunyai keinginan yang sama untuk mendidik anak-anak. Jika tidak benar-benar sakit atau ada urusan amat penting, tetek tak pernah absen mendampingi anak-anak mengaji selepas magrib, dia dengan sabar membetulkan satu persatu bacaan anak-anak yang salah. Bulan-bulan terakhir ini, tetek sering sakit-sakitan sehingga urusan mengaji anak-anak kadang diserahkan kepadaku. Aku kadang sering risau sendiri, jika ada urusan ke kota atau kala aku sudah tidak di Moilong lagi, dan penerusku PM berikutnya tidak memiliki minat yang sama dengan urusan mengaji dan masjid.
Ayat demi ayat yang tetek ajarkan kepada anak adalah tanpa bayaran, biarlah Allah yang akan membalasnya. Tetap sehat ya tek….
Harusnya entah bagaimana caranya, para remaja masjid ini yang mendampingi anak-anak agar mereka tetap cinta masjid dan Al-Qur’an.
Catatan 14 September 2013
Beberapa hari sebelumnya, mas Hara seorang remaja Masjid yang dulu pernah membantu pesantren ramadan desa menyapaku selepas Isya. “ enci baajar mangaji tadi…, sendirian?”, Ku jawab dengan anggukan. Lalu mas Hara hanya geleng-geleng, tanpa ku mengerti maknanya.
Sore ini, saat anak-anak belajar di sekolah, mereka kemudian bercerita kepadaku…”enci…katanya mas Hara mau mengajar kita orang mengaji”. Aku sedikit terkejut dan senang mendengar berita ini, aku hanya berhadap semoga ini benar mengingat beberapa hari yang lalu aku sedang bingung dengan pengajar mengaji ini.
Ternyata berita ini benar, Mas Hara membawa Al-Qur’annya dan tidak pulang selepas Magrib. Aku kemudian bertanya kepadanya ingin mengajar kelas berapa kepadanya. “Yang SMP sama SMA sama saya saja Enci”. Formatsi mengaji malam ini kemudian berubah, biasanya anak-anak mengaji dengan mikropon satu persatu, malam ini anak-anak kemudian di bagi menjadi tiga, SMP dan SMA dengan Mas Hara, SD perempuan bersamaku, dan SD laki-laki kemudian tetek yang ajar karena sudah beliau lebih sehat.
Bagaimana perasaanku, rasanya senang dan sedikit lega lalu berharap semoga ada lagi remaja masjid yang bergabung untuk mengajar anak-anak ini mengaji. Formasi seperti ini lebih memudahkan mengontrol benar dan salah bacaan anak-anak dari pada formasi sebelumnya, apalagi dengan banyaknya anak-anak yang kadang-kadang ribut dan rebutan mikrpon. Innamaal usriyusra (sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan). Aku kemudian percaya bahwa akan selalu ada orang-orang tulus yang tergerak hatinya untuk membuat lingkungan sekitarnya lebih baik.