Saya berkenalan dengan Pramoedya Ananta Toer mungkin agak terlambat. Justru dimasa setelah saya selesai kuliah, dan bekerja menjadi guru di Banggai Sulawesi Tengah. Itupun saya juga belum tertarik menyentuh karyanya. Saya hanya melihat teman-teman satu penempatan secara bergantian membaca tetralogi pulau buru.
Saya resmi membaca karya-karya Pram ketika saya bekerja sebagai Fasilitator di daerah sangat terpencil. Jujur, sulitnya akses ke desa-desa dampingan membuat fisik menjadi sangat lelah. Saya sendiri merasa waktu membaca buku terasa sangat miskin karena lebih mimilih untuk tidur. Justru itulah, saya kemudian mulai memilah apa saja buku-buku yang saya baca. Untuk mengingatkan bahwa apa yang saya kerjakan tidak ada apa-apanya dibandingkan banyak sejarah yang kelam dari negeri ini. Ya, karya Pram bagi saya bukan sekadar mengajarkan sejarah dengan tutur kata sederhana, tetapi mengingatkan untuk terus bergerak.
Sekali Peristiwa di Banten Selatan adalah karya Pram pertama yang saya baca. “tubuh boleh disekap, ditendang, diinjak-injak, tetapi semangat tidak boleh redup, mungkin itulah yang bisa membuat orang untuk terus hidup dan dapat bekerja”. Tentu saja, hidup saya kala itu bukan sosok yang terpinggirkan atau tertindas. Namun, buku ini mengajak saya merefleksikan banyak hal tentang kehidupan di desa sangat tertinggal. Bisa jadi tema penindasannya tidak sama tetapi sebenarnya serupa. Bahwa kaum miskin, lemah, tidak berpendidikan selalu jadi objek empuk untuk selalu disengsarakan demi keuntungan.
Dari sana, saya mulai jatuh cinta dengan karya Pram. Tentu saya tidak akan mengulik banyak tentang Bumi Manusia yang sudah pasti jadi bacaan wajib bagi pecinta sastra. Dengan latar belakang sejarah yang luar biasa, Bumi Manusia mengajarkan saya satu hal bahwa Nyai Ontosoroh selalu berulang pada setiap masanya. Ah, ada masa kadang saya seperti Nyai Ontosoroh, memperjuangkan sesuatu yang dianggap penting, namun tetap saja ada kekuasaan yang membuat saya tidak bisa bertindak. Selalu ada politik yang seolah cantik dan rupa, namun sesungguhnya menusuk dan menjatuhkan.
Atau sosok lain dari seorang Kartini yang justru saya pelajari dari Karya Pram. Kartini bukan soal memakai kebaya sebagai simbol dihari perayaannya, juga bukan hanya soal memperjuangkan kaum perempuan. Kartini adalah pecinta pengetahuan, pembaca buku dan kehidupan yang rakus kemudian menuliskannya sebagai tanda kritik sosial pada jamannya. Kartini juga bukan orang yang mengimani sesuatu dengan membabi buta, dia menemukan Tuhannya dengan bertanya, mencari, dan belajar. Membaca Panggil Aku Kartini Saja membuat saya sangat iri. Iri karena banyak kemewahan dan kesempatan belajar tetapi tidak saya manfaatkan dengan baik, sementara pada masanya Kartini berjuang begitu rupa.
Singkat kata, Pram adalah manusia yang tidak saya kenal, tetapi mempengaruhi hidup saya.
Lalu, hari ini saya merasa sendu, karena dari dekat melihat sisi manusia seorang Pram, bukan dari surat-surat Pram ke anaknya seperti yang dituliskan di Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, tetapi dari sudut pandang lingkungan yang pernah membersamainya.
Dari surat anak-anak Pram, foto keluarga, alat kerja, pakaian, tas, cerutu dan peralatan keseharian yang dipamerkan ke hal layak. Saya menjadi melihat sisi lain seorang Pramoedya Ananta Toer.
Ada dialog yang syahdu antara surat anak ke bapak yang meminta izin atas pernikahannya, tentang penantian panjang anak yang terpisah karena ketidakadilan, tentang pelukan bapak setelah keluar dari penjara, atau tentang tawa lepas yang seperti tidak tergambar dalam buku-bukunya yang menggerakan dan penuh rasa marah.
Ya, Pram dengan karya besarnya tetap adalah seorang suami dan bapak bagi putra-putrinya.
Ah, Saya merasa benar-benar menjadi sendu….
Sendu saat melihat lampu baca, tulisan tangan, kaca mata dan tiga mesin tik tua kepunyaan Pram. Saya membayangkan seorang Pram yang sepanjang hidupnya berjuang, bukan dengan senjata tetapi dengan kata-kata.
Pram benar, semua orang bisa mengambil kebebasan ragawi, tapi tidak pikiran meskipun kita sudah lelah dan merasa renta.
Terimakasih Pram
Dan entah kenapa saya masih merasa sendu.