Jeda Sejenak

Well, sudah lama rasanya tidak menulis sembarang ngalir di blog, semenjak blog multiply saya tiba-tiba berubah menjadi situs komersial, kapan-kapan kalau saya jualan kue, buku, baju atau buka tempat cucian motor, nanti perlu di iklankan disana…sebagai penebus ratusan tulisan saya yang tiba-tiba raib dengan sempurna. Dimana saya sekarang, sekarang ada di mesjid Agung, memang Allah harus menakdirkan saya ke Luwuk minggu ini, padahal niatnya ingin bermain sepenuhnya dengan anak-anak saya yang luar biasa itu….

Hooo, rekor baru hari ini adalah saya mampu mengendarai Moilong-Luwuk dalam dua jam…. boleh dapat tepuk tangan kan ya…he, gak ngebut kok, cuman sekitaran delapan puluh aja…. sampai sini, saya menyadari kebegoan saya..ini hari minggu, dan banyak yang tutup…Yanti….!!!!!!!, kenapa saya tidak pergi besok saja setelah sekolah dan kembali subuh-subuh…Sudahlah, nasi sudah menjadi bubur…tapi ya, kenapa pepatah ni selalu dikaitkan sama nasi seseorang, emmm…misalkan kenapa tidak Mie ayam tinggal kuah, atau soto ayam kurang garam…Ya Ampun yanti…ya jelas aja gak nyambung!!!!!

Untunglah pagi ini saya bersenang-senang dengan anak-anak di Pantai…percayalah, ini salah satu piknik yang paling menyenangkan….“Enci, menyanyi terus, kita orang mendengarkan”,  percayakan suara saya bagus….ha, mungkin teman saya di Malang akan garuk-garuk sambil berkata ” apa….bagus dari mana”. Paling tidak saya mempunyai pendengar dan penggemar setia untuk menyanyi, yaitu murid-murid luar biasa saya yang super aktif menjelang hiperaktif….Hah…sambil mengambil nafas…..

Kenapa saya ke Luwuk, kalau nasehat teman saya dulu di Bandung si karena  ” birul walidain”, ini adalah salah satu nilai ibadah yang paling tinggi di mata Allah….Yang jelas, ini adalah untuk menyenangkan hati ibu saya.. Sisanya ya Rabb, terserah Engkau….

Ah, sudah lama aku tidak merayu Tuhanku dengan kata…sekali lagi…semenjak blog saya yang dulu hilang…. Pokoknya Rabbku, apapun….Alhamdulillah….

Ingin bercerita banyak, tapi saya masih harus menyelesaikan list saya di Luwuk, biar gak terbuang percuma….biar berdaya, dan lebih ikhlas akhirnya karena satu hari tidak mendapat pelukan hangat dari anak-anak kelas empat saya…..

Blog saya ini sepertinya harus ganti nama deh….kembali menjadi blog katarsis emosi….

Tentang Berangkat Haji di Desaku…

WP_20130912_002

Labaik, Allah humma labaik, labaik allahummna labaik…

Pa Asfi memimpin alunan lafat talbiyah untuk mengiringi jamaah haji turun dari pelataran mesjid dusun kami. Hatiku bergetar atas maknanya  “kusambut panggilanMu ya Allah…kusambut PanggilanMu”. Aku pun menjadi begitu rindu ingin melihat Ka’bah, kiblat umat muslim seluruh dunia dan tempat dimana banyak sejarah Islam bermula. Banyak warga desa ikut menangis melepas kepergian nenek Winda (muridku kelas empat). Nenek yang biasanya sholat di sampingku pada jamaah magrib dan isya, nenek yang biasa bertanya kepadaku “ kemana kamu nak…”  jika sudah lama tidak kelihatan di mesjid, dan terakhir nenek mengomeliku karena tidak datang ke acara haji beliau saat aku harus bertemu orang dinas ke kabupaten.

Sebelum mobil benar-benar berangkat, suara azan menyertai haru sebagai penutup pelepasan sederhana di dusun kami. Merinding rasanya, ketika melihat orang-orang desa menangis haru dan bahagia saat melepas kepergian keluarga mereka. Perjalanan haji, bukan hanya perjalanan jauh melintasi negara, tetapi adalah tertunaikannya rukun Islam ke lima sebagai pelengkap ke Islaman seseorang. Bagi kampungku yang hampir seratus persen muslim, mampu naik haji adalah hal yang sangat diharapkan. Bahkan ada cerita beberapa orang telah tertipu oleh iming-iming akan segera berangkat haji secepatnya.

Dua minggu ini, tema pesta di desaku dan sekitarnya adalah tentang pergi haji. Acara selamatan pergi haji sama spesialnya dengan pesta nikahan seseorang. Enci Siti Har, seorang guru di tempatku bahkan memotong seekor sapi dan mengundang lebih dari 500 dari beberapa dusun untuk datang di selamatan.  Satu malam sebelum pergi, Enci kemudian mengundang beberapa orang lagi untuk kegiatan pengajian yang di dalamnya ada bersanji dan mengaji. Bersanji adalah bagian dari adat bugis yang menurutku menarik. Biasanya selalu digunakan dalam acara-acara selamatan, seperti Mapacing  (acara untuk pernikahan), potong rambut, ataupun lahiran. Isinya adalah pujian-pujian kepada Allah dan rasulnya. Biasanya ada satu orang (umumnya Imam) yang memimpin bersanji, dan sahut-sahutan dengan jamaah yang hadir.

Ibu piaraku dan beberapa orang dekat yang ku kenal di desa juga ikut sibuk dengan persiapan naik haji ini. Saat selamatan, aku dan ibuku pulang hampir jam sebelas malam, dan beberapa guru malah tidak masuk sekolah ke esokan paginya.  Aku cukup menikmati berkumpul dengan ibu-ibu bugis di malam hari dan bebantu seadanya.  Menggoreng pisang atau menggiling onde-onde. Mereka saling bercerita, aku mendengarkan, kadang aku juga menimpali. Suku bugis di desaku sangat terbuka menurutku, setelah kenal dan akrab, orang baru serasa sudah menjadi bagian dari keluarga itu.

Acara selamatan haji di bugis menurutku sama uniknya dengan acara pernikahan. Dulu, pernikahannya yang kuhadiri, diisi dengan berbagai sambutan dahulu, baru makan-makan. Di Bugis berbeda, ketika ada acara (lazimnya di sebut pesta), Pembawa acara setelah dibuka dengan doa, meminta tuan rumah untuk berdiri yang bermakna mempersilahkan untuk mencicipi makanan yang disajikan. Setelah semua kenyang, baru setelah itu seremonial lainnya. Acara dibugispun tidak lama-lama dan umumnya selalu tepat waktu. Jika habis isya, maka pasti akan dimulai tepat setelahnya. Dengan format acara jamuan makan di awal, tamu mau tidak mau dituntut untuk menyelesaikan acara hingga selesai. Au kabur dan tiba-tiba pulang???, silahkan saja malu dan dipelototin semua orang, mau terlambat datang ke pesta? Mari tidak bisa menikmati jamuan ala Bugis yang super lezat…”aneka rasa daging yang nikmat”.

            Mungkin hampir tujuh mobil yang mengantar jamaah haji untuk dua orang dari desaku, sedangkan Enci Siti Har berangkat dengan tiga Mobil. Semua mobil itu  berisi penuh penumpang, antara 6 sampai delapan orang. Aku membayangkan pasti Masjid Agung di Luwuk (Kabupaten), akan sangat penuh dengan manusia. Memang benar ternyata, “ baku desak dan baku tolak itu manusia” cerita ibu piaraku selepas pulang dari Luwuk.  Semoga saja jamaah haji yang berangkat dari desaku, bisa kembali dengan selamat dan berkumpul dengan sanak keluarga.

Catatan : selepas menikmati pagi dengan langit yang amat indah dan ombak yang tenang… serta harunya orang-orang desaku.

Mari menikmati setiap detiknya

12 September 2013

.

Tentang Imam Masjid dan Mengaji

imam mas jid

” Akan selalu ada orang-orang yang tulus untuk berjuang…Aku percaya itu…”

Catatan 10 September 2013

Malam ini Imam mesjid yang akrab kupanggil tetek (kakek) menyapaku…sudah lama rasanya tidak ngobrol bersama tetek. Terakhir aku bicara banyak adalah saat kemah pramuka di bulan juni lalu, saat aku menerima kabar kalau tetek sedang di rawat di rumah sakit. Bergegas kala itu aku langsung ke puskesmas dan melihat bagaimana keadaan beliau.  Tetek terlihat capek sekali, tubuhnya terlalu tua untuk bekerja berat, apalagi dengan tanggung jawab tambahan sebagai Imam Masjid dusun kami.

“Enci kemana saja, so lama tidak kelihatan di mesjid”

“ saya pulang kampung tek, baru dua minggu lalu balik, tapi belum ke mesjid karena bolak-balik Luwuk terus”.  Aku melihat tetek tampak tidak sehat, tetapi wajahnya selalu teduh dan  menyenangkan.

enci, jaga anak-anak mangaji ya, anak-anak senang sebenarnya mengaji, tapi tidak ada yang jaga”

“ tidak adakah tek, remaja mesjid yang bisa menjaga bisa menjaga mereka mengaji, siapa tau saya sering ke Luwuk, dan saya juga tidak selamanya disini.. apalagi kalau tetek yang bajaga terus nanti pasti capek”

“ itulah nci, susah agak susah mengarap remaja mesjidnya disini, saya berharapnya dorang-dorang itu memang, tapi mau bagaimana lagi…. saya mau berhenti jadi imam nci, bingung juga saya siapa yang ganti..”

Aku melihat kebingungan di cerita tetek kepadaku.

“ apakah tidak ada yang tetek sarankan untuk menjadi imam”. Aku kemudian menyebutkan beberapa nama tokoh masyarakat yang biasanya mengisi acara keagaman.

tidak tahu enci, harusnya yang ilmunya pas itu dorang-dorang itu, tapi masyarakat di sini susah, mereka sering tidak mau, harusnya nanti dirapatkan habis sembahyang jum’at. Saya sudah dua tahun lebih jadi imam masjid…sudah tidak dimampu saya rasa…”

Perkara menjadi imam bagiku entah kenapa adalah urusan sederhana, asal ilmunya ada dan sanggung jadi Imam, pemuda yang baru beranjak dewasapun tidak masalah. Hanya saja urusan imam, bagi tetek  dan masyarakat dusunku ternyata agak berbeda. Selain sebagai imam masjid, imam kampung sering di daulat pada acara-acara keagamaan, menjadi saksi pernikahan, atau bahkan yang menikahkan. Tokoh yang netral dan disepakati warga desa semacam syarat mutlak terpilihnya imam.

“ dulu saya sempat mau berhenti, sempat empat bulan lebih tidak ada imam enci….lalu yang dari Jakarta (orang desa yang sekarang sukses) memanggil saya, dan minta tolong di mesjid…”

Jujur  aku sayang sekali dengan tetek, dan perkara imam masjid tentu sudah di luar kendaliku sebagai pengajar muda. Aku hanya berharap tetek sehat, dan tidak terlalu capek. Aku tau, menjadi imam masjid bagi tetek bukan cuman sekedar memimpin sholat berjamaah di setiap waktunya. Tetapi menjaganya agar tetap nyaman untuk semua warga menggunakannya. Sering aku melihat tetek menyapu masjid sendirian, menyalakan dan mematikan lampu, mengulung dan membuka sajadah di masjid, atau menjadi pemukul bedug tanda waktu sholat. Ketika mesjid belum selesai sepenuhnya di rehab, tetek  menurutku adalah orang yang paling pusing dengan kondisi ini. Aku sendiri sampai frustasi dengan hujan yang deras, dan membasahi lantai dalam mesjid, karena aku tahu siapa yang nanti akan bekerja keras mengepelnya.

Perkenalan ku dengan tetek adalah hari kedua aku tiba di desa. Saat pertama kali aku menginjakan kaki di mesjid Nurul Iman Dusun Moilong. Tetek adalah tokoh masyarakat pertama yang aku kenal. Saat selepas magrib, aku mendekatinya yang sedang berkumpul dengan anak-anak dan mengajar mengaji. “ bolehkah saya ikut mengaji”, Ada ekspresi bingung dari tetek  kala itu…mungkin dibenaknya sedang berkata “ siapa perempuan ini, wajah asing yang tiba-tiba ingin ikut mengaji”. Biasaya tetek memintaku mengaji dengan mikropon di mesjid, dan meminta anak-anak mendengarkanku, tetapi lama-lama aku sudah bisa menghindar dari permintaan ini, mengaji di mikropon dan di dengar satu dusun tentu adalah beban moral untukku. Ketika aku sedang menstruasi dan tidak hadir di mesjid, banyak orang akan bertanya mana enci?,  agak susah untukku menjelaskan terutama kepada anak laki-laki kelas rendah tentang kondisi ini.

“Saya enci, biar satu anak saya ajar..biar satu huruf”,  itu adalah ucapan tetek di awal-awal kebersamaan kami mendampingi anak-anak mengaji.  Tetek kemudian menjadi orang penting untukku di desa ini karena aku merasa beliaulah orang desa pertama yang menerimaku dengan terbuka, dengan rentang usia yang begitu jauh dari ku-usia tetek sekarang 72 tahun, tetapi mempunyai keinginan yang sama untuk mendidik anak-anak. Jika tidak benar-benar sakit atau ada urusan amat penting, tetek tak pernah absen mendampingi anak-anak mengaji selepas magrib, dia dengan sabar membetulkan satu persatu bacaan anak-anak yang salah. Bulan-bulan terakhir ini, tetek sering sakit-sakitan sehingga urusan mengaji anak-anak kadang diserahkan kepadaku. Aku kadang sering risau sendiri, jika ada urusan ke kota atau kala aku sudah tidak di Moilong lagi, dan penerusku PM berikutnya tidak memiliki minat yang sama dengan urusan mengaji dan masjid.

Ayat demi ayat yang tetek ajarkan kepada anak adalah tanpa bayaran, biarlah Allah yang akan membalasnya. Tetap sehat ya tek….

Harusnya entah bagaimana caranya, para remaja masjid ini yang mendampingi anak-anak agar mereka tetap cinta masjid dan Al-Qur’an.

Catatan 14 September 2013

Beberapa hari sebelumnya, mas Hara seorang remaja Masjid yang dulu pernah membantu pesantren ramadan desa menyapaku selepas Isya. “ enci baajar mangaji tadi…, sendirian?”, Ku jawab dengan anggukan. Lalu mas Hara hanya geleng-geleng, tanpa ku mengerti maknanya.

Sore  ini, saat anak-anak belajar di sekolah, mereka kemudian bercerita kepadaku…”enci…katanya mas Hara mau mengajar kita orang mengaji”.  Aku sedikit terkejut dan senang mendengar berita ini, aku hanya berhadap semoga ini benar mengingat beberapa hari yang lalu aku sedang bingung dengan pengajar mengaji ini.

Ternyata berita ini benar, Mas Hara membawa Al-Qur’annya  dan tidak pulang selepas Magrib. Aku kemudian bertanya kepadanya ingin mengajar kelas berapa kepadanya. “Yang SMP sama SMA sama saya saja Enci”.  Formatsi mengaji malam ini kemudian berubah, biasanya anak-anak mengaji dengan mikropon satu persatu, malam ini anak-anak kemudian di bagi menjadi tiga,  SMP dan SMA dengan Mas Hara, SD perempuan bersamaku, dan SD laki-laki kemudian tetek yang ajar karena sudah beliau lebih sehat.

Bagaimana perasaanku, rasanya senang dan sedikit lega lalu berharap semoga ada lagi remaja masjid yang bergabung untuk mengajar anak-anak ini mengaji. Formasi seperti ini lebih memudahkan mengontrol benar dan salah bacaan anak-anak dari pada formasi sebelumnya, apalagi dengan banyaknya anak-anak yang kadang-kadang ribut dan rebutan mikrpon. Innamaal usriyusra (sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan). Aku kemudian percaya bahwa akan selalu ada orang-orang tulus yang tergerak hatinya untuk membuat lingkungan sekitarnya lebih baik.