Yuk Membaca…


Mungkin ada benarnya pepatah lama soal membaca… Membaca adalah jendela dari dunia… dan bahasa adalah kunci untuk membukanya… Apa yang paling menyenangkan dari membaca? Sangat sepakat dengan pendapat Abbas Mahmud Al-Qqadas (dalam Quraish Shihab) yang menjelaskan bahwa tanpa membaca kita hanya punya satu hidup. Yang dapat memberi hidup lebih dari satu hidup, hanyalah bacaan, karena dengannya hidup semakin bermakna  dan semakin dalam. Singkat cerita, dengan membaca kita bisa menjadi apa yang kita baca dan berkelana seolah berada di dalam tulisan atau peristiwa.

Aha… agak tersindir dengan tulisan, jangan sekali-kali berkata “ tidak ada waktu untuk membaca” karena membaca bisa dilakukan dimana saja. Menurut penelitian, jika kita sudah terbiasa membaca, kita bisa membaca sekitar 300 kata dalam satu menit yang berarti dalam 15 menit kita bisa membaca 4500 kata. Dalam satu bulan hanya dengan menggunakan 15 menit itu, kita bisa menyelesaikan 126.000 kata. Kalau rata-rata satu buku saku muat sekitar 6000 kata, maka itu berarti setiap bulannya kita dapat membaca dua buku. Bagaimana kalau kita menggunakan waktu lebih dari 15 menit???.

Ibnu Sina di usia sepuluh tahun ia telah banyak mempelajari ilmu agama Islam dan menghafal Al-Qur’an seluruhnya, belajar ilmu logika metafisika, dan filsafat Yunani bahkan untuk karya Aristoteles ia membacanya sampai 40 kali. Umur 16 tahun ia sudah memahami ilmu kedokteran dan umur 17 tahun ia menjadi dokter istana. Mengunjungi perpustakaan adalah kebiasaannya  dan karya-karya yang ditulisnya menjadi sumbangan luar biasa dalam ilmu pengetahuan terutama dibidang kedokteran dan filsafat.  Ibnu Rusyd seorang filsuf islam, ahli ilmu kalam dan pembesar ulama mazhab Maliki adalah orang yang sangat giat membaca. Ia mempelajari Alquran, tafsir, hadits, fiqih, serta mendalami ilmu-ilmu eksakta seperti matematika, astronomi, logika, filsafat dan kedokteran. Pada saat usia 36 tahun, Ibnu Rusyd mulai menulis dan mengarang. Orang-orang yang menulis sejarah hidupnya berkata “Sungguh Ibnu Rusyd tidak meninggalkan membaca dan menulis pada sisa umurnya kecuali pada dua malam, malam pengantinnya dan malam saat bapaknya meninggal

Bill Gate pendiri Microsoft mengatakan bahwa “Saya punya banyak impian ketika masih kecil, dan saya kira semua itu tumbuh dari kenyataan bahwa saya punya banyak kesempatan untuk membaca. Adoft hitler dengan kontroversinya ternyata sangat rajin mengunjungi perpustakaan dan membaca buku-buku humaniora dan kebesaran bangsa Jerman. Bahkan fir’aun yang namanya abadi sepanjang masa mempunyai perpustakaan pribadi dengan koleksi 20.000 buku.

Pasti ada sebab wahyu pertama kepada Nabi Muhammad justru perintah “Bacalah”, tidak hanya sekedar “ bacalah” tetapi bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Perintah ini tentu saja tidak menyebut objek bacaan tetapi lebih menyebut motivasi dan tujuan.  Dalam bukunya Quraish Shihab dijelaskan bahwa  Iqra pada mulanya berarti menghimpun. Jika ada kata “membaca” maka sebelum mengucapkannya–dengan lidah atau di dalam benak–kita sebenarnya melihat ketujuh huruf itu satu persatu terlebih dahulu,dan mengurutkannya lalu menghimpunnya dan seketika itu-setelah terjadi aneka proses yang sangat cepat–lahirlah bacaan yang berbunyi “ membaca”.

Selanjutnya Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata iqra  juga sangat menakjubkan. Kata ini dalam aksara arab terdiri dari huruf-huruf Qaf ( ق) Ra (ر) dan hamzah (ء). Ketiga huruf  tersebut betapapun kita mengutak atik susunannya dia tetap mempunyai makna. Kita dapat mendahulukan huruf hamzah disusul  dengan Qaf dan Ra sehingga membacanya (أقر) aqarra, yang antara lain bermakna mengakui atau mantap dan  tenang.Kita juga dapat mendahulukan hamzah dan meletakan huruf Ra  di tengahnya dan huruf Qaf diakhirnya sehingga terbaca ( ٲرق) ariqa,  yakni gelisah atau sulit tidur. Kesemuanya mengisyaratkan bahwa kalau kita tidak membaca, maka akan gelisah dan kalau gelisah maka tidak akan dapat tidur sehingga tidak merasakan ketenanngan.  Sebaliknya ketika kita membaca kita akan tenang, memperoleh pengetahuan dan kehidupan.  Demikian, membaca (Qara’a) kita lakukan supaya kita tahu. Seseorang yang tahu supaya tidak gelisah (ariqa) dan bila tidak gelisah, maka dia akan tenang dan mantap (aqarra/istaqarra).

Selanjutnya kata iqra digunakan untuk objek apapun. Kita dituntut oleh kata pertama dalam wahyu itu untuk membaca apa saja, yang tertulis atau yang terhampar, yang burukpun pada dasarnya boleh dibaca selama motivasinya adalah bismi rabbika. Orang bijak berkata :

“ aku berusaha tahu yang buruk, bukan untuk melakukannya

   Tetapi untuk menghindarinya

   Siapa yang tidak mengenal keburukan, maka

   Dia dapat terjerumus ke dalamnya”

 Semakin banyak yang kita ketahui, maka semakin banyak lagi yang tidak kita ketahui seperti diakui oleh Socrates kurang lebih 2500 tahun lalu bahwa puncak ilmu pengetahuan ternyata bukan I know that I know, but I know that I don’t know. Maka wajarlah ketika perintah “membaca” akan membawa kepada langkah-langkah dalam kehidupan. Menurut Syekh Abdul Halim Mahmud mantan pemimpin tertinggi Al-Azhar, Membaca disini adalah lambar dari segala apa yang dilakukan oleh manusia, baik yang sifatnya aktif maupun pasif. Kalimat tersebut dalam pengertian  dan jiwanya ingin menyatakan “ bacalah demi Tuhanmu, bergeraklah demi Tuhanmu, bekerjalah demi Tuhanmu, sehingga pada akhirnya jadikanlah  ayat tersebut berarti jadikanlah seluruh kehidupanmu, wujudmu, dalam cara dan tujuannya, kesemuanya demi Allah.

Jadi…. Mari menikmati setiap detik yang kita gunakan untuk membaca…:)

Mengintip Tidak Hebohnya Asean Para Games


Mengutip salah satu pernyataan Wahdina, atlit renang penyandang cacat yang menumbangkan mendali perunggu untuk Indonesia di Asean Para Game ke 6 di Solo yang menyatakan bahwa “tolonglah walaupun kita penyandang cacat, fasilitasnya juga diperhatikan, kok sepertinya tidak seperti Seagames  padahal juga sama-sama event international”

Pertanyaan mendasarnya adalah apakah pertandingan olah raga untuk penyandang cacat tidak semenarik seagames?. Sponsor utama yang sangat terbatas, pembangunan fasilitas yang tak seheboh seagame, pembukaan yang hanya dihadiri wakil presiden, tak ada telivisi yang menyiarkan langsung pembukaannya apalagi pertandingannya dan Lagu Indonesia yang berdentang karena pundi-pundi mendali seolah hanya bisa didengar di stadion, lapangan atletik, atau kolam renang seolah dengan penonton yang terbatas… Apakah sebenarnya nasionalisme tidak bisa ditularkan oleh mereka yang menyandang cacat?

Tak ada ide untuk melanjutkan tulisan ini… hanya saja, melihat dengan sekilas berita-berita tentang penyandang cacat itu, justru lebih membangkitkan rasa ingin berbuat sesuatu untuk bangsa ini… Mereka yang keterbatasan fisik, menangis saat lagu Indonesia berkumandang, menunduk dengan haru saat bendera di bentangkan, dan masih bisa mengatakan ini untuk Indonesia… Well, pengingat ampuh bagi kaum muda seperti kita tentunya… Banyak keistimewaan kepada manusia yang lengkap secara fisik untuk terus bermanfaat, lalu… sudahkah kita melakukannya…. Semoga saja, penghargaan kepada mereka yang duakali ektra ini… juga sama seperti atlet-atlet yang menjadi jawara di Seagames…

Berjuanglah Terus dengan luar biasa…. Terimakasih J

One Fine Date…Jadi Berfikir Soal Pendidikan.


Ini adalah salah satu film  keluarga yang memberikan pesan moral yang baik bagi penontonnya. Dibintangi oleh Geogre Clooney dan Michale Pfiffier sebagai tokoh utama yang mempunyai latar belakang berbeda dengan kasus yang sama. Mereka  telah bercerai dengan pasangan masing-masing dan memiliki satu putra dan putri. Jack (Clooney) adalah wartawan sukses yang berhasil membongkar kejahatan walikota, sedalangkan mel (Priffrer) adalah arsitek andalan dari perusahaan konstruksi. Pada suatu pagi, mereka berdua harus megantarkan anak mereka pergi ke pelabuhan untuk pergi berwisata dengan kapal.. menumpang satu taksi yang sama, dan ternyata menaiki kapal yang salah sehingga anak mereka ketinggalan wisata… sehingga mau tidak mau mereka berdua harus menjaga anak mereka seharian diantara kesibukan dan dateline kerja masing-masing.

Kualitas orang tua akan terlihat di film ini, mengambil jeda diantara banyak prioritas dengan tidak mengorbankan anak. Tidak apatis dengan pendidikan dan mementingkan kualitas dari sebuah hubungan… Di film ini beberapa kali jack dan mell yang dikejar waktu, berhenti sejenak untuk menjelaskan dan membuat anak mereka mengerti. Mengandalkan komunikasi bukan perintah agar anak menuruti perkataan mereka. Dan yang paling penting adalah pemahaman bahwa anak adalah prioritas yang harus diutamakan.

Ini mungkin seharusnya menyindir perfilman di Indonesia yang filmnya kebanyakan amat jauh dari kultur dan kebiasaan bangsa ini.. bukankah mengutamakan kepentingan anak dan keluarga adalah kultur wanita indonesia. Hanya saja arus hiburan sekarang secara tidak sadar menyerang frame kognitif kalangan wanita bahwa karir adalah hal yang paling utama.. Sementara di dunia belahan barat sana, mencoba memberikan edukasi bahwa walaupun wanita dan laki-laki mempunyai kehidupan karir yang cemerlang, memberikan prioritas utama terhadap keluarga adalah hal utama.

Film adalah media edukasi yang luar biasa untuk mempengaruhi pemikiran seseorang, karena seseorang secara sadar akan diajak untuk berusaha menyelami isi dari tontonan, dia tidak dipka untuk larut dalam suatu keadaan. Beda dengan hukum yang sifatnya sudah sangat memaksa… Kadang kala walaupun seseorang menurutinya, butuh waktu lama untuk menjadi cara pandang yang membawa kepada nilai-nilai hidup seseorang. Bayangkan jika tontonan yang diberikan kepada generasi muda hanya berkutik soal masalah, percintaan, kemewahan, kekerasan, gaya hidup, dan kemajuan jaman yang tidak membumi… tanpa diimbangi dengan tontonan berkualitas yang mengajarkan  kerja keras, pengorbanan, mimpi, disiplin, atau penghargaan kepada sesama..Banyak orang mengatakan hidup harus diimbangi dengan ilmu agama yang baik, hanya saja pertanyaan mendasarnya adalah jika mereka belajar agama disuruh atau dipaksa yang bentuknya doktrinasi, apakah sangup melawan tontotan-tontonan yang dikemas dengan menyenangkan dan  membuat ketagihan.. Mungkin, PR kita bersama adalah menyajikan edukasi yang menarik untuk generasi muda… agar imbang menghadapi banyak hal tentang dunia yang negatif tetapi menyenangkan.

(Habis Gelap Terbitlah Terang: Dahlan Iskan)


Belajar itu sederhana… yukss…Belajar dari Dahlan Iskan

Dari Jurnalistik ke jurnalistrik ? banyak orang meragukannya… jika wartawan menjadi politisi atau duta besar itu mungkin masih wajar tetapi ketika seorang Dahlan Iskan memutuskan menjadi Direktur Utama PLN, BUMN kedua terbesar di negeri ini, yang memiliki masalah pelik kelistrikan, selalu merugi setiap tahunnya, disumpahi masyarakat karena sering padam, dihujat oleh industri karena sering mengganggu jadwal produksi, yang bisa antri sampai dua tahun kalau masang listrik, menyedot anggaran subsidi paling besar dari negara, atau masih menyengsarakan rakyat karena 60 tahun Indonesia merdeka masih ada rakyat yang pake lampu teplok…? bahkan PLN telah dipelesetkan dari Perusahaan  Listrik Negara menjadi Perusahaan Lilin Negara.  Celetukan ketus selalu terarah padanya.. Ahli listrik dari universitas ternama seperti ITB saja tidak bisa menyelesaikan masalah listrik…bagaimana seorang lulusan pesantren bisa? Senekat dan segila apa Dahlah Iskan ?

Listrik itu domainnya insinyur, Urusan teknik elektro yang berbasis teknologi tinggi, bukan urusan cetak mencetak atau tulis menulis di surat kabar. Listrik itu mengatur dan mengendalikan setrum, bukan membuat setrum dan intrik yang bisa nyetrum orang. Listrik itu urusan penyediaan energi yang amat vital yang boleh dikategorikan sebagai kebutuhan primer era modern. Media itu lebih sebagai pemuas kebutuhan sekunder!. Listrik itu mengurus jaringan terluas manajement pembangkit dan sustainabilitasnya, infrastruktur, layanan kepada publik dan menggerakan lebih dari 52 ribu karyawan. Pertanyaannya adalah apakah jurnalis itu punya bakat? Tahu apa Dahlan Iskan itu? Apalagi bukan lulusan insyinyur, bukan lulusan ITB! Bukan jebolah teknik listrik!. Intinya adalah semua keraguan terarah kepada Dahlan Iskan yang seolah sudah pasti gagal mengelola PLN. Dahlan Iskan bukannya marah, dia dengan santai ia menjawab “PLN ini adalah tempat berkumpulnya orang-orang hebat! Karyawannya lulusan SMA jurusan terhebat, fisikal jurusan yang dianggap paling pintar!, lalu masuk fakultas teknik elektro ITB, diseleksi lagi masuk PLN oleh senior-senior yang hebat! Tidak diragukan lagi, PLN adalah kumpulan orang-orang terhebat dan terpintar di negeri ini! Lalu… ya, yang dibutuhkan sekarang oleh PLN adalah orang bodoh seperti saya!

Pelantikan pertamanya sebagai Dirut PLN diwarnai dengan unjuk rasa besar-besaran karyawan. Ada ratusan pendemo menggunakan truk tronton yang dilengkapi loudspeaker mengumandangkan lagu-lagu perjuangan sambil berorasi. Beberapa poster besar bertuliskan “ Dahlan Iskan masuk, PLN ambruk. Dahlan Iskan akan membuat korupsi sekamin marak!. Tolak Dahlan Iskan sebagai Dirut PLN! Dahlan Iskan tidak mengerti listrik!, Dahlan Iskan akan mendorong Privatisasi PLN, Tolak!!. Kamar kerja Dahlan bahkan juga dikunci  begitu juga lift direksi dan pelantikanpun dilakukan tergesak-gesak. Demo di PLN awalnya tidak diacuhkan oleh Dahlan, ia tetap bekerja dan melakukan rapat walaupun di ruangan yang berbeda.  Namun, pada hari keempat karena demo terus menerus, Dahlanpun mengumpulkan seluruh karyawan dan seorang diri mendatangi mereka. Dahlan mempersilahkan karyawan bicara menyampaikan alasan penolakan, namun tidak satupun karyawan bicara. Pertemuan selama 40 menit itu diakhiri dengan diam dan tanpa dialog. Dahlan mendekati dinding yang berisi poster-poster hujatan dirinya, membacanya, mengangguk, sesekali diam agak lama kemudian kembali keruang kerjanya dan karyawan bubar tanpa suara. Dua minggu berikutnya, suasana menjadi lebih cair terutama ketika ia diminta menjadi imam sholat jum’at, dan satu bulan setelahnya poster-poster yang dipasang menentang dahlan perlahan-lahan diturunkan secara sukarela oleh karyawan.

Sehari setelah pelantikan, Dahlan mengadakan rapat dengan direksi. Dari 10 direksi yang harusnya hadir, hanya dua orang yang ikut rapat. Sisanya datang terlambat dan menunggu diluar ruangan karena pintu dikunci dari dalam. Para direksi tidak percaya kalau pemimpin mereka yang baru bisa mulai rapat tepat pukul 06.30 pagi walaupun sudah diingatkan.  Dan rapatpun hanya berlangsung satu jam. Dahlan Iskan mengatakan “ Rapat itu jangan lama-lama, jangan lebih dari satu jam. Kalau terlalu lama, kita nanti susah mengerjakannya. Lebih baik lama bekerja dari pada berlama-lama rapatnya”. Selesai rapat pagi itu, ia mengatakan kepada direksi yang terlambat “setahun kedepan, setelah hari ini, saya tidak ingin lagi mendengar giliran listrik mati dimanapun di Indonesia ini. Buat langkah taktis dan teknisnya secara mendetail, berikut bujetnya! Mari kita melaksanakannya..dan oh ya, mulai hari ini rapat akan diadakan jam 06.30 pagi, jangan ada lagi yang terlambat!”

Sosok seperti apakah Dahlan Iskan? Dahlan Iskan dibesarkan di lingkungan pedesaan dangan kondisi serba kekurangan. Orangtuanya tidak ingat tanggal berapa Dahlan dilahirkan. Dahlan akhirnya memilih tanggal 17 Agustus dengan alasan mudah diingat karena bertepatan dengan peringatan kemerdekaan Republik Indonesia. Dahlan Iskan pernah menulis buku berjudul Ganti Hati (catatan tersebut dapat dibaca di Pengalaman Pribadi Menjalani Tranplantasi Liver) pada tahun 2008. Buku ini berisi tentang penglaman Dahlan Iskan dalam melakukan operasi cangkok hati di Cina. Karirnya adalah sebagai wartawan dan pengusaha.  Kisah sukesnya dimulai dari saat ia mengembangkan Jawa Pos, dari hanya sebuah koran lokal menjadi “ Koran Nasional yang terbit di daerah”. Dari koran yang hampir bangkrut menjadi raja media di Indonesia. Sekarang ia pemilik jaringan koran yang luas dan begitu cepat berkembang jumlahnya, hampir disetiap ibu kota provensi dan kabupaten di Indonesia. Tercatat ada 190  koran lokal dibawah jaringannya. Dia juga pemilik pabrik kertas koran terbesar di Sidoarjo,dan mengembangkan beberapa TV lokal di Indonesia seperti JTV atau Batam TV. Dahulu sebelum operasi, Dahlan bisa bekerja dari jam 08.00  hingga pukul 03.00 dini hari saat koran naik cetak. Paska sakit, ia mulai merubah gaya hidupnya. Setiap pagi dari pukul 05.30 pagi, ia akan berjalan 30 hingga 45 menit baik dengan istri atau jajaran stafnya di daerah ketika ia kunjungan.

Saat ia memutuskan menerima pinangan pemerintah sebagai dirut PLN, dia kemudian meninggalkan jabatannya di perusahaan dan berkonsentrasi di PLN. Dahlan tidak menerima sepeserpun gaji dari PLN. Alasannya karena gaji dari Jawapos sudah cukup. Ia juga naik mobil pribadi sendiri dan tinggal dirumah sendiri. Tidak ada fasilitas apapun sebagai direksi yang digunakannya. Dahlan tidak ingin berutang apapun kepada perusahaan yang harus dinikmati rakyat ini. Bahkan kesehariannya adalah model wartawan. Dengan sepatu kets dan baju yang digulung hingga lengan dan jaket sehari-hari. Hanya jika bertemu dengan presiden atau ke istana negaralah dia pakai jas atau batik, itupun tetap dengan sepatu ketsnya. Dalam satu wawancara di televisi dahlan mengatakan alasannya selalu menggunakan sepatu kets, dia mengatakan agar bisa berlari kencang. Dahlan Iskan walaupun menjadi orang nomor satu di BUMN sekarang tetap dengan kesederhanan dan keunikannya.

Setelah satu tahun memimpin PLN dan diangkat menjadi menteri BUMN, sosoknya menjadi sangat fenomenal. Hujatan tiada henti kini berganti dengan pujian dan penghargaan atas banyak perubahan di BUMN yang awalnya cacat ini. Kebijakan kontroversialnya ternyata membawa banyak hasil hanya dalam waktu satu tahun. Kebijakannya antara lain Grasess (Gerakan Satu Juta Sambungan dalam Sehari) yang membuat terPHKnya calo-calo listrik yang bergentayangan di masyarakat. Gerakan itu akhirnya mengurangi daftar tunggu yang jumlahnya berjuta-juta orang dari pelanggan PLN.  Dahlan memulai melistriki pulau-pulau yang selama ini tidak terjangkau yang dimulai dari pulau terluar yang mempunyai potensi usaha, wisata ataupun pertumbuhan ekonomi. Pulau-pulau itu 100 persen sudah dialiri listrik dengan memanfaatkan skema solar cell, pembangkit listrik tenaga surya.  Pencabutan Caping  adalah kebijakan kontroversial lainnya dari seorang Dahlan. Caping adalah memberikan subsidi khusus kepada beberapa industri di negara ini yang menurutnya membuat pengusaha manja. Banyak kritikan tajam akibat kebijakan ini  yang juga datang dari atasnnya. Namun Dahlan tidak peduli. Dia mengatakan, seharusnya rakyatlah yang menikmati listrik bukan para pengusaha. Bahkan kalau terjadi pemadaman seharusnya rumah-rumah para pejabatlah dahulu yang mendapat giliran. Kebijakan ini bagi PLN, mengurangi kerugian akibat terus menerus mensubsidi.

Dahlan bahkan menggandeng KPK, BPK dan BPKB dalam proses kebijakan PLN, alasannya agar tidak ada yang bergentayagan untuk membuat PLN transparan. Ia mengajak stafnya untuk berkunjung ke KPK dan BPK dan meminta lembaga ini untuk mengawasi secara ketat proses kebiajakan yang ada di PLN. Tindakan ini yang awalnya ditertawakan ternyata menjadi rumus ampuh melindungi PLN dari tindakan-tindakan yang tidak bersih. Ia juga mereformasi sistem di dalam perusahaannya menjadi lebih dinamis dan bergerak cepat. Dahulu PLN terlalu birokratis, satu keputusan harus banyak pertimbangan dan disetujui oleh jajaran direksi bahkan satu keputusan bisa diambil berbulan-bulan kemudian. Dahlan merubah sistem dimana pejabat terkait bisa mengambil keputusan dengan singkat terkait divisi yang dikelolanya. Bagi Dahlan Iskan, listrik itu hampir sama dengan jurnalistik, bahkan lebih cepat. Jika berita tidak cepat disampaikan maka akan basi dan ketinggalan, bahkan listrik lebih cepat dari itu. Kurang dari detik aliran yang harus diantarkan untuk menyalakan komputer misalkan, karena listrik itu sangat vital jadi banyak keputusan yang harus bisa bisa dengan cepat diambil untuk menyelesaikan masalah.

Karyawan PLN diajak bekerja lebih cepat, bersemangat dan adaptif. PLN dibawa kepada perusahaan yang sifatnya lean and clean yang diharapkan lebih cepat menyelesaikan keluhan pelanggan. Perhatian khusus diberikan kepada pekerja teknis dilapangan yang langsung berurusan dengan gangguan dan jaringan kekuatan tinggi. Dalam beberapa kesempatan rapat, Dahlanpun sering mengikut sertakan kepala cabang atau sektor yang bertujuan sebagai sarana magang dan calon pemimpin bagi masa depan perusahaan. Jajaran direksipun sering melakukan rapat dibeberapa daerah. Tujuannya adalah agar direksi lebih memahami akar dari masalah. Bahkan Dahlan pernah melakukan rapat dilapangan terbuka setelah lari pagi dengan para stafnya. Ia mengunjungi ratusan daerah di Indonesia untuk meninjau langsung kinerja PLN, dan Dahlan tidak segan-segan untuk naik ke gardu listrik, berbicara langsung dengan level paling bawah dan meminta pendapat orang luar PLN seperti Tri Mumpuni untuk perbaikan perusahaan ini. Salah seorang karyawan PLN berkata “ dahulu kalau Dirut PLN datang ingin berkunjung, persiapannya bisa berbulan-bulan, dan kadang gagal di menit-menit terakhir”.  Tidak terlalu ada batasan dengan karyawannya, dia memulai menyalami dengan hangat karyawan di pelosok daerah atau rapat lesahan dengan sajadah di aula karena banyak orang yang hadir. Keberhasilan kebijakan yang diusung oleh Dahlan Iskan membawa aura positif bagi karyawan yang menjadi lebih percaya diri dan bersemangat.

Dahlan Iskan sosok unik, inisiatif, bergerak cepat, percaya kepada tim, disiplin, pekerja keras, jujur dan sederhana adalah sosok luar biasa dalam perubahan.  Ketika ditanya apakah ia akan bersedia kembali dipilih sebagai dirut PLN periode berikutnya. Dengan tegas ia menjawab tidak. Ia sudah berjanji hanya tiga tahun di PLN pada keluarganya. Sosok Dahlan adalah pemimpin yang tidak terlena dengan kekuasaan. Ia tahu kapan harus memulai dan mengerti kapan waktunya berhenti. Dahulu PLN dibenci karena dalam satu tahun listrik bisa mati sampai 50 kali bahkan hingga 150 kali, perusahaan ini bahkan sering merugi, dan seolah tidak mampu menerangi dirinya sendiri. Sekarang perusahaan negara ini, dengan kepemimpinan Dahlan Iskan yang luar biasa dan tim yang solid untuk perubahan perlahan-lahan sudah menemukan engerginya dan cahayanya kembali.

Penutup tulisan ini…dalam satu wawancara Dahlan pernah ditanya apa kenikmatan hidup terbesar saat ini, kenapa ia tidak mau dibayar? “ tidur dan mandi  bisa mandi air hangat adalah kenikmatan terbesar saya, saya sudah tidak membutuhkan apa-apa lagi untuk dibayar”. Dahlan adalah salah satu sosok yang dibutuhkan di negara ini.. semakin banyak orang-orang yang berdedikasi seperti ini.. berjuang untuk negaranya, membuat perubahan dengan sederhana, dan optimisme terhadap kebaikan…Negara ini pasti menjadi lebih baik lagi.

Dan kita tunggu saja kebijakan kontroversial lain yang memberi manfaat pada jabatan barunya sebagai mentri BUMN… Selamat Berjuang Dahlan Iskan…Terimakasih atas inspirasinya. “ Habis Gelap Terbitlah Terang “

Catatan kaki..:

Dulu sebagai orang kalimantan yang sumber minyak, gas dan batu baranya sering disedot dan entah diapain aja sering ngeluh… kok bisa sumber energi terbesar negeri ini ada disini, tapi listriknya sering mati bisa seminggu tiga kali dan bisa 3, 4 atau bahkan 8 jam… Dan tanpa disadari, sekarang sudah tidak lagi… hee… jadi terimakasih ya pak Dahlan… hal kecil yang kadang tidak disadari tapi banyak membawa kebaikan J

Pembelajaran Mandiri

A.    Pendahuluan

  Di dalam pendekatan tradisional, pendidikan ditekankan pada penguasaan dan manipulasi isi. Para siswa hanya menghafalkan fakta, angka, nama, tanggal tempat, dan kejadian. Dimana mereka memperlajari mata pelajaran secara terpisah satu sama lain, mereka juga hanya dilatih dengan cara yang sama untuk memperoleh kemampuan dasar menulis dan berhitung (Johnson, 2009). Siswa seolah hanya menjadi cawan penerima ilmu dari pihak luar sehingga model penilaian yang dilakukan terkesan sangat sederhana dan hanya menekankan pada aspek-aspek yang dangkal dari kognitif.

  Sekarang para pakar pendidikan, orang tua, ataupun masyarakat secara luas mulai menyadari bahwa pendidikan tidaklah cukup hanya dengan model tradisional seperti itu, sehingga paradigma pendidikan pada akhirnya sekamin bergeser pada filosofi bahwa siswa mampu menyerap pelajaran apabila mereka menangkap maksud dalam materi akademis yang mereka terima, mampu mengkaitkan informasi baru dengan pengetahuan dan pengalaman yang sudah mereka miliki sebelumnya serta mampu mengaplikasikannya ke dalam dunia nyata.

Paradigma pendidikan tentu saja tidak hanya berorentasi pada hasil akhir saja yang pada akhirnya mengarah kepada pencapaian prestasi akademik berupa skor tinggi dalam ujian atau nilai yang baik dalam ujian tes standar. Dewasa ini pembelajaran kepada seorang siswa tidak hanya ditekankan pada transfer pengetahuan dari seorang guru kepada murid tetapi juga pada sejauh mana murid dapat memaknai pengetahuan yang di dapatnya. Lebih jauh murid pun dapat  lebih mandiri dengan kehidupannya dan dapat membangun kerja sama dengan orang lain untuk kesuksesannya.

Dalam pola belajar mandiri, siswa diajak untuk mengkaitkan tugas sekolah mereka dengan kehidupan sehari-hari. Kehidupan sehari-hari disini maksudnya adalah kehidupan seorang siswa di rumah, sekolah, diantara tema-teman sebaya, dan ditengah-tengah masyarakat. Ini adalah situasi “nyata”, lingkungan “nyata”, “kehidupan nyata” seorang siswa. Pembelajaran mandiri memeberi kebebasan kepada siswa untuk menemukan bagaimana kehidupan akademik sesuai dengan kehidupan mereka sehari-hari. Proses penemuan ini tentu saja butuh waktu, tetapi hasilnya sebanding dengan waktu yang dihabiskan.

B.     Definisi Pembelajaran Mandiri

Pembelajaran mandiri merupakan antithesis dari apa yang tengah berlangsung di sekolah-sekolah era industri yang dibangun mirip pabrik. Di sekolah-sekolah era industri, tugas seorang siswa adalah mematuhi atruran-aturan yang ditujukan untuk mengatur dan mengendalikan, jangan bicara sebelum gilirannya, berjalan dalam satu barisan, minta izin dahulu jika ke kamar mandi, jangan bekerja sama dengan teman, isi titik-titik, jawab pertanyaan dengan benar, dan hal lainnya. Suatu lingkungan terkontrol seperti itu mengabaikan keunikan setiap siswa. Para siswa belajar dengan kecepatan yang berbeda-beda, dan mereka pun belajar dengan cara berbeda-beda pula. Mereka memiliki minat yang berbeda dan bakat-bakat khusus, karena manusia adalah unik, maka aneh tampaknya jika seolah mengharapkan para siswa untuk belajar dalam situasi yang sama dari satu buku teks atau metode pelajaran yang sama. Pelajaran mandiri membebaskan pada siswa untuk menggunakan gaya belajar mereka sendiri, maju dalam kecepatan mereka sendiri, menggali minat–minat pribadi, dan mengembangkan bakat mereka dengan menggunakan kecerdasan majemuk yang mereka sukai.

Di dalam pembelajaran mandiri, para pelajar memiliki tipe seperti “mengatur diri mereka sendiri”—memerintah diri sendiri. Mereka mengambil keputusan sendiri dan menerima tanggung jawab untuk itu. Dengan kata lain siswa mengatur dirinya sendiri untuk, menyesuaikan tindakan mereka untuk mencapai kepentingan atau tujuan tertentu.

Jonhson (2009) menyebutkan bahwa pembelajaran mandiri itu adalah suatu proses belajar yang mengajak siswa melakukan tindakan mandiri yang melibatkan terkadang satu orang, biasanya satu kelompok. Tindakan mandiri ini dirancang untuk menghubungkan pengetahuan akademik dengan kehidupan siswa sehari-hari secara sedemikian rupa untuk mecapai tujuan yang bermakna.

C.      Pengetahuan dan Keterampilan yang Penting Untuk Pembelajaran Mandiri

Proses pembelajaran mandiri yang paling baik di uji dari dua perspektif yang berbeda, tetapi sangat berhubungan. Pertama, pembelajaran mandiri mengharuskan siswa untuk memiliki pengetahuan dan keahlian tertentu. Mereka harus tahu dan mampu melakukan hal-hal tertentu—mengambil tindakan, bertanya, membuat keputusan mandri, berpikir kreatif dan kritis, memiliki kesadaran dri, dan bisa bekerja sama. Kedua, pembelajaran mandiri mengharuskan siswa untuk melakukan hal-hal tersebut yaitu menggunakan pengetahuan dan keahlian—dalam urutan yang pasti, satu langkah secara logis mengikuti langkah yang lain.

Mengambil Tindakan

Hasil penelitian membuktikan bahwa kebanyakan dari siswa mengingat hal-hal terbaik dari yang dipelajari karena tindakan yang mereka ambil, dan mereka tau alasannya. Seseorang mengingat, misalnya, hitungan matematika yang siswa kuasai karena mereka harus memotong panjang pipa untuk membentuk suatu sudut tertentu, atau ketika seorang pelajar sains mengevaluasi kebijakan walikota untuk menambahkan fluoride pada air minum, maka mereka akan mengingat pengetahuan yang mereka pelajari. Belajar aktif yang disebut juga dengan belajar “langsung”, adalah belajar  yang membuat pelajaran melekat. Mencari dan mnghubungkan informasi secara aktif dari tempat kerja, masyarakat, maupun ruang kelas, lalu menggunakannya untuk alasan tertentu akan menyematkan informasi tersebut dalam ingatan (Souders, dalam Johnson, 2009).

Alasan mengapa kebanyakan orang gampang mengingat sebuah informasi yang mereka peroleh saat aktif secara fisik, misalkan waktu mereka mencari nomor telepon seorang pakar, menekan nomornya, berbicara, kemudian bertemu  dan mencatat beberapa pembicaraan serta melaporkan apa yang mereka temukan adalah sensasi fisik yang dapat mempengaruhi struktur otak. Siswa yang menghimpun, menyentuh, dan mengumpulkan pengetahuan memiliki otak yang berbeda dibandingkan dengan siswa yang hanya menonton, mendengar, dan menyerap informasi baik dari televisi, film, dan komputer atau perangkat lunak dan kuliah yang membosankan. Dengan kata lain, makanan untuk otak adalah dunia luar. Pembelajaran mandiri, yang menekankan pada tindakan, memberikan otak kesempatan untuk merasakan dunia luar dengan cara-cara yang tak terhitung. Partisipasi aktif seperti mengukur, berjalan, berbicara, menelepon,  mengatur benda-benda, memalu, melukis, mengangkat, menata, merekam dengan video, melempar bola, mencocokan bentuk, berkebun, merancang poster atau memimpin diskusi kelas memberi sinyal pada neuron dalam otak untuk berhubungan, membentuk dasar untuk berfikir abstrak.

Anak-anak yang berada di tingkat dasar khususnya memerlukan kesempatan untuk mengontrol benda-benda fisik seperti kapur tulis, krayon dan balok-balok. Mereka perlu menggambar, mewarnai, bernyanyi dan bertepuk tangan, berbicara dengan orang dewasa, dan bersosialisasi dengan teman sebaya. Aktivitas-aktivitas fisik seperti ini mengirimkan pesan ke otak yang menjadi dasar bagi pembentukan saraf yang kuat (Port, 1999, dalam Johnson,  2009). Mereka menciptakan banyak neuoron untuk mencatat dan menyimpan informasi dan keahlian baru. Belajar aktif juga memuaskan dorongan anak untuk melakukan pekerjaan penting dan untuk dianggap bersungguh-sungguh.

Kemampuan aktvitas fisik dalam membangun kepercayaan diri dan mengaktifkan pikiran digambarkan dalam program musik nasional yang luar biasa di Venezuela. Pemerintah Venezuela dan pendonor swasta memberi setiap anak di Venezuela termasuk mereka yang berada dalam pusat rehabilitasi anak nakal serta anak-anak jalanan kesempatan untuk belajar musik. Disebuah kota terpencil di daerah pedesaan penghasil ternak, anak-anak dari segala usia mempraktikan kemampuan bermusik mereka di seluruh kota, di setiap halaman dan lapangan terbuka. Orkestra tersebut tampil dalam sebuah bangunan bekas penjara. Di sebuah perkampungan kumuh di Caracas, anak-anak miskin dari segala usia bergabung dalam sebuah paduan suara. Kegiatan menyanyi ini membentuk kedisplinan dan membangun kepercayaan diri mereka. Maksud nyata dari program nasional ini adalah untuk membentuk bangsa pemusik. Keuntungan yang kurang tampak nyata, tetapi lebih penting dari bermain alat musik atau menyanyi dalam paduan suara adalah mengajarkan anak untuk menemukan kemampuan terpendamnya untuk menjadi cerdas, menguasai tantangan fisik dan mental yang sulit, serta menjadi manusia yang unggul.

Kegiatan langsung, pusat dari pembelajaran mandiri, mendorong proses belejar di sebuah sekolah di New Jersey, dimana siswa tingkat tiga mempelajari listrik membuat siurkuit listrik dengan menggunakan baterai dan bola lampu. Siswa tinggakat empat Pittsburg menguji fisika dengan jalan memetik senar, memukul potongan-potongan besi dengan panjang yang berbeda, dan membuat alat musik mereka sendiri. Contoh lainnya adalah siswa kelas enam sains di Florida mempelajari arkeologi dengan jalan mencari dan merekontruksi artefak-artefak yang terdiri dari sisa-sisa bangkai binatang yang tergilas di jalan yang diambil dan dikuburkan oeh guru mereka di hutan di belakang taman bermain. Dengan menggunakan kayu dan jala, anak itu membuat sebuah ayakan untuk menyaring tanah. Dengan menggunakan teknik penggalian arkeologis yang benar, mereka menggali sebuah lubang berukuran satu meter persegi sedalam satu meter. Kemudian, mereka menyaring tanah untuk menemukan “ tanaman” guru mereka, yaitu tulang belulang yang tercerai berai. Pada siswa kemudian memindahkan tulang belulang itu ke daerah bersih, menggelarnya, dan mencoba mereka ulang tulang-tulang tersebut. Mereka membuat diagram, mencatat nama setiap tulang, dan menjelaskan fungsi masing-masing. Para siswa sangat menikmati kelas itu dan dengan begurau mereka mengatakan bahwa mereka pasti akan teringat pada guru jika suatu saat mereka menemukan bangkai binatang yang tergeletak di jalanan.

Mengajukan Pertanyaan

Sebagaimana keberhasilan pembelajaran mandiri bergantung pada pengambilan tindakan, pola belajar ini juga tergantung pada pengetahuan dan keahlian yang menghasilkan perilaku dan proses berpikir mandiri. Untuk menjadi mandiri, baik bekerja sendiri maupun dalam kelompok, anak-anak harus mengajukan pertanyaan-perntanyaan menarik, membuat pilihan-pilihan yang bertanggung jawab, berfikir kritis dan kreatif, memiliki pengetahuan tentang diri sendiri, dan bekerja sama. Anak-anak tidak dengan otomatis mendapatkan kemampuan-kemampuan ini waktu mereka ikut serta dalam tugas-tugas dari pembelajaran mandiri. Gurulah yang menanamkan hal ini kepada mereka. Guru dapat membantu anak-anak sejak mereka mengawali perjalanan untuk menjadi pelajar yang aktif dan mandiri.

Untuk bisa berhasil, pelajar yang mandiri haruslah bisa mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menarik. Ketakjuban adalah cikal bakal kreativitas, Pertanyaan-pertanyaan yang tajam dapat menyempurnakan keyakinan dan menjelaskan berbagai kejadian. “ untuk bisa mengerti, siswa harus mencari sebuah makna” Untuk mencari sebuah makna, siswa harus mempunyai kesempatan untuk membentuk dan mengajukan pertanyaan (Book&Brook, 1993 dalam Johnson, 2009).

Para siswa kelas empat di Oklahoma yang tidak pernah melihat sapi ditanyai, “ Dari mana susu berasal?” pertanyaan ini memulai sebuah proyek untuk melacak perjalanan susu dari sapi hingga ke dapur. Kemudian anak-anak dari sekolah dasar Woodland ditanyai :” Bagaimana orang dapat mengadopsi seekor anjing dari sebuah tempat penampungan dan perawatan macam apa yang dibutuhkan anjing?” penemuan siswa ini menghasilkan wawancara dengan pegawai di tempat penampungan, mengundang seorang dokter hewan untuk datang  ke kelas, dan memberikan presentasi mengenai proses adopsi dan perawatan hewan terhadap seeokor anjing. Pertanyaan yang baik mendorong tugas bermakna dan penyelidikan mendalam yang membimbing siswa saat mereka mengumpulkan dan menilai informasi. Dengan bantuan seorang guru yang imajinatif, setiap anak dapat didorong untuk mengajukan berbagai pertanyaan yang bersentuhan dengan kehidupan mereka sekarang pada saat ini yang nantinya akan berdampak positif dalam kehidupan mereka selanjutnya.

Membuat Pilihan

Selain mengajukan pertanyaan, para siswa dengan pembelajaran mandiri membuat pilihan-pilihan cerdas. Di seluruh Jepang, para siswa tingkat satu bekerja sama untuk menemukan tujuan kelas masing-masing. Instruktur mereka  menyediakan dasar-dasar moral yang berasal dari buku pegangan nasional bagi guru-guru sekolah dasar. Berangkat dari kerangka kerja itu, anak-anak memilih tujuan tertentu untuk mengarahkan kelas mereka (Lewis& Tsuchida, 1998 dalam Johnson, 2009).

            Para siswa dengan pembelajaran mandiri tidak hanya memilih rancangan kerja, tetapi juga memutuskan bagaimana mereka harus berperan serta. Siswa memilih berpartisipasi dalam rencana kerja yang paling sesuai dengan minat pribadi dan bakat ereka. Mereka juga memilih gaya belajar yang paling tepat bagi mereka sambil mencari kaitan antara tugas sekolah dam kehidupan keseharian mereka. Para siswa dengan pembelajaran madiri mungkin lebih memilih mendapatkan informasi, misalnya dengan jalan mengamati, mendengarkan, membaca, dan berdiskusi. Mereka mungkin melakukan riset-riset dengan cara menonton video, mendengarkan kaset, membaca buku, atau mewawancarai orang-orang. Karena pembelajaran mandiri membebaskan anak untuk memilih cari belajar terbaik yang paling sesuai untuk mereka, dan karena pola ini menyesuaikan minat dan bakat mereka, maka pola belajar ini dapat membantu siswa untuk mencapai keunggulan. Pilhan-pilihan siswa membuat belajar menjadi menyenangkan sekaligus bermakna.

Membangun Kesadaran diri

Kesadaran diri akan didapatkan oleh para siswa di ruang kelas ketika mereka menemukan mafaat dari memahami kecerdasan emosional. Salah satu dari keuntungan dari pedoman ini adalah belajar mengendalikan emosi. Orang dapat mengendaliikan emosi, misalnya dengan mengarahkan pemikiran mereka ke objek lain, atau mencoba bersikap adil pada orang yang tingkah lakuknya mengesalkan mereka. Pengendalian emosi berasumsi bahwa kita menyadari perasaan kita pada saat-saat tertentu, yaitu pada kita sedang mengalami perasaan tersebut.

Kesadaran diri adalah kemampuan untuk merasakan perasaan saat perasaan tersebut muncul, adalah kemampuan khusus manusia. Kemampuan ini membuat kendali diri menjadi sesuatu yang mungkin. Kemampuan ini juga dapat mengilhami tindakan yang diambil. Jika misalnya kita menyadari bahwa suasana hati sedang jelek, kita dapat melakukan sesuatu untuk menghibur diri. Jika pengetahuan tentang diri menunjukan bahwa kita sangat mengigingkan kegembiraan dengan segera, kita dapat membandingkan keuntungan yang akan diperoleh jika kita menunda keberhasilan tersebut dan memutuskan langkah selanjutnya. Kedasadaran diri juga meliputi pengetahuan tentang keterbatasan kekuatan kita. Kalau kita menyadari bagaimana orang lain memperhatikan kita, mungkin kita dapat memperbaiki hubungan kita dengan mereka, yang juga meningkatkan kemampuan untuk bekerja sama dengan kelompok. Kerja sama dengan anggota kelompok tentunya akan berlangsung lebih baik antara yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi.

Kerja sama

Pada pelajaran mandiri siswa biasanya melakukan kerja sama walaupun dalam kelompok-kelompok kecil dan otonom. Kerja sama dipercaya dapat menghilangkan hambatan mental akibat terbatasnya pengalaman dan cara pandang yang sempit. Jadi akan lebih mudah untuk menemukan kekuatan dan kelemahan diri, belajar untuk menghargai orang lain, mendengarkan dengan pikiran terbuka, dan membangun persetujuan bersama. Dengan bekerja sama, para anggota kecil akan mampu mengatasi berbagai rintangan dan bertindak mandiri dengan penuh tanggung jawab, mengandalkan baka setiap anggota kelompok, mempercayai orang lain, mengeluarkan pendapat, dan mengambil keputusan.

Dengan mengingat manfaat dari kerja sama, tidaklah mengherankan jika banyak perusahaan di Amerika yang melibatkan karyawan mereka dalam pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan kerja sama. Lingkungan kerja telah begitu terspesialisasi sehingga para anggota kelompok, yang masing-masing cakap dalam bidang yang berbeda, perlu berunding bersama. Di pabrik-pabrik misalkan, kelompok produksi mendiskusikan cara-cara untuk meningkatkan efisiensi. Sebuah tim akan sukses jika bekerja sama karena bekerja sama adalah sesuatu yang alami dalam kehidupan ini. Seorang dokter yang juga ahli biologi ternama, Lewis Thomas (1975 dalam Johnson, 2009) mengatakan “ kebanyakan pengelompokan yag terjadi diantara makluk-makluk hidup yang kita kenal bentuknya adalah kerja sama, semacam simbiosa… kita bukanlah makluk soliter “. Setiap makluk adalah pengertian tertentu, saling berhubungan dan bergantung pada yang lain.

Kerja sama adalah sesuatu yang alami, kelompok dapat maju dengan baik. Setiap bagian kelompok saling berhubungan sedemikian rupa sehingga pengetahuan yang dipunyai seseorang akan menjadi ouput bagi yang lain. Jika setiap individu yang berbeda membangun hubungan dengan cara seperti ini, mereka membentuk suatu kesatuan sistem yang jauh lebih mumpuni dibandingkan jika seseorang bekerja sendirian. Sinergi seperti ini terbentuk dari suasana persahabatan, saling menghargai, kesabaran, dan kepercayaan. Kerjasama sama yang erat dalam suasana yang demikian tidaklah terjadi begitu saja tetapi harus diusahakan. Kerja sama yang erat lahir terutama dari komunikasi yang kuat antara para anggota kelompok.

Mungkin bentuk komunikasi paling efektif yang dapat dialami dalam sebuah kelompok adalah strategi yang konvensional yang dikenal sebagai dialog. Dialog adalah dasar dari bekerja sama. Dialog merujuk pada pertukaran pandangan yang jujur yang dilandasi perasaan kasih, penghargaan, dan kerendahan hati. Dialog—pembicaraan yang jujur dan ramah—membutuhkan kesadaran diri dan orang lain. Kita mempercayai anggota kelompok untuk memperluas pemahaman kita. Kebenaran memiliki kesempatan untuk muncul ke permukaan dalam suasana yang diciptakan oleh dialog. Para anggota kelompok mendengarkan ide-ide tanpa prasangka. Mereka mengakui bahwa asumsi mereka bisa saja salah dan pemikiran mereka mungkin cacat. Dengan bersatu dalam pencarian makna, para anggota kelompok berjuang untuk melampaui keterbatasan dari pemikiran pribadi, latar belakang pendidikan, dan perangai mereka.

Bekerja sama tidak datang dengan sendirinya diantara anak-anak, atau siapa saja. Belajar bekerja sama, yang melebihi cara otak manusia berfungsi, memungkinkan anak untuk mendengarkan suara anggota kelompok lain. Pola belajar ini juga membantu siswa untuk menemukan cara pandang mereka hanyalah satu diantara cara pandang yang lain. Melalui kerja sama, dan bukannya persaiangan atau kompetesi, anak-anak menyerap kebijaksanaan orang lain. Melalui kerja sama, mereka dapat menyemai toleransi dan perasaan mengasihi. Dengan bekerja sama dengan orang lain, mereka saling menukar pengalaman yang sempit dan pribadi yang sifatnya untuk mendapatkan konteks yang lebh luas berdasarkan pandangan tentang kenyataan yang lebih berkembang. Berbagai stategi untuk kerja kelompok telah ditulis secara luas. Aturan-aturan kerja kelompok berikut ini yang dilakukan dalam kelas matematika, menyarankan berbagai pilihan dan tanggung jawab  dalam menghadapi anggota kelompok:

  1. tetap fokus pada tugas kelompok
  2. bekerja secara kooperatif dengan para anggota kelompok lainnya
  3. mencapai keutusan kelompok untuk setiap masalah
  4. menyakinkan bahwa setiap orang dala kelompok memahami setiap solusi yang ada sebelum melangkah lebih jauh
  5. mendengarkan orang lain dengan seksama dan mencoba memanfaatkan ide-ide mereka
  6. berbagi kepemimpinan dalam kelompok
  7. memastikan setiap orang ikut berpartisipasi dan tidak ada salah seorang yang mendominasi kelompok
  8. bergiliran mencatat hasil-hasil yang telah dicapai kelompok.

Seperti ditunjukan oleh peraturan-peraturan ini, kerja sama menuntut adanya rasa hormat, kesabaran, dan penghargaan. Guru hendaklah membantu menanakan bahwa setiap anggota kelompok adalah berharga dan bahwa setiap orang dapat menyumbangkan sesuatu bagi kelompok.

D.    Proses Belajar Mandiri

Belajar mandiri adalah sebuah proses. Sebagaimana proses lainya, pola belajar ini mengikuti beberapa prosedur untuk bisa mencapai satu tujuan. Proses belajar mandri adalah suatu metode yang melibatkan siswa dalam tindakan-tidankan yang meliputi beberapa langkah, dan menghasilkan baik hasil yang tampak maupun yang tidak tampak. Langkah-langkah ini menggunakan berbagai keahlian yang telah di tuliskan sebelumnya, juga menggunakan pengetahuan akademik.

            Secara Umum, adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan siswa untuk dapat belajar mandiri yaitu:

Siswa Mandiri Menetapkan Tujuan

Siswa memilih, atau berpartisipasi dalam memilih, untuk bekerja demi sebuah tujuan penting, baik yang bermakna baginya ataupun orang lain. Para siswa tingkat sepuluh mungkin ingin mengembangkan sebuah cara untuk mengajar perkalian pada murid-murid sekolah dasar, atau siswa tingkat tiga mungkin ingin membuat poster tentang kecerdasan majemuk. Tentu saja, tujuan bukanlah akhir dari segalanya, Tujuan itu akan memberi kesempatan untuk menetapkan keahlian personal dan kademik ke dalam kehidupan sehari-hari. Saat siswa mencapai sebuah tujuan yang berarti dalam kehidupan sehari-hari, proses tersebut membantu mereka mencapai standar akademik yang tinggi.

Siswa Mandiri Membuat Rencana

Setelah membuat tujuan, hal penting berikutnya adalah membuat rencana yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Siswa menetapkan langkah-langkah untuk mencapai tujuan mereka. Merencanakan disini meliputi melihat jauh kedepan dan memutuskan bagaimana cara untuk berhasil. Rencana yang diputuskan siswa bergantung pada apakah mereka ingin menyelesaikan masalah, menentukan persoalan, atau menciptakan suatu proyek.

Rencana yang dibuat seseorang bergantung pada tujuannya dan kesemuanya membutuhkan pengambilan tindakan, mengajukan pertanyaan, membuat pilihan, mengumpulkan dan menganalisis informasi, serta berfikir kreatif dan kritis. Kemampuan untuk melakukan hal-hal tersebut memungkinkan keberhasilan pembelajaran mandiri. Dan dengan melakukan hal-hal itu pula, anak-anak akan terddik dengan matang yang pada akhirnya akan terbawa pada masa yang akan datang.

Siswa Mandiri Mengikuti Rencana dan Mengukur Kemajuan Diri

Dari semula, siswa tidak hanya menyadari tujuan mereka tetapi juga menyadari akan keahlian akademik yang harus mereka kembangkan serta kecakapan yang mereka peroleh dalam proses belajar mandiri. Selama proses tersebut, peserta terus-menerus mengevaluasi seberapa baik rencana mareka berjalan. Mereka memperbaiki kesalahan dan membuat berbagai perubahan yang perlu. Sebagai tambahan, mareka berkaca pada pola belajar mereka sendiri. Pengetahuan akademik apa yang mareka dapatkan? kecakapan penting apa yang mereka kuasai.

Siswa Mandiri Membuahkan Hasil Akhir

Siswa mendapatkan suatu hasil akhir, yang tampak maupun tidak, yang bermakna bagi mareka. Ada ribuan cara untuk menampilkan hasil-hasil pembelajaran mandiri. Yang paling jelas adalah, sebuah kelompok mungkin menghasilkan portofolio dan memberikan informasi menggunakan grafik atau berbagai cara lainnya. Hasilnya memuaskan tujuan yang nyata dan memiliki arti bagi setiap pengalaman siswa, juga bagi kehidupan pada siswa tersebut baik dalam keluarga, sekolah, kelompok, maupun masyarakat.

Siswa Mandiri Menunjukan Kecakapan Melalui Penilaian yang Autentik

Para siswa menunjukan kecakapan terutama dalam tugas-tugas yang mandiri dan autentik. Dengan menggunakan standar nilai dan petunjuk penilaian untuk menilai portofolio, jurnal, presentasi, dan penampilan siswa, guru dapat memperkirakan tingkat pencapaian akademik mereka. Guru memperkirakan seberapa banyak pengetahuan akademik yang diperoleh siswa, dan apa yang mampu mereka lakukan. Sebagai tambahan, penilaian autentik menunjukan pada guru sedalam apakah proses belajar yang diperoleh siswa dari pembelajaran mandiri tersebut. Proses belajar mandiri membuat para siswa, sebagaimana yang ditunjukan dari hasil yang diperoleh, menjadi mandiri, menjadi seorang pemikir cerdas yang menggunakan pertimbangan sembari berbuat sesuatu untuk membentuk lingkungan kehidupan mereka.

Proses belajar mandiri adalah proses belajar kaya, bervariasi, dan menantang. Keefktivannya bergantung tidak hanya pada pengetahuan dan dedikasi siswa, tetapi juga dedikasi dan keahlian guru.

E.     Kesimpulan: Kekuatan Pembelajaran Mandiri Untuk Melakukan Perubahan

Dale Parnell menyakinkan kita bahwa pembelajaran mandiri dapat menjadikan siswa berhasil. Dia menunjukan bukti-bukti kuat tentang kemajuan siswa dalam pembelajaran ini (Parnell, 2001, dalam Johnson, 2009). Pembelajaran mandiri bisa berhasil karena seperti yang kita lihat, adalah hal yang alami bagi anak untuk bertindak secara mandiri dan mengambil keputusan sendiri. Juga hal yang alami bagi anak untuk menemukan hubungan antara ide-ide baru dan situasi mereka sendiri. Semua manusia, secara terus menerus sadar akan lingkungannya, dan menyesuaikan pemikiran serta tindakan mereka untuk menanggapinya.

Dibuat berdasarkan prinsip pengaturan diri, setiap makluk hidup adalah mandiri dan mengatur diri sendiri, oleh karena itu, setiap makluk memiliki kesadaran. Kesadaran inilah, sebagai identitas kesadaran yang unik, yang dapat menyebabkan sebuah sel tunggal menyadari adanya gangguan alam dalam lingkungannya, dan bisa memutuskan apakah akan bereaksi terhadapnya atau tidak. Jika sel itu bereaksi, hasilnya bisa jadi sebuah perbahan yang terjadi sedkit demi sedikit dalam struktur fisik sel tersebut. Kesadaran inilah yang menyebabkan makluk hidup untuk memperhatikan dan memberikan respon terhadap lingkungannya. Sebagai makluk hidup, kita menghargai lingkungan kita—hubungan keluarga, pekerjaan, tekanan dari teman sebaya dan sekolah-dan kita membuat pilihan yang menggambarkan potensi diri kita. Dengan kata lain, kita memilih ingin menjadi apa kita nanti. Kita mungkin memilih bereaksi degan cara-cara yang mendorong pertumbuhan dan perkembangan, atau bisa juga tidak.

            Pembelajaran mandiri memberikan siswa kesempatan yang luar biasa untuk mempertajam kesadaran mereka akan lingkungan mereka. Pembelajaran mandiri memungkinkan siswa untuk membuat pilihan-pilihan positif bagaimana mereka akan mengatasi kegelisahan dan kekacauan dalam kehidupan sehari-hari. Pola ini memungkinkan siswa bertindak berdasarkan inisiatif mereka sendiri untuk membentuk lingkungan. Dengan jalan demikian, pada siswa mandiri mengembangkan potensi mereka. Mereka menemukan minat-minat baru dan bakat-bakat terpendam mereka sembari berkembang mencapai keunggulan akademik. Mereka juga menemukan bahwa mereka mampu mempengaruhi lingkungan mereka. Melalui proses belajar mandiri, mereka belajar bahwa mereka bisa menjadi pencipta bersama dalam dunia tempat tinggal mereka. Mereka menyadari bahwa merupakan tanggung jawab mereka juga untuk menciptakan kembali sebuah dunia dimana setiap makluk hidup akan betah di dalamnya.

 DAFTAR PUSTAKA

Johnson, Elani.B. 2009. Contextual Teaching and Learning (terjemahan). Jakarta: Mizan

KEBAHAGIAAN TIDAK HANYA DIBELI DENGAN UANG

Kebahagiaan tentu saja tidak hanya dibeli dengan uang. Salah satu contoh kasus adalah relawan NGO yang bergerak di bidang pemberdayaan zakat umat yang disalurkan untuk peningkatan kualitas hidup masyarakat dan bantuan bencana kepada yang memerlukan. Tidak ada gaji untuk relawan ini, materi yang mereka dapatkan terkadang adalah sebuah penghargaan dari lembaga karena partisipasi mereka dalam kegiatan pemberdayaan umat. Namun, Mereka tetap merasa bahagia dengan status relawan ini, karena bukan gaji atau materi yang mereka cari, namun semangat membantu sesama dan kekeluargaan yang terbentuk dari organisasi relawan inilah yang pada akhirnya membuat mereka terus bertahan hingga sekarang. Kisah lainnya adalah tentang seorang bidan yang mengabdikan dirinya di suku pedalaman yaitu badui, yang mana ia harus menempuh perjalanan hampir setengah hari dengan jalan kaki untuk memeriksa ibu-ibu hamil disana. Bidan ini mengatakan di Acara Kick Andy bahwa mengabdi kepada masyarakat inilah yang membuat hidupnya lebih berarti.  Dari dua kasus ini, dapat disimpulkan bahwa tidak hanya uang yang membuat seseorang bahagia di dalam hidupnya tetapi adanya perasaan bermanfaat bagi orang lain dan afliasi yang kuat antar sesama di dalam organisasi yang mempunyai cita-cita yang sama juga mampu mendatangkan kebahagiaan.

Hal ini sesuai dengan tulisan Frank, H (dalam Huppert et all, 2006) seseorang yang memiliki harta atau fasilitas yang memadai dalam hidupnya belum tentu merasa bahagia dan sejahtera. Perbandingan Riset di Jepang tahun 1960 dan 1987 yang dikukur dari skala kebahagiaan membuktikan bahwa kenaikan GNP perkapita negara tersebut tidak mempengaruhi level kebahagiaan penduduknya.

Myers (1999, dalam Huppert et all, 2006) menjelaskan bahwa seseorang yang mempunyai teman dekat untuk berafiliasi secara signifikan lebih bahagia dibandingkan yang tidak dan memiliki hidup yang lebih panjang. Hal ini sesuai dengan kasus relawan di NGO tersebut, dimana bukan materi saja yang membuat mereka bahagia akan sesuatu tetapi kemampuan membina hubungan positif dengan orang lain ternyata lebih mendatangkan kebahagiaan. Begitu juga dengan bidan yang mengabdikan dirinya untuk membantu masyarakat suku badui, dia mendapatkan pemaknaan dari pekerjaannya yang membuat hidup lebih bermakna. Martin (2007) menjelaskan dengan seseorang merasa bermakna maka ia akan puas dengan hidupnya, merasa bahagia dan sejahtera.

Penelitian tentang kebahagiaan terus berkembang. Hasil penelitian dari Crossley dan Langdridge  di North England tentang sumber-sumber kebahagiaan membuktikan bahwa laki-laki mendapatkan kebahagiaanya dari aktivitas seksual, olah raga dan kehidupan sosial yang bagus. Sedangkan perempuan mendapatkan kebahagiannya dari memiliki keluarga yang dekat dan saling menyayangi dan mampu menolong sesama. Penelitian lain untuk membuktikan kebahagiaan tidak hanya berkaitan dengan uang adalah tentang permainan Loterei di New York, yang mana pertisipan yang awalnya mendapatkan hadiah yang begitu besar merasakan euphoria pada minggu-minggu awal keberuntungannya, namun setelah dilihat beberapa tahun kemudian kebanyakan dari mereka merasa tidak bahagia dengan hidupnya, bahkan ada yang merasa lebih tidak bahagia dibandingkan sebelumnya (Brickman et al, 1978 dalam Huppert et al, 2006). Selain itu Argyle & Crossland (1987 dalam Francis, et all, 2003) menyatakan bahwa kebahagiaan itu adalah suatu kepuasan hidup pada satu periode tertentu, sehingga bisa jadi yang menjadi indikator kebahagiaan seseorang akan terus berubah sepanjang bertambahnya usia seseorang.

Sedangkan penelitian yang dilakukan kepada 203 orang Korea dan 200 orang Canada tentang inikator kebahagiaan yang mereka miliki, hasilnya adalah kedua kelompok yang memiliki nilai budaya yang berbeda ini hampir memiliki indikator kebahagian yang sama yaitu terkait dengan keluarga, hubungan yang positif dengan orang lain, keuangan, autonomi, agara, tujuan hidup, bebas dari stress, sehat, pengetahan, kreativitas, dan berbagi dengan orang lain (Lee et all, 1999)

Dari beberapa kasus diatas dan beberapa hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa indikator terciptanya kebahagiaan itu adalah sesuat aspek yang menyeluruh dan kita tidak bisa memandangnya dari satu sisi saja seperti materi, apalagi jika mengatakan bahwa kebahagiaan bisa dibeli dengan uang. Banyak aspek-aspek lainnya yang bisa membuat seseorang hidup bahagia.

  Daftar Rujukan

Crossley, Adam & Langdridge, Darren. (2005). Perceived Sources of  Happiness: a Network Analysis. Journal of Happiness Studies (2005) 6:107–135

 Francis, Leslie J. Ziebertz, Hans-George & Lewis, Christopher Alan. (2003).  The Relationship Between Religion and Happiness Among German Students. Pastoral Psychology, Vol. 51, No. 4, March 2003

 Huppert, F A, Baylis, N & Keverve, B. (2006). The Science of Well-Being. England: Oxford University Press

 Lee, Dong Yul.  Hee Park, Sung. Uhlemann, Max R & Patsula, Philip. (1999). What Makes You Happy?: A Comparison of Self-Reported Criteria of Happiness Between Two Cultures. Social indicators research 50: 351–362, 1999.

 Martin, W. Mike. (2007) Paradoxes of happiness. Journal Happiness Study  9:171–184

Rumah Kue… Satu Sisi Dalam Pemberdayaan Masayarakat

Ada yang mengatakan bahwa “ pemberdayaan masyarakat adalah tidak hanya soal ilmu..tapi soal hati”, kadang-kadang segala sesuatu yang rumit yang telah kita pelajari menjadi lebih sederhana setelah di lapangan. Tidak menyangka di kota yang seru ini, aku juga berkutik dengan pemberdayaan masyarakat, sebuah konsep baru yang luar biasa menyenangkan, hampir setara dengan jurnal-jurnal ilmiah yang kadang agak membosankan… Karena apa… karena ini adalah satu kegiatan untuk menghadapi manusia, dan dinamika manusia sekali lagi sangat menyenangkan.

Belakangan ini sedang berurusan dengan  cake house… mengingat tingkatan  house  jauh lebih tinggi dari pada  hanya sekedar home dalam bahasa… harapannya mungkin suatu saat ini benar-benar bisa menjadi real life kedua bagi orang-orang yang di dalamnya, walaupun bentuknya sekarang masih belajar merangkak dan mencari fondasi yang kokoh untuk sebuah  house, yang berarti tidak hanya sekedar pilihan kayu yang sesuai, material lain yang indah tetapi juga orang-orang di dalamnya yang membuat ini sebagai rumah. Ha… Bermain filosofi pada tingkatan pikiran di kepalaku.

Aku diajarkan Pemberdayaan  adalah help the people to help themselves… ” yang konsepnya adalah partisipatif… aku sendiri ketika menyampaikan ini dalam suatu kesempatan materi di beberapa orang serasa mengantuk… Konsep ideal itu memang menjemukan ya…. Aku kadang juga terpenjara dengan kata-kata ini… menolong diri sendiri kadang-kadang berubah menjadi ditolong fasilitator atau pendamping…,karena lebih praktis, lebih cepat selesai, gak pake memotivasi, dan gak pake ribet… karena ternyata memberi  kail dan membuat mereka menggunakannya jauh lebih rumit dari pada memberi ikan, dimasak dan langsung dicicipi… Tapi itulah konsep pemberdayaan yang sebenarnyakan…memberi kail bukan ikan… dan Itu butuh waktu, butuh konsistensi, komitmen, dan kesabaran. Kadang kala dikejar-kejar laporan dan jenuh dengan rutinitas membuat perlahan-lahan idealism menjadi terkikis.. Begitulah zona pemberdayaan, membuat orang-orang yang punya hati di dalamnya lama-lama menjadi mandul karena jengah dengan keterbatasan pilihan…

Ah… tidak juga…Karena akhir-akhir ini aku menemui banyak orang pemberdaya yang bekerja dengan hati dan ilmu, tidak lekam oleh ketidakoptomisan dan selalu bisa berdiri ditengah banyak kepentingan.  Kadang kala justru mereka adalah pahlawan yang terlupakan…akar rumput yang berjuang untuk membuat keadaan sedikit lebih baik dengan caranya sendiri.

AKu kemudian berfikir…aihhh…ribet sekali ternyata berurusan dengan masyarakat ini, walaupun sensasinya sangat menyenangkan… mendapat banyak cerita soal hidup dan masalah-masalah keseharian yang  sederhana dan membuat kita terus diingkatkan bahwa hidup itu akan sangat indah jika ada “ syukur dan sabar di dalamnya”, Tapi lama-lama tidak juga… karena semakin lama akan pede-pede saja ternyata… Benarlah kata orang-orang jaman dulu “ belajarlah dari pengalaman”,maka kamu akan banyak cara menghadapi sesuatu.

Kembali ke kue… Kue itu sangat sedap, enak dan nikmat… Alasan tersembunyi kenapa aku mau jadi pendamping di kue… karena aku sangat suka kue… Campuran coklat batangan, tepung, dan metega, ditambah adonan telur ternyata bisa jadi bronis kukus yang lezat, potongan sayur yang gak kusuka itu jika dalam konsep kue bisa menjadi martabak yang bisa kunikmati, dan variasi sederhana dari beberapa campuran lainnya dalam waktu 15 menit bisa menjadi kue sus yang mantab… hoohhh… kue… pasti keren jadi tukang kue yak.. membuat, mencicipi sekaligus menjualnya.. well, itu sisi lain menyenangkan… ibu-ibu yang ada di rumah kue ini adalah ibu yang unik… definisi unik adalah karena aku belum pernah menemuinya (haaa…. Ngasal..). Memang belum seideal yang ada di konsep, karena ternyata pemberdayan dalam seting masyarakat itu cukup sederhana… tidak membiarkan “mereka tergantung dan partisipatif”, hanya itu saja pikir ku sekarang…. Membuat setiap hari rabu di sore itu adalah hari mereka, dapur dengan perlengkapan yang disediakan itu adalah milik mereka.. mereka yang bekerja, menyiapkan dan membereskan sampai selesai, karena merekalah yang punya kelompok…bukan aku, bukan lembaga, bukan kepentingan… Mungkin suatu saat perlahan-lahan, dari mencuci piring sendiri akan naik menjadi mengelola kelompoknya sendiri di rumah…bukan di tempat yang sudah disediakan oleh lembaga.. dan mereka bisa menentukan mau seperti apa kelompok mereka… Semoga!!!

Hei… jangan sok tau deh soal masyarakat, jangan sok bawa ideologi perubahan ke pada mereka tanpa mengenal bagaimana pola-pola dan budaya mereka.. Perubahan itu tidak sporadis atau revolosi yang pada akhirnya bikin kita serasa bernafas senin kamis setelah itu… Perubahan itu membutuhkan “Champion”  kata fasilitator keren yang pernah aku kenal. Champion  berarti kita menemukan orang-orang yang akhirnya sadar untuk maju dan komitmen terhadap perbaikan, mereka yang tidak hanya mementingkan diri sendiri, dan yakin bahwa dengan bersama-sama, perubahan itu akan cepat terwujud. Kenapa harus bangga jika suatu masyarakat terus terperangkap dengan bantuan orang lain. Kenapa harus bangga jika segala sesuatu, sampai urusan sepele harus fasilitator atau pendamping yang mengerjakan, dan kenapa harus bangga jika setiap bulannya dana yang dihabiskan untuk memberdayaakan satu kelompok justru semakin banyak tanpa runtut yang jelas, atau INDIKATOR KEBERHASILAN hanya diukur dari kuantitas bukan KUALITAS…Tetapi berbanggalah jika mereka bisa berkata… aku berhasil karena usaha ku sendiri, dan pihak luar hanya memfasilitasi saja, aku mandiri karena kekompakan tim, dan aku maju karena aku sadar bahwa aku harus maju dan bergerak… Jadi kalau difikir-fikir pemberdaya itu seperti pahlawan yang akhirnya terlupakan oleh manusia… tapi apalah arti penghargaan, jika ada jauh yang lebih maha tinggi untuk membalasnya.

Suatu ketika aku pernah berkata kepada hatiku…” tolong… , apa yang mereka bicarakan”, karena aku tidak mengerti bahasa jawa… ngerti si dikit… tapi banyak gak nyambungnya kadang, hingga akhirnya jujur sama ibu-ibunya kalau aku gak bisa bahasa jawa… Catatan sederhana ku adalah ini bisa menjadi kendala walaupun pada akhirnya bisa sama-sama saling memahami, tapi mungkin pemberdaya yang baik adalah mereka yang membumi dan masuk sesuai dengan adat dan tata cara mereka yang ingin diberdayakan, walaupun membawa misi-misi yang ingin diperjuangkan.  Karena hal pertama dari sebuah perubahan adalah adanya penerimaan bahwa perubahan itu memang perlu, lha… gimana mau menyampaikan perubahan kalau sama-sama gak nyambung ya… (haaa…. Masih berusaha… semoga saja ya).

            Kembali ke rumah kue…..kemaren, kelompok kue kami mendapat orderan pesanan kue… haihh…. Seru sekali diskusinya, pesannya masih sedikit si… 30 kotak, tapi ini adalah ajang pembuktian “ kata salah satu ibu dalam kelompok”, semoga nanti bisa bertambah. Nama kelompok kami adalah rumah kue kemangi (keren kan… alasannya sederhana… biar segar saja kata ibu-ibunya).  Kue yang dipelajari kelompok ini sudah beberapa macam, hikmahnya setiap minggu aku nyoba menu kue yang berbeda dan aku jadi paham kalau untuk tepung saja begitu banyak jenisnya (hah..parah..). Kelompok ini memutuskan untuk menggarap bersama-sama pesananan di Empowering center di hari rabu dan kamis minggu depan. Hampir setengah jam kelompok ini membahas kue apa saja yang akan dimasukan ke dalam kotak… satu kotak dihargai 5 ribu dan dari hitung-hitungngan RAB, lumayanlah bisa menghasilkan keuntungan yang bisa disimpan buat kelompok…. (heee…. Semangat Ibu-Ibu…..dan sekali lagi, berada bersama ibu-ibu ini sangat menyenangkan…).

METODE STORYTELLING TERHADAP KECERDASAN VERBAL ANAK PRA SEKOLAH

Teori tentang kecerdasan terus berkembang dan banyak para ahli yang mempunyai definisi yang berbeda-beda tentang kecerdasan. Salah satunya adalah Gadner, dimana paling tidak ia membagi kecerdasan menjadi delapan aspek yaitu kecerdasan verbal, logis-matematis, kinestetik, visual-spasial, musik, interpersonal, intrapersonal dan naturalis (Gadner, 2003). Dengan kata lain, kecerdasan bersifat majemuk yang mana setiap orang pasti mempunyai satu atau lebih dari kecerdasan-kecerdasan tersebut.

Salah satu kecerdasan yang pasti dimiliki manusia menurut Gadner adalah kecerdasan verbal, yang merupakan kemampuan untuk berfikir dengan kata dan menggunakan bahasa untuk mengekspresikan makna (Chambel, Chambel & Dicknson, 2006). Anak yang memiliki kecerdasan verbal yang baik mempunyai minat yang besar terhadap kata, mereka cenderung menikmati mendengar dan bermain dengan kata, menyukai buku dan menikmati hal tersebut, dan memiliki memori yang baik dan cepat  serta mudah belajar soal kata (Rettig, 2005).

Karakteristik kecerdasan verbal yaitu: (1) mampu mendengar dan merespon setiap suara, ritme, warna, dan berbagai ucapan kata; (2) menirukan suara, bahasa, membaca, dan menulis lebih dari orang lainnya; (3) belajar melalui menyimak, membaca, menulis, dan diskusi; (4) menyimak secara efektif, memahami, menguraikan, menafsirkan dan mengingat apa yang telah diucapkan; (5) membaca  secara efektif, memahami, meringkas, menafsirkan, atau menerangkan dan mengingat apa yang telah dibaca; (6) berbicara secara efektif kepada berbagai pendengar, berbagai tujuan, dan mengetahui cara berbicara secara sederhana, fasih, persuasif atau bergairah pada waktu-waktu yang tepat; (7) menulis secara efektif, memahami dan menerapkan aturan-aturan tata bahasa, ejaan, tanda baca, dan menggunakan kosa kata yang efektif; (8) memperlihatkan kemampuan untuk memperlajari bahasa lainnya; (9) menggunakan keterampilan menyimak, berbicara, menulis dan membaca untuk mengingat, berkomunikasi, berdiskusi, menjelaskan, mempengaruhi, menciptakan pengetahuan, menyusun makna, dan menggambarkan bahasa itu sendiri; (10) berusaha untuk meningkatkan pemakaian bahasanya sendiri; (11) menunjukan minat dalam jurnalisme, puisi, bercerita, debat, berbicara, menulis, atau menyunting; (12) dan menciptakan bentuk-bentuk bahasa baru atau karya tulis orisinil atau komunikasi oral (Chambel, Chambel & Dicknson, 2006).

Kecerdasan verbal adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan seseorang, merupakan media efektif untuk berkomunikasi dengan orang lain sehingga seseorang pasti mempunyai kecerdasan verbal walaupun dalam tingkatan yang berbeda-beda. Kecerdasan adalah sesuatu yang bisa ditingkatkan, begitu juga dengan kecerdasan verbal, perlakuaan-perlakukan tertentu kepada seseorang dipercaya mampu mengembangkan kecerdasan itu sendiri. Hasil penelitian menyebutkan bahwa lingkungan juga memainkan peranan penting dalam kecerdasan seseorang (Ceci dkk, 1997; Okagaki, 2000; Stenberg & Grigorenko, 2001; Williams & Stenberg, 2002 dalam Santrock, 2007). Hal ini berarti memperkaya lingkungan anak dapat meningkatkan kecerdasan anak (Santrock, 2007). Walaupun beberapa tokoh kecerdasan lainnya seperti Jensen, Hermstein and Eysenck mengatakan bahwa kecerdasan adalah sesuatu yang diwarisi atau bawaan sehingga peran lingkungan untuk meningkatkan kecerdasan adalah sesuatu yang minimal (Nichols, 1978).

Dukungan riset bahwa kecerdasan dapat ditingkatkan dapat dilihat dari penelitian Craig Ramey (1988 dalam Santrock, 2007) yang menemukan bahwa masa pendidikan awal yang berkualitas tinggi (sampai usia lima tahun) secara signifikan akan meningkatkan kecerdasan anak dari keluarga miskin. Efek positif dari intervensi awal ini masih tampak dalam kecerdasan dan prestasi dari murid ketika mereka berusia 13 tahun dan 21 tahun (Cambell, dkk., 2001; Campbell & Ramey, 1994; Ramey, Ramey & Lanzi, 2001 dalam Santrock, 2007). Selain itu, hasil riset Mevarech dan Kramarskir (1997, 2003) menjelaskan bahwa siswa yang dilatih untuk merumuskan dan menjawab pertanyaan metakognitf dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap kecerdasan, prestasi matematika, dan kemampuan menjelaskan penalarannya terhadap jawaban-jawaban tugasnya. Bukti lain bahwa kecerdasan dapat ditingkatkan adalah studi tentang efek sekolah terhadap kecerdasan. Efek terbesar muncul ketika sekelompok besar anak dijauhkan dari pendidikan formal selama periode tertentu. Hasilnya menyebabkan kecerdasan mereka mengalami penurunan. Dalam sebuah studi, dilakukan penelitian terhadap fungsi intelektual dari anak-anak keturunan India di Afrika Selatan, yang masa sekolahnya ditunda empat tahun karena tidak ada guru. Dibandingkan dengan anak-anak di desa terdekat yang punya guru, anak-anak India yang tertunda itu mengalami penurunan IQ sebanyak lima point setiap tahunnya (Ceci & Gilstrap, 2000; Christian, Bachnan & Morrison, 2001 dalam Santrock, 2007).

Penelitian lain tentang kecerdasan majemuk berdasarkan teori Gadner adalah penggunaan metode pembelajaran kooperatif pada siswa SMP Nasional KPS di Balikpapan, hasil penelitian menunjukan bahwa dengan model pembelajaran kooperatif maka kecerdasan majemuk siswa menjadi meningkat (Handayani, 2007).

Terkait dengan kecerdasan bahasa, hasil penilitian mengatakan bahwa lingkungan memberikan peranan yang besar terhadap perkembangan kecerdasan verbal terutama dalam penguasaan kosa kata (Tamis-Lemonda, Borstein & Baumwell, 2001 dalam Santrock, 2007). Misalnya, dalam salah satu penelitian, saat anak berusia tiga tahun, anak yang tinggal dalam keluarga miskin menunjukan kekurangan kosa kata jika dibandingkan dengan anak dari keluarga menengah ke atas, dan defisit ini terus tampak saat mereka masuk sekolah pada usia enam tahun (Farkas, 2001 dalam Santrok, 2007). Ini terjadi dikarenakan kurangnya stimulus lingkungan sehingga kecerdasannya tidak berkembang. Oleh karena itulah, dari beberapa riset yang telah ada dapat disimpulkan bahwa kecerdasan, termasuk kecerdasan verbal dapat ditingkatkan melalui perlakuan-perlakuan yang efektif dari lingkungannya.

Meningkatkan Kecerdasan Bahasa Dengan Metode Stroytelling Pada Anak-anak Pra Sekolah

Intervensi untuk meningkatkan kecerdasan bahasa anak haruslah memperhatikan: (1) bahasa siswa sebagai titik awal pengajaran; (2) memberikan kemajuan perkembangan keterampilan berbahasa secara alami, bukannya melalui uturan-urutan yang ditentukan; (3) membangun keterampilan yang menambah pengajaran berbahasa secara alami, bukannya melalui urutan-urutan yang ditentukan; (4) menghubungkan bahasa dan kesusastraan secara organis; (5) menggabungkan berbagai komponen seni berbahasa, membaca, menulis, menyimak, dan berbicara; (6) menggunakan pengalaman anak-anak dengan kehidupan sebagai tempat masuk untuk membaca dan menulis; (7) dan memperlakukan bahasa sebagai satu keseluruhan, bukannya membagi pengajaran menjadi komponen-komponen keterampilan yang tersendiri (Chambel, Chambel & Dicknson, 2006).

Salah satu metode yang tepat menurut kriteria di atas untuk bisa meningkatkan kecerdasan verbal anak adalah dengan metode storytelling atau bercerita. Metode ini dapat mewadahi karakteristik anak yang memiliki daya imajinasi dan fantasi yang tinggi. Cerita pada dasarnya memiliki struktur kata dan bahasa yang lengkap serta menyeluruh yang mana di dalamnya sudah terdapat sistem aturan bahasa yang mencakup fonologi (sistem suara), morfologi (aturan untuk mengkombinasikan unit makna minimal), sintaksis (aturan membuat kalimat), semantik (sistem makna), dan pragmatis (aturan penggunaan dalam setting sosial) (Santrock, 2007). Diharapkan dengan storytelling anak makin mampu menghasilkan semua suara bahasa, mengenali kata dan bahkan secara perlahan mampu menghasilkan serangkaian kongsonan yang kompleks atau minimal dengan metode bercerita, perbendaharaan kata anak menjadi bertambah. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa usia pra sekolah adalah usia emas untuk anak dalam menguasai kata. Dimana pada usia dua setengah tahun anak hanya memiliki dua atau tiga ratus kosa kata, nanun pada usia hingga enam tahun, ia bisa menguasai ribuan kata. (Montesori, 2008).

Paley dan rekan menemukan bahwa keuntungan dari storytelling antara lain (1) membantu siswa mengenalkan pada proses dan tujuan dari menulis, (2) mempertimbangkan ekspresi kreatif dari ide-ide dan perasaan, (3) meningkatkan kesempatan untuk membangun kemampuan sosial, dan (4)  mempertimbangkan siswa untuk bekerja dengan ide-ide dan berbagai pengalaman (Cooper 1993; Paley, 1990 dalam Wright, Bacigalupa, Black & Burton, 2008). Selain itu manfaat lain dari storytelling menurut Vivian Paley’s (1988, 1990, 2004 dalam Wright, Bacigalupa, Black & Burton, 2008) adalah dengan bercerita dapat menolong guru untuk lebih memahami siswa yang dia ajar, lebih efektif pada sosial anak dan kebutuhan emosionalnya, serta menciptakan kurikulum yang lebih responsif terhadap kebutuhan dan minat anak. Bahkan Lenox (2000) menjelaskan efek lain dari storytelling adalah merupakan alat yang sangat kuat untuk meningkatkan pemahaman dari diri anak dan orang lain disekitarnya.

Sebuah penelitian untuk menguji efek storytelling dan story reading pada bahasa oral yang komplek dan story comprehension pada anak usia 3-5 tahun membuktikan bahwa terdapat efek positif yang besar terhadap bahasa oral anak (Isbell, Sobol, Lindauer, & Lowrance, 2004). Selain itu Ford (2007) menjelaskan pengalamannya belajar bersama muri-murid di The Pittsburgh Public School District dengan metode storytelling yang disesuaikan dengan karakteristik anak, dimana murid-muridnya memiliki kekurangan dalam hal hal matematika, kemampuan membaca, dan menulis, hasilnya murid-murid tersebut dapat meningkatkan motivasi dan performance kinerjanya.

Ketika cerita dibacakan, terkadang kata-kata yang diucapkan tidak hanya diingat namun juga serasa dilukiskan kembali secara spontan, terdapat semangat performance, yang dibantu oleh partisipasi dan interaksi audien (Isbell, Sobol, Lindauer, & Lowrance, 2004). Dimana Roney (1996 dalam Isbell, Sobol, Lindauer, & Lowrance, 2004) menjelaskan bahwa di dalam storytelling aspek yang harus diperhatikan agar berjalan dengan efektif adalah mencoba kreatif dan memiliki komunikasi dua arah (storyteller dan pendengar). Selain itu kontak mata dengan pendengarpun sangat penting untuk diperhatikan, jika anak melihat kontak mata storyteller, dimana mereka saling melakukan tatapan dalam interaksi, pada akhirnya akan membuat pengalaman menjadi lebih personal dari pada storyteller hanya membaca buku cerita (Zeece, 1997; Malo & Bullasrd 2000 dalam Isbell, Sobol, Lindauer, & Lowrance, 2004). Storytelling yang digunakan untuk meningkatkan kecerdasan anak juga harus disesuaikan dengan level kognitif anak. Dimana pada usia pra sekolah, level kognitif mereka berada pada operasional kongrit (Piaget dalam Santrock, 2007) Sehingga cerita yang diberikan haruslah bersifat kongrit dan tidak membutuhkan daya penalaran yang tinggi.

Colon-Vila (1997 dalam  Isbell, Sobol, Lindauer, & Lowrance, 2004) setuju bahwa storytelling  dapat membantu mengajari siswa untuk mendengar, membantu membangun keterampilan komunikasi oral dan tulisan, dan mengembangkan pemahaman dari cerita skema. Farrel dan Nessell (1982 dalam  Isbell, Sobol, Lindauer, & Lowrance, 2004) menjelaskan bahwa storytelling membantu mengembangkan kelancaran, menambah perbendaharaan kata, dan membantu mengingat kata. Selain itu Marrow menyakini bahwa storytelling adalah salah satu cara untuk mengembangkan bahasa di kelas awal masa kanak-kanak.

DAFTAR RUJUKAN

Campbell, L,. Campbell, B,.& Dickinson, D. (2006) Metode Praktis Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligences (terjemahan). Jakarta: Intuisi Pers

Ford, Tawnya. (2007). The Power of Story in Building Character and Community. http://academic.evergreen.edu/c/chambreb/Power%20of%20Story%20Reader%2007.pdf

Gadner, Howard. (2003). Multiple Intelligences. Batam: Interaksara

Handayani, Sugeng. (2007). Penerapan Pembelajaran Kooperatif Sebagai Upaya Untuk Membangkitkan Multiple Intelligences Siswa. Jurnal Pendidikan Inovatif Volume 3, No 1, September 2007

Isbell,R., Sobol,J., Lindauer,L.,&  Lowrance, A.  (2004). The Effects of Storytelling and Story Reading on the Oral Language Complexity and Story Comprehension of Young Children. Early Childhood Education Journal, Vol. 32, No. 3, December 2004

Kramarski, Bracha & Mevarech, Zemira R. (2003). Enhancing Mathematical Reasoning in the Classroom: The Effects of Cooperative Learning and Metacognitive Training. American Educational Research Journal Spring 2003, Vol. 40, No. 1, pp. 281–310

Lenox, Mary F. (2000). Storytelling for Young Children in a Multicultural World. Early Childhood Education Journal, Vol. 28. No. 2. 2000

Montessori, Maria. (2008). The Absobent Mind-Pikiran yang Mudah Menyerap (terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

 

Nichols, Robert C. (1978). Policy Implications of The Iq Controversy. Review of Research In Education 1978; 6; 3

Rettig, Michael. (2005). Using the Multiple Intelligences to Enhance Instruction for Young Children and Young Children with Disabilities. Early Childhood Education Journal, Vol. 32, No. 4, febuary 2005

Santrock, John W. (2007). Psikologi Pendidikan (terjemahan). Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Wright, C,.Bacigalupa, C,. Black, T,. Burton, M. (2008). Window into Children Thingking: A Guide to Storytelling and Dramatization. Early Childhood Education J (2008) 35: 363-369

 

 

Antara Ilmu dan Agama

Bismillah, semoga tidak salah….

Kajian keilmuan yang kudapat hari ini ditutup dengan puisi menggugah karya Kuntowijoyo

Sebagai hadiah malaikat bertanya

apakah aku ingin berjalan di atas mega,

dan aku menolak karena kakiku masih di bumi,

sampai kejahatan terakhir dimusnahkan,

sampai du’afa dan mustadafin diangkat Tuhan dari derita.

Dalam Pidatonya d Salah satu universitas Islam Aligar di India pada tahun 1995 berujar :

           Orang akan bertanya “ Apakah tidak harus dibedakan ilmu dan agama? Memang, ilmu dan agama lain-lain tujuannya dan terpisah pula medannya. Ilmu mengenai pengetahuan, agama soal kepercayaan. Pengetahuan dan kepercayaan adalah dua macam sikap yang berlainan dari pada keinsafan manusia. Pelita ilmu terletak di otak, pelita agama  terletak di hati.

            Ilmu memberi keterangan tentang bagaimana duduknya suatu masalah dalam hubungan sebab dan akibat. Ilmu mempelajari hubungan kausal diantara sejenis masalah. Kebenaran yang di dapat dengan keterangan ilmu hanya benar  atas syarat yang diumpamakan dalam keterangan itu. Karena keterangan ilmu relatif sifatnya.

Orang ilmu menerima tiap kebenaran yang didapat dari penyelidikan ilmu dengan pandangan yang kritis. Sikap yang kritis itulah yang menjadi tabiat ilmu. Tiap-tiap pendapat yang dikemukakan diuji kebenarannya. Itulah yang membawa kemajuan ilmu. Boleh dikatakan ilmu bermula dengan sikap tidak percaya. Sedangkan agama bermula dengan Percaya. Ia menerima kebenaran dengan tidak mau dibantah. Kebenaran agama bersifat absolut. Percaya adalah pangkal dan tujuan penghabisan dari pada agama. Agama menghendaki persatuan umat manusia dalam persaudaraan. Tujuan agama ialah memberi pegangan hidup kepada manusia sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat untuk berbuat yang benar, yang baik, yang adil, yang jujur dan yang suci, supaya ada kesejahteraan dalam hidup manusia dan bangsa. Tetapi, sungguhpun agama mempunyai medan sendiri, terpisah dari medan ilmu, agama adalah datum bagi ilmu. Sebagaimana ilmu yang dipahamkan dapat memperdalam keyakinan agama, demikian juga kepercayaan agama dapat memperkuat keyakinan ilmu dalam menuju cita-citanya. Juga ilmu dituntut, pada hakekatnya, untuk keselamatan dan kebahagiaan hidup manusia. Sekarang nyatalah, bahwa ilmu dituntut tidak semata-mata untuk tahu saja, untuk memuaskan keinginan akan pengetahuan. Ilmu dituntut guna keselamatan dan perbaikan hidup manusia diatas dunia ini.

            Islam adalah agama, bukan ilmu. Sebagai agama, ia tak dapat langsung memberi isi kepada ilmu. Sumbangan Islam kepada ilmu terdapat pada anjurannya kepada penganut-penganutnya untuk mempelajari ilmu sebanyak-banyaknya dimana saja dan dari mana saja. Tidak hanya membatasi penganut-penganutnya  hingga urusan akhirat saja. Islam tidak menyuruh orang untuk menyembah Tuhan semata-mata, akan tetapi mewajibkan juga orang mengatur penghidupan di dunia sebaik-baiknya.

           Setiap hari, dengan berjangka waktu, kita melatih diri kita, untuk menguasai hawa-nafsu dan untuk mengontrol diri kita sendiri, untuk menanam dalam jiwa kita perasaan suci dan murni. Tetapi sayang, tidak selalu kita insyaf akan segala yang kita perbuat itu. Sering-sering  kita melakukan ibadat menurut kebiasaan saja dan lupa bahwa sebenarnya kita melakukan latihan rohani dan jasmani dihadapan Tuhan yang maha Esa. Sebab itu, ada baiknya, sewaktu-waktu kita renungkan dengan penuh keinsafan, betapa tegasnya pimpinan yang diberikan Islam kepada kita. (Mohammad Hatta, 1955)

Semoga tulisan ini tidak salah… ini hanya bagian ingin menjawab keingintahuan akan sebuah makna yang berusaha dijabarkan tidak hanya dengan logika, tetapi juga hati dengan perasaannya. Pertanyaan dasar dari tulisan ini adalah… kenapa? Selalu saja seperinya ilmu dan agama adalah mainstrem yang selalu terpisah dan saling berhadapan?? Bagaimana seharusnya keduanya saling berjalan seiring dan memberi kedamaian, kebermanfaatan dan kebahagiaan kepada semua…

Menurutku, ketika belajar sesuatu yang esensi… itu bukan hanya sekedar mempertanyakan untuk memuaskan logika tetapi lebih pada menemukan pemahaman yang lebih filosofis dasar akan seuatu yang mungkin pada dasarnya semuanya bisa berjalan dengan seimbang… Ketika aku waktu itu di posisi orang tua ku “hal manakah yang lebih dahulu kuajarkan kepada anaknya… rutinitas yang kemudian berusaha dipahami sendiri oleh anaknya atau mungkin esensi kenapa rutinitas itu harus dilaksanakan” Walaupun mungkin aku akhirnya bisa menjawab dengan tegas bahwa keduanya berjalan dengan seimbang…

Ketika perkembangan ilmu pengetahuan sangat dikuasai aliran positivisme, sesuatu harus menjadi sangat empris dengan metode-metode yang terukur dengan jelas, dan diakui oleh umum keabsahannya dengan kategori ilmu pengetahuan oleh sebagian mainstrem, lalu bagaimana seharusnya menjawab sesuatu yang berhubungan dengan batiniah, persoalan hati, ruh, atau fitrah manusia untuk tunduk terhadap kekuatan yang lebih besar. Apakah semua harus dicari hubungan sebab akibat?, jika memang ilmu beranjak dari ketidakpercayaan seperti kata Bung hatta, bukankah data-data empiris dari perpektif positivisme juga bisa kita ragukan kebenarannya.. Jadi apakah kebenaran itu hanya pada sudut pandang diterima atau tidaknya dari sudut pandang logika.. Entahlah… dari sudut pandang ini, aku tidak sepakat, walaupun membutuhkan banyak cara dan waktu untuk menjelsakannya.

Bahkan Einstein pernah berkata :“ Dalam memandang keharmonisan yang ada di dalam kosmos (alam) dengan keterbatasan pikiran manusiaku aku dapat mengetahui bahwa ada sesuatu  dibalik semua ini”.

Ketika Prof. Kuntowijoyo mewacanakan “ Profetik sosial” dengan konsep humanisasi, liberasi, dan transendensi dimana pengetahuan dan agama pada akhirnya tidak bersebrangan. “Ok, secara akal aku terpukau”. Walaupun untuk meruntutkan kedalam suatu cara untuk melakukan sesuatu harus lebih dipahami kembali. Profetik  sosial berpendirian bahwa sumber pengetahuan itu ada tiga, yaitu realitas empiris, rasio dan wahyu. Ini bertentangan dengan positivisme yang memandang wahyu sebagai bagian dari mitos.

Mungkin sebenarnya lebih mudah jika bergerak ditataran realistis dan tidak usah mempertanyakan.. dengan konsep Bung Hatta bahwa agama beranjak dari kepercayaan. Tak perlu mengutak atik esensi pemikiran yang mungkin saja tidak terarah jika tidak menemukan suatu metode untuk menjelaskannya dengan benar… Hanya saja, ketika banyak persoalan seharusnya dijawab secara substansi, kenapa kita tidak mencoba merangkak kepada hal yang lebih dasar terlebih dahulu.

Seperti ada konsep yang mencoba mencari titik tengah antara filsafat dan tasawuf yang kemudian menghasilkan pemahaman konsep Tuhan-Dekat bahwa sanya manusia mempunyai prototype sendiri tentang wujud Tuhan atas kecintaannya kepada pencipta dan bisa jadi bentuknya akan berbeda beda seperti Rumi yang mempunyai cara sendir dalam mengekpresikan cintanya kepada Tuhannya. Walaupun ada juga Tuhan-Jauh, bahwa tuhan itu terlalu sulit untuk dicintai, hanya untuk disembah,  dan hubungan dengannya adalah soal peribadatan saja… Well, mungkin agak terlalu jauh ketika beranjak membicarakan persioalan ini.

Hemm…mungkin dalam proses belajar seoarang manusia tidak pernah akan selesai hingga akhir hayatnya.. Hanya saja tulisan ini kututup dengan keyakinan bahwa agama dan ilmu adalah satu kesatuan, tidak hanya persoalan tahayul dan logika seperti orentalis barat pada awal-awal kemunculannya, tidak hanya  fenomena santri dan abangan dalam Umar Khayam, hubungan sebab akibat dalam positvisme, atau konsep “ percaya Vs tidak percaya” seperti pendapat bung Hatta. Tetapi lebih dari itu….koma “,” karena masih ada penjelasan setelah kata koma…. Hanya saja mungkin butuh waktu untuk menjabarkannya.

Sekali lagi…

Semoga tulisan ini tidak salah…


Juvenile Forensic

PENDAHULUAN

Domain utama psikologi forensik, kaitannya dengan juvenile forensic adalah mengarahkan anak-anak untuk tidak berlaku kriminal, dan menjelaskan alasan dibalik perbuatan kriminal tersebut. Forensic psychology dapat pula membantu pengadilan memahami apa yang dilakukan remaja dan apa sebabnya.

Ada 4 topik kontroversial yang dibahas: (1) mendefinisikan usia tangung jawab hukum, (2) anak muda dan taraf kepercayaan pengakuan mereka di pengadilan, (3) doktrin tentang “minat utama anak-anak”, (4) hukuman: rehabilitasi psikologis remaja. Keempat topik ini adalah tema utama dalam perdebatan komunitas psikologi dan hukum. Keempat topik ini sekaligus menunjukkan peran seorang psikolog mendampingi proses pengadilan remaja sejak pra-putusan hakim sampai tahapan pasca putusan hakim. Walaupun demikian, problem utamanya adalah kebiasaan masyarakat (termasuk pejabat hukum) menganggap bahwa tugas seorang psikolog hanya terbatas pada remaja bermasalah, bagaimana merubah meraka, dan sedapat mungkin menjauh dari perkara pengadilan.

MENDEFINISIKAN USIA TANGGUNG JAWAB HUKUM

 Saat ini, pelaku kriminal remaja dipisahkan dengan pelaku kriminal dewasa, dengan alasan bahwa perilaku kriminal remaja tersebut masih dapat diubah. Walaupun demikian, pandangan masyarakat mulai beralih dari pandangan hukum yang merehabilitasi, menuju pada hukum yang berorientasi pada hukuman dan ganti rugi. Sekitar tahun 1980an, para pengambil kebijakan di legislatif menggabungkan pelaku kenakalan remaja dengan pelaku kriminal dewasa.

Kecenderungan pengadilan untuk menghukum seseorang mendorong para ahli psikologi untuk menganalisa kapan seseorang memiliki tanggung jawab hukum dan pada usia berapakah sebaiknya mereka mulai diberi hukuman. Ketika berbicara tentang umur psikologis, tentunya tidak dapat didasarkan pada putusan-putusan hukum. Sekalipun keadaan ini sekilas membuat konflik kedua ilmu ini memanas, namun di lain pihak keadaan ini justru semakin mendekatkan psikologi dan hukum untuk saling memahami.

 Literature Review

Menurut Fritsch dan Hemmens (1995), hukum Inggris pada umumnya menganggap anak-anak di bawah 7 tahun tidak berkemampuan untuk menerima tanggung jawab hukum. Anak-anak usia 7-14 tahun pun masih diasumsikan belum mampu menerima tanggung jawab hukum, kecuali mereka menyadari konsekuensi kenakalan mereka.

Walaupun masyarakan sangat menginginkan paradigma punishment atau hukuman diterapkan untuk remaja dan dewasa, nyatanya hanya sebagian kecil keinginan tersebut dipenuhi. Pasalnya, banyak remaja yang dimasukkan dalam penjara orang-orang dewasa, pada dasarnya hanya sebagai “waktu jeda” bagi mereka. Hukuman biasanya hanya diberikan pada kasus-kasus yang lebih serius seperti pembunuhan, pemerkosaan, dan penyerangan yang membabi-buta, karena perbuatan-perbuatan tersebut lebih membutuhkan hukuman, dimana pengadilan remaja tidak dapat memberikannya.

Beberapa remaja yang dikirim ke pengadilan umum, tidak mendapatkan konsekuensi langsung. Kebanyakan kasus, transfer ke pangadilan umum tidak berarti penyelesaian masalahnya diimplementasikan. 49,5% sampel yang dikirim ke pengadilan remaja mendapatkan hukuman percobaan (hukuman bersyarat). Remaja yang dikirim ke pengadilan dewasa mendapatkan perlakuan sebagai pelanggar hukum untuk pertama kalinya. Ini tidak berarti mereka mendapatkan hukuman lebih lama daripada pengedilan remaja. Pengadilan umum saat ini dianggap solusi bagi remaja-remaja dengan kasus berat, namun pada kenyataanya pengadilan umum hanya sebagai tempat penghindaran dari hukuman yang seharusnya, sehingga tidak menghasilkan efek yang diharapkan.

Ada beberapa jenis pembatalan hak resmi, namun yang paling terkenal adalah judicial waiver dan legislative waiver. Judicial waiver membolehkan juri pengadilan remaja menggunakan penilaian mereka untuk membatalkan kekuasaan kehakiman dengan menyerahkan kasus ke pengadilan dewasa. Legislative waiver disebut juga dengan automatic waiver karena pelanggar hukum remaja mendapatkan system pengadilan remaja, dan secara langsung menuju ke pengadilan kriminal dewasa, kemudian ditahan saat itu juga, tergantung pada hukum pemerintah setempat. Kenyataannya ketika di pengadilan dewasa, hanya sedikit yang mendapatkan hukuman.  Alasan utama pengadilan memenuhi hak-hak remajanya adalah karena usia, minimnya pengalaman, kemampuan, dan kapasitas pemenuhan keinginan.

Usia tanggung jawab hukum berbeda satu Negara dengan Negara lain, walaupun demikian, hukum federal menganggap umur 16 tahun telah dewasa secara hukum. Menurut mahkamah agung Amerika, konstitusi Amerika ke-8 melarang eksekusi seseorang di bawah usia 16 tahun saat melakukan kejahatan. Standar tanggung jawab orang dewasa diukur dengan kemampuan membuat keputusan (kompetensi). Kompetensi pada umumnya dilihat dari pengetahuan dan kemampuan seseorang mengekspresikan dirinya pada lingkungan ideal. Hukum lebih tertarik pada perbuatan seseorang daripada kompetensi. Menurut para psikolog, pengadilan pelaku kejahatan remaja harus menyadari bahwa remaja memiliki hak untuk menyadari akibat perbuatannya pada korban (cognitive meaning) dan memperbaiki diri (behavioral meaning). Umbreit (1995) menyarankan sistem peradilan remaja harus menggunakan “Restorative Justice” dimana korban, pelaku kejahatan, lingkungan aktif menyelesaikan masalah bersama dengan dibantu psikolog.

Psikologi Forensik dan Implikasi Kebijakan

Ini digunakan ketika sebuah penyerangan terjadi, pelaku yang dikenai kewajiban terhadap masyarakat dan atau korban. Meskipun keamanan publik adalah pertimbangan utama, idenya bukan untuk menghukum pelaku; lebih baik menyediakan kesempatan untuk pelaku dalam menawarkan ganti rugi pada korban atau komunitas. Hal ini penting, meskipun, perlu diingat oleh pengadilan bahwa remaja masih tumbuh dan berkembang, “keterbatasan ilmu mengenai perkembangan anak dan menyerahkannya pada fungsi keluarga tentang kepentingan anak sebagian besar tidak menentu” (Repucci & Crosby, 1993,p.5). Tidak ada jaminan bahwa apa yang psikolog dan pengadilan pecaya adalah kebutuhan yang paling baik bagi remaja. Jika masyarakat menganggap remaja sama seperti orang dewasa, maka remaja harus menerima hak yang sama seperti orang dewasa. Sebagai tambahan, ketika pengadilan memperlakukan pelaku remaja seperti orang dewasa, apakah pengadilan melindungi remaja dan masyarakat (sekarang dan di masa depan)? Di dalam hukum legal banyak tindakan tidak berdasar hukum yang juga merupakan kekerasan moral, karena itu kita harus menghitung bagaimana perkembangan moral mempengaruhi kemampuan remaja untuk memahami bahwa tindakan tertentu itu “salah” (Peterson-Badali & Abramovich, 1993).

Saran Untuk Penelitian Kedepan

Untuk menyediakan informasi yang berguna untuk pengambil keputusan hukum legal, penelitian  psikologi kedepannya harus membahas tentang isu-isu hukum legal. Dengan cara ini, penemuan penelitian akan mempunyai pengaruh langsung pada hukum (Repucci & Crosby, 1993). Kita butuh untuk melanjutkan memeriksa kasus hukum seperti Kent Vs Amerika Serikat (1966) dan menyatukan pengetahuan psikologi tentang kepentingan anak-anak yang terbaik dan kapasitas dalam proses pengambilan keputusan pada sistem pengadilan remaja. Jika penelitian berisi isu-isu hukum, hubungan antara psikologi dan hukum dapat bergerak bersama dan akan membuat hakim mengambil keputusan yang berpihak pada kepentingan terbaik bagi remaja. Standar hukum dan asumsi mereka tentang kapasitas anak-anak harus diselidiki dari sisi hukum dan psikologi (Woolard et al., 1996). Mempelajari kapasitas anak-anak dan performance dalam konteks hukum, bagaimanapun sangat sulit karena anak-anak hanya dapat dibandingkan dengan orang dewasa atau anak-anak “normal” lainnya (Woolard et al., 1996).

Melalui sesi ini, isu untuk merehabilitasi atau menghukum seseorang telah terjadi terus-menerus. Hal ini penting untuk meneliti pengaruh hukuman dengan perawatan sehingga remaja yang membutuhkan pertolongan dapat berjalan efektif. Hal ini penting untuk mempelajari pengambilan keputusan hukum berdasarkan umur sehingga remaja dapat mempunyai kebebasan untuk membuat keputusan hukum sendiri sementara memberikan kesempatan pada mereka untuk memahami hukum dan hak mereka. Hal itu juga menguntungkan untuk melakukan penelitian dalam hubungan yang ada antara tanggung jawab dan hak anak-anak. Penelitian ini sangat sulit karena hal ini sangat susah untuk menentukan pada umur berapa semua remaja  dapat diijinkan untuk membuat keputusan hidup mereka sendiri, ketika setiap remaja adalah unik. Mempelajari pengambilan keputusan berdasarkan umur memunculkan isu lain: apakah semakin baik keputusan kita membuat umur kita meningkat, dan apakah umur adalah faktor yang penting dalam menentukan tanggung jawab? Ketika memeriksa umur tanggung jawab kriminal, hal ini penting untuk memasukkan sebanyak mungkin variable seperti lingkungan, etnis, status sosial ekonomi, dan bahkan IQ. Dengan mempelajari umur tanggung jawab kriminal, psikologi forensik dapat memeriksa keefektifan sistem peradilan remaja saat ini dan membuat saran dimana hal ini dapat meningkatkan penanganan pada pelaku remaja.

ANAK-ANAK/REMAJA DAN TINGKAT RELIABILITAS KESAKSIAN MEREKA DALAM PERSIDANGAN

Pendahuluan

Lebih dan lebih lagi, anak-anak semakin terlibat dalam sistem hukum untuk menyediakan kesaksian dalam pengadilan, khususnya pada kasus pelecehan seksual (Ceci & Bruck, 1993). Telah diperkirakan lebih dari 200.000 anak-anak per tahun dengan berbagai cara terlibat dalam sistem hukum (Ceci & bruck, 1995). Anak-anak adalah saksi kunci karena kata mereka adalah satu-satunya bukti yang tersedia dalam banyak kasus pelecehan seksual. Pengadilan harus menentukan manakah anak-anak yang mempunyai kesaksian dapat dipercaya (J.E.B. Myers, 1993). Seperti yang telah didiskusikan, pengadilan harus memeriksa berbagai faktor, seperti umur anak, apakah anak dapat mengatakan perbedaan antara kebenaran dan kebohongan, dan apakah anak memahami konsekuensi dari kesaksian yang dilakukannya.

Contoh Kasus:

Martha, anak perempuan berumur 12 tahun yang akhir-akhir ini menuduh pengasuhnya, tetangganya bernama Mitch dengan tuduhan pelecehan seksual ketika dia berusia 8 tahun. Dia tidak pernah mengatakan kepada siapapun ketika hal itu terjadi karena dia berkata dia telah diancam anjingnya akan dibunuh. Bagaimanapun, akhir-akhir ini dia berlaku seksual yang tidak wajar, jadi orang tuanya bertanya kepadanya tentang perilakunya sampai dia akhirnya mengaku bahwa hal itu terjadi beberapa tahun yang lalu. Orang tuanya mengajukan tuntutan kepada Mitch, dan mereka menduga kasusnya akan disidangkan karena Mitch menolak dia bersalah. Martha adalah satu-satunya saksi ketika tuntutan itu ada, dan dia telah ditanyai beberapa kali tentang tuduhan pelecehan. Beberapa detil dari ceritanya telah berubah, dan dia mengekspresikan ketakutan yang sangat di dalam pengadilan jika ada Mitch. Karena tidak akurat dalam ceritanya, penuntut menginginkan hakim untuk menentukan apakah dia layak menjadi saksi. Dia juga meminta untuk menggunakan televisi sehingga Martha tidak berada satu ruangan dengan Mitch ketika dia bersaksi. Hakim harus menentukan apakah Martha layak menjadi saksi dengan memutuskan bahwa dia dapat membedakan kebenaran dari kebohongan dan pemahaman tentang diambilnya sumpah. Dia juga harus memutuskan apakah mengijinkan Martha bersaksi lewat televisi tetrtup yang akan menjadi pelanggaran hak konstitusional mitch.

Review Literatur              

Sebagaimana telah direfleksikan dalam ilustrasi kasus, ada anak yang akan bersaksi di dalam pengadilan tidaklah mudah. Banyak sekali faktor yang harus dipertimbangkan. Karena penuntut sangat bergantung pada kesaksian anak-anak, khususnya dalam kasus pelecehan. Ini menjadi penting untuk menentukan apakah anak-anak dibawah umur tertentu secara otomatis tidak layak. Dalam 1770 kasus, Rex Vs Brsier, tidak ada yang ototmatis dalam menentukan kelayakan, tidak perduli seberapa muda anak tersebut (J.E.B. Myers, 1993). Wheeler Vs U.S. (1895) menyatakan tidak ada batasan usia untuk menentukan kelayakan bersaksi. Bagaimanapun, ada beberapa Negara bagian yang masih menggunakan pendekatan ini. Pendekatan yang digunakan pada hampir semua Negara bagian saat ini adalah setiap orang layak, dimana hal itu dari aturan Federal-Aturan 601. Beberapa negara juga menjamin kelayakan dalam kasus pelecehan seksual (J.E.B. Myers, 1993b).

Apapun yang digunakan oleh Negara bagian, hakim mempunyai tanggung jawab penuh untuk menentukan kelayakan anak-anak, dan mereka mempunyai kekuatan. Menurut J.E.B. Myers (1993b), ada tiga permintaan utama ketika hakim menentukan kelayakan. Yang pertama, apakah anak memiliki kapabilitas tertentu. Sebagai contoh, mereka harus bisa melihat apa yang terjadi dalam pengadilan, tidak perlu melihat secara keseluruhan apa yang terjadi. Mereka harus mempunyai memori yang cukup. Firus dan Shukat (1995) melaporkan bahwa anak kecil, umur 3 sampai 6, mereka mampu menyediakan gambaran lengkap tentang kejadian masa lalu setelah waktu yang lama. J.E.B. Myers (1993b) menggambarkan kemampuan lebih lanjut bahwa anak harus memilikinya untuk memenuhi kelayakan dalam bersaksi. Anak-anak harus bisa berkomunikasi. Mereka juga harus bisa mengatakan yang sebenarnya dari sebuah kebohongan dan memahami pentingnya sebuah kebenaran. Dengan kata lain, mereka harus memahami konsekuensi dari berbohong. K.Bussey, Lee dan grimbeck (1993) mengindikasikan bahwa anak umur 4 tahun mempunyai kapasitas untuk membedakan kebohongan dari kebenaran dan mereka dapat untuk mengetahui kebohongan atau berkata jujur. Kebutuhan yang kedua digambarkan oleh J.E.B. Myers (1993b) adalah apakah anak mempunyai pengetahuan tentang fakta yang tepat untuk suatu kasus. Hal ini berasal dari aturan 602 aturan Federal tentang Bukti. Kebutuhan yang terakhir adalah pengambilan sumpah. A.G. Walker (1993) menyatakan bahwa anak dapat tidak layak jika mereka tidak memahami makna dari kata-kata dalam sumpah. Bagaimanapun, beberapa negara bagian mengijinkan anak untuk melupakan elemen ini dan tetap bersaksi (J.E.B. Myers, 1993b). Dalam situasi Martha, hakim akan menentukan apakah dia memiliki kemampuan menggambarkan diatas dan apakah dia memahami arti dari sumpah.

Jika penuntun menginginkan untuk melanjutkan kasus Martha dan menggunakan dia sebagai saksi kunci, dia harus memutuskan apakah kesaksiannya dapat dipercaya sehingga juri akan mempercayainya. Menurut jaskiewicz-Obydzinska dan Czerederecka 91995), evaluasi dari realibilitas anak adalah sangat imperative dan ditentukan oleh stabilitas dirinya setelah interogasi yang dilakukan terhadap anak. Pengarang melakukan studi dengan saksi/korban remaja dari kasus pelecehan seksual, dengan mayoritas usia antara 11 dan 15. Mereka menemukan bahwa dari sebagian yang telah diperiksa, kesaksian yang berubah terjadi. Bagaimanapun, mereka menemukan bahwa alasan paling umum untuk perubahan ini adalah tingkat kecerdasan intelektual remaja. Mereka menyimpulkan bahwa dalam upaya untuk menerima kesaksian anak sebagai sesuatu yang bisa dipercaya, factor psikologis yang meliputi kemampuan intelektual, rasa takut yang berlebihan atau evaluasi social, dan peningkatan kekritisan terhadap diri harus dipertimbangkan.

Sebagai tambahan pada cerita Martha yang berubah-rubah, umur dia juga merupakan masalah yang berhubungan dengan realibilitasnya. Bottoms (1993) melaporkan bahwa anak-anak yang lebih muda cenderung untuk dilihat lebih dipercaya daripada anak yang lebih tua dan remaja dewasa dalam bersaksi tentang pelecehan seksual. Orang percaya bahwa anak tidak efisien secara kognitif dan dapat pula menambahkan suatu cerita, dimana remaja dewasa dipercaya bersalah dalam pelecehan seksual atau mempunyai cerita yang dibuat-buat.

Faktor lain yang mempengaruhi tingkat kepercayaan terhadap kesaksian anak adalah tekanan pada seluruh situasi. Anak harus menghadapi setting ruang sidang yang mengintimidasi dan mendiskusikan hal pribadi, kejadian traumatis sementara dibenturkan dengan pelaku yang tertuduh (Batterman-Faunce & Goodman, 1993). Jika ada orang yang ditakuti dalam ruang siding dapat mengurangi kemungkinan anak untuk bersaksi menceritakan seluruh kejadian. Karena itu, mengijinkan anak untuk bersaksi tanpa kehadiran terdakwa mungkin akan didapatkan kesaksian yang dapat dipercaya (Pipe & Goodman, 1991). Tobey, Goodman, Batterman-Faunce, Orcutt, dan Sachsenmaier (1995) menyarankan bahwa jika anak bersaksi di depan terdakwa, maka mereka mungkin merasakan trauma secara psikologis karena menghadapi pelaku pelecehan. Mereka menekankan bahwa trauma ini akan berakibat negative terhadap keseluruhan kesaksian dan tingkat kepercayaannya. Pengarang menyatakan bahwa menggunakan teknologi sirkuit-tertutup menghilangkan kebutuhan anak untuk bersaksi dalam situasi traumatis. Mereka dapat bersaksi dari luar ruangan siding melalui monitor televise. Kebalikan dari prosedur ini adalah hal ini melanggar amandemen empat belas tentang hak terdakwa tentang proses karena hal ini mengganggu dengan kemampuan penemu fakta dalam menentukan kredibilitas saksi dan hal ini melanggar amandemen keenam tentang hak untuk menngkonfrontasikan saksi secara langsung (Goodman et al., 1998).

Pengadilan tinggi telah setuju dengan pertentangan ini. Dalam Coy Vs Iowa (1988), pengadilan menolak penggunaan televise yang melanggar amandemen keenam dan empatbelas tentang hak terdakwa. Bagaimanapun, 2 tahun kemudian dalam Maryland Vs Craig (1990), pengadilan memutuskan untuk mengijinkan penggunaan televise dalam kasus pelecehan seksual anak, dimana anak sangat trauma sehingga tidak dapat berkomunikasi. Pengadilan tinggi juga setuju bahwa penggunaan teknologi adalah pelanggaran terhadap hak namun bahwa ada pengaruh psikologis yang berhubungan dengan kesaksian anak menjadi hal yang khusus terhadap hak ini. Dalam kasus Martha, hakim juga butuh untuk menentukan apakah dia akan trauma sehingga tidak mampun untuk melakukan komunikasi, jika hal itu terjadi maka penggunaan televise akan diperbolehkan.

Goodman et al. (1998) mempelajari studi tentang perbandingan kesaksian anak dalam ruang siding dan melalui televise (CCTV). Mereka menemukan bahwa CCTV mengurangi pengaruh tekanan dari lingkunan pada nak yang lebih muda dan membuat anak melakukan sedikit kesalahan terhadap pertanyaan yang menjebak ketika dibandingkan dengan kesaksian yang ada dalam ruang sidang. CCTV secara keseluruhan menumbuhkan kepercayaan yang lebih terhadap kesaksian anak-anak. Pengarang juga menyimpulkan bahwa situasi CCTV, terdakwa tidak mempunyai kesempatan lebih besar untuk dihukum, dan pengadilan tidak mengidentifikasi secara tidak adil terhadap terdakwa. Bagaimanapun, juri dalam studi yang dilaporkan dengan anak bersaksi melalui CCTV ternyata juga kurang percaya, meskipun kesaksiannya lebih akurat, daripada anak yang bersaksi di ruang sidang.

Masih banyak isu yang dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan terhadap kesaksian anak. Hal ini muncul karena tekanan dan trauma dalam kesaksian dapat mengurangi tingkat kepercayaan. Dalam ilustasi kasus ini, Martha agaknya mempunyai ketakutan jika berhadap dengan pelakunya, dan ketakutan ini dapat mengurangi tingkat kepercayaan kesaksiannya.

Psikologi Forensik dan Implikasi Kebijakannya

Isu apakah anak layak bersaksi kelihatannya hanya semata-mata permasalahan dengan hakim. Hal ini mengijinkan hakim membuat keputusan yang mungkin mempunyai implikasi psikologis. Kemampuan ini diperlukan untuk dianggap layak adalah sangat psikologis, kemudian hakim jarang melibatkan professional dalam kesehatan mental dalam proses pengambilan keputusan (J.E.B. Myers, 1993b). Psikolog forensik harus dilibatkan dalam kasus seperti ini, khususnya jika hakim merasa tidak yakin. Jika mereka tidak menyediakan keahlian ahli, mereka setidaknya dapat mendidik pengadilan yang berhubungan dengan kelayakan untuk kesaksian anak. Dalam ilustrasi kasus, psikolog forensic dapat menawarkan informasi pada hakim apakah Martha memiliki kebutuhan untuk bersaksi.

Implikasi penting lainnya adalah untuk mengurangi tingkat trauma dan stres pada anak ketika mereka harus bersaksi, khususnya dalam kasus pelecehan. Satu pendekatan ditawarkan adalah untuk menyiapkan anak dengan mengenalkan terlebih dahulu ruang sidang dan mengajari mereka informasi tentang system hukum. Hal ini akan membutuhkan bahasa yang cocok dan mungkin mengurangi kecemasan mereka  dan meningkatkan tingkat kepercayaan terhadap kesaksian mereka (Saywitz, 1995). Kebijakan harus dikembangkan untuk menjamin bahwa anak-anak ini tidak mengalami trauma lebih lanjut, sementara pada saat yang sama juga mempertimbangkan hak konstitusional terdakwa. Meskipun CCTV muncul sebagai solusi yang memungkinkan, hal ini tidak hanya standar prosedur yang mengarah pada dilemma konstitusional. Bagaimanapun, lebih banyak solusi seperti ini harus diterapkan sehinggan anak dapat menyediakan kesaksian yang dapat dipercaya.

Saran Untuk Penelitian Kedepan

Banyak penelitian tentang kesaksian anak berfokus pada tingkat sugesti pada saksi anak, ada hal yang lebih penting yang berhubungan dengan tingkat kepercayaan yang harus diperiksa apakah tingkat sugesti mempengaruhi kemampuan anak untuk melakukan kesaksian yang dapat dipercaya (Ceci & Bruck, 1993). Sejak kesaksian anak semakin diperlukan, peneliti harus menemukan teknik yang optimal yang membatasi stress emosional yang dapat menangani reliabilitas dan kredibilitas kesaksian mereka (K.bussey et al., 1993). Penelitian pada topic ini harus memeriksa situasi mana yang menyediakan persidangan yang adil. Kelihatannya bahwa CCTV adalah suatu langkah ke arah sana, tapi belum ada analisis empiris untuk mencapai kesimpulan yang pasti (Batterman-Faunce & Goodman, 1993). Penelitian yang berlanjut harus dilakukan pada CCTV sebagai solusi yang mungkin  terhadap masalah trauma anak dan apakah hal itu menyediakan peradilan yang adil. Focus lainnya pada penelitian adalah pada bagaimana menyiapkan anak untuk bersaksi lebih layak dan dengan stress yang minimal (J.E.B. Myers, 1993a). Jika hal ini ditemukan bahwa CCTV adalah prosedur yang tidak adil, maka anak akan melanjutkan persidangan dengan bertemu muka dengan pelaku pelecehan dalam pengadilan dan harus melakukan kesaksian yang dapat dipercaya.

KEPENTINGAN TERBAIK DARI DOKTRIN ANAK

Pendahuluan

Kepentingan terbaik dari doktrin anak ditetapkan dalam sistem hukum untuk menentukan komponen perawatan anak yang akan menyediakan lingkungan yang terbaik bagi perkembangan dan penyesuaian anak (Kelley, 1997).  Menurut Mason (ditulis dalam Skolnick, 1998), kira-kira 50% anak dialhirkan pada tahun 1990 akan  terlibat dalam kasus penjagaan anak. Kepentingan terbaik dari doktrin anak biasanya diminta selama proses perceraian, dimana alasan dari semua penjagaan diperdebatkan (Kelley, 1997; Skolnick, 1998). Perceraian mempunyai konsekuensi signifikan pada anak, dan tujuan dibalik hal ini adalah untuk mempertimbangkan orang dewasa mana yang dapat menyediakan hubungan paling positif dengan dan lingkungan terbaik untuk anak (G. Miller, 1993).  Meskipun positif aspek dari doktrin ini telah dicatat, termasuk ide dalam setiap keputusan dapat berfokus pada kebutuhan individu anak dan hal ini mengijinkan masyarakat menilai dengan moral, nilai dan situasi (Kelley, 1997), banyak literature yang menerangkan standar batasannya.

Contoh Kasus

Joe dan Sarah mempunyai tiga anak, berumur 6, 10 dan 13. Dua yang termuda adalah perempuan dan kakak tertua mereka adalah laki-laki. Orang tua mempunyai masalah dengan obat-obatan dan alkohol. Sebagai tambahan, Joe dipenjara beberapa tahun yang lalu karena melakukan kekerasan seksual terhadap anak perempuan berumur 12 tahun. Sarah menikah dengan Joe selama waktu tersebut tetapi mulai berselingkuh dengan pekerja sehingga membuatnya hamil. Sementara Joe masih di penjara, anak mereka sementara dipindahkan dari penjagaan Sarah karena penggunaan obat terlarang. Bagaimanapun, Sarah bisa memperkuat dirinya dan keluar dan anak-anak kembali padanya. Ketika Joe bebas dari penjara, dia dan Sarah tidak memulai proses perceraian; mereka berbagi penjagaan dua anak perempuan sementara anak laki hidup dengan ayahnya. Joe tidak mempunyai pekerjaan tetap. Dia bekerja sebagai seorang mekanik dan hidup dengan pacarnya dalam sebuah trailer di halaman belakang orang tuanya. Sarah tidak bekerja sama sekali dan hidup dengan tunangan barunya dalam satu apartemen. Mereka berdua mengklaim bebas obat-obatan. Akhir-akhir ini, Joe dan Sarah menjadi saling marah, dan Sarah mengajukan cerai. Dalam usaha melukai Joe, dia menuntut untuk penjagaan satu-satunya bagi dua anak perempuan, menyatakan bahwa Joe ancaman bagi mereka karena kasus seksnya dahulu. Pertanyaan sebelum pengadilan adalah orang tua mana yang menyediakan lingkungan terbaik bagi anaknya.

Review Literatur

Pertanyaan utama dari kasus Joe dan Sarah adalah siapakah yang berhak menurut pertimbangan pengadilan untuk menjadi pengasuh satu-satunya dari anak mereka. Menilik tentang kasus hak asuh anak, adalah sesuatu yang sudah menjadi perdebatan sejak lama. Dulu menetapkan hak asuh anak adalah sesuatu yang sangat sederhana. Di dalam hukum Inggris, anak-anak dianggap sebagai properti dan wanita tidak diijinkan untuk memiliki properti. Konsekuensinya ayahlah yang otomatis mengasuh anak-anaknya.  Pada tahun 1800an, ide bahwa anak adalah properti diganti dengan ide bahwa masa kanak-kanak adalah tahap penting kehidupan yang memberikan sumbangan penting terhadap perkembangan menjadi orang dewasa. Pada akhir abad ke 19, dokrin “tender years” (tahun-tahun rentan, tahun-tahun yang membutuhkan kelembutan) menjadi standar utama untuk memutuskan hak asuh anak. Sehingga konsekuensinya banyak hak asuh anak diberikan kepada seorang ibu seolah menjadi sesuatu yang bersifat standar. Sampai pertengahan abad ke dua puluh “tahun-tahun rentan” itu mempunyai tantangan yang sangat serius karena anggapan bahwa seseorang seharusnya mendapatkan perlindungan yang sama di dalam hukum. Ayah kemudian mulai menuntut haknya untuk mengasuh dan menolak pandangan tentang hubungan orang tua-anak yang stereotip-seksual yang tersirat dalam dokrin kono tersebut. Skolnick (1998) menyatakan bahwa ketentuan standar tentang perawatan anak adalah diberikan kepada ibu. Warshak (1998) mencoba menjelaskan tentang fenomena ini, dikarenakan:

  • Wanita secara alami menjadi orang tua yang lebih baik bagi anak dan dipandang lebih esensial bagi kehidupan anak.
  • Kebanyakan wanita menjadi orang tua yang baik, tidak hanya karena sifat alami yang dibawanya, namun juga mereka lebih mempunyai pengalaman dalam membesarkan anak.
  • Bagi seorang perempuan, dapat merawat anaknya sendiri adalah merupakan suatu penghargaan dan merupakan suatu kontribusi yang harus diberikan
  • Wanita biasanya akan lebih menderita secara emosional jika ia kehilangan hak asuh anaknya dibandingkan laki-laki.

Kemudian, hukum yang saat ini berlaku disebagian besar negara bagian mengisyaratkan bahwa penatalaksanaan hak-hak asuh anak harus berdasarkan “ the best interest of the child”  atau kepentingan terbaik untuk anak. Dalam pengertian tertentu, standar ini terkesan patut dipuji dan elegan dalam artian tidak ada praduga bahwa si ayah atau si ibu lebih berhak mendapatkan hak-asuh anak, dan kebutuhan orang tua dan pihak-pihak lain yang berkepentingan bersifat sekunder dibanding kepentingan anak. Tujuan yang paling tinggi adalah menempatkan anak di lingkungan yang paling menguntungkannya, lingkungan yang memungkinkannya berkembang dengan sehat. Tetapi paling tidak ada tiga permasalahan yang terkait dengan standar ini :

  • Ketidakjelasan standar, dalam artian bagaimanakah standar yang terbaik untuk anak membuat keputusan berada di tangan hakim. Misalkan bila hakim mendukung hak asuh ibu. Standar kepentingan terbaik yang kabur itu tidak dapat dianggap sebagai kemajuan yang berarti dari dokrin tahun rentan-rentan kuno
  • Standar kepentingan yang terbaik ini tanpa disadari justru mempertinggi konflik diantara orang tua
  • Standar ini mengharuskan pengadilan untuk memprediksi masa depan. Hakim harus membayangkan, bentuk  penatalaksanaan hak-asuh seperti apa yang memungkinkan perkembangan yang sehat selama masa kanak-kanan atau selama beberapa puluh tahun setelah keputusan itu diambil

Standar seperti ini mengandung banyak kritikan. Dolgin (1996) contohnya, melaporkan bahwa banyak ktirikan tentang standar tersebut dikarenakan tidak cukup mewadahi pedoman substansial pengadilan mengenai keputusan pengasuhan anak.  Penulis juga mengganggap bahwa penggunaan standar dalam pengadilan hanya membawa pertentangan keputusan di dalam pengasuhan anak, yang tergantung pada ketua hakim. Bagian dari masalah ini muncul dikarenakan tidak adanya definisi oprasional yang dikenali secara luas mengenai standar tersebut. Bahkan, salah satu studipun menemukan standar pada kitab undang-undang pun sangat sedikit yang menunjukan panduan mengenai standarisasi ini. Standar keputusan juga dikirtik kerena secara lebih luas, kesepakatan masyarakat tentang standar yang terbaik untuk anak juga tidak ada.

Dolgin (1996) percaya bahwa kurangnya panduan mungkin akan membawa hakim lebih fokus kepada kepentingan orang tua dari pada kepentingan anak. Sehingga, menurut G. Miller (1993) menyatakan bahwa pengadilan sering mengujikan faktor lain untuk menambah keberpihakan kepada anak. Miller melihat selama ini, keputusan pengadilan lebih berpihak kepada orang tua dibandingkan kepada anak itu sendiri. Misalkan saja dalam kasus Joe dan Sarah, hakim mungkin mendasarkan pada hak konstitusional Joe dari kehilangan anaknya karena kejahatan yang mungkin tidak pernah ia lakukan, jika ini menggantikan keberpihakan terhadap anak. Kandel (1994) menyarankan bahwa standar tentang perawatan terhadap anak sebaiknya tidaklah didasarkan pada dimensi-dimensi konstitusional, implikasinya substansi maupun proses prosedural hak asasi menjadi tidak ada. Kemudian, ini juga membatasi kepentingan orang tua, dan kepentingan anak sendiri. Standar juga membuat lebih banyak pelanggaran terhadap hak dari anak dari pada orang tua karena keputusan juri didasarkan pada opini hakim kepada kepentingan anak.

            Terkadang dalam membentuk opini ini dan menghasilkan keputusan, hakim tidak mendasarkannya pada sugesti psikological. Faktanya, menurut Miller (1993) indikasi kepentingan yang terbaik untuk anak jelas digambarkan berbeda antara pandangan hukum dan padangan psikologi. Padangan dari sudut psikologi atau kesehatan mental adalah kepentingan terbaik dari anak haruslah menjadi faktor penentu dalam penetapan perwalian tidak hanya sekedar standar institusional ataupun faktor hukum saja.Oleh karena itulah, ketika pengadilan meminta bantuan psikolog, hasilnya bisa dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan.

Psikologi Forensik dan Implikasi Kebijakannya

Banach (1998) mengatakan bahwa dalam membuat keputusan, para professional harus meminimalkan bias yang ada di dalam diri mereka. Dia juga menyarankan definisi oprasional utamanya di suatu Negara bagian atau daerah haruslah memiliki keseragaman. Sehingga professional tidak semata-mata menyandarkan keputusan mereka atas asumsi pribadi, tetapi juga berdasarkan evaluasi dengan para professional lainnya untuk menghindari bias.

            Begitu juga dengan kasus yang melibatkan kepentingan anak-anak harus juga berdasarkan pertimbangan yang memiliki keseragaman kirteria. Ini melibatkan pengujian pertalian emosi anak dengan orang tua dan kebutuhan anak akan stabilitas, juga aturan juga harus memastikan bahwa perilaku orang tua atau life style yang dipilih tidaklah secara langsung membahayakan hubungan dengan anak. Misalnya dalam situasi Joe dan Sarah, hal ini merupakan tugas yang sulit untuk menyelesaikan kedua hubungan dalam perilaku yang berpotensi membahayakan anak-anak.

            Goldsteins dan kawan-kawan (1996) menawarkan gagasan dari perubahan interes anak, dimana penempatan keputusan hak asuh anak harus tetap membuka kemungkinan dari keadaan intervensi dan penempatan secara permanen terhadap satu pihak. Selain itu, Walldan Amadio (1994) menyatakan bahwa keputusan pengasuhan anak harus didasarkan pada keseluruhan anggota keluarga dan membutuhkan seluruh anggota keluarga untuk memberikan banyak manfaat dan hubungan yang berkelanjutan antara orang tua dan anak-anak.

            The Uniform Marriage and Divorce Act (Undang-Undang Perkaminan dan Perceraian) tahu 1976 menusulkan lima kriteria untuk menetapkan hak asuh anak yaitu: a) keinginan orang tua anak, b) keinginan anak,c) hubungan antara anak, orang tuanya, saudara kandung, dan orang lain yang memberikan pengaruh siginifikan pada kepentingan terbaik anak, d) penyesuaian anak di rumah, sekolah, dan masyarakat, e) kesehatan fisik dan mental orang-orang yang terlibat dengan anak. Tidak dapat disangkal, kelima kriteria ini sangat bersifat psikologis. Sehingga pengadilan seharusnya menangani isu-isu psikologis dengan atau tanpa bantuan ahli psikologi.

            Kadang-kadang psikolog klinis bertindak sebagai penasehat pengadilan, dan kadang-kadang psikolog dengan pendapat yang beragam tentang apa yang terbaik bagi seorang anak akan menawarkan kesaksian yang berlawanan, yang mendukung ayah dan ibunya. Seringkali hakim menunjuk  ahli psikologisnya sendiri untuk melaksanakan evaluasi hak asuh atas nama pengadilan. Salah satu tugas psikolog yang bertugas di pengadilan misalnya dapat meneliti hubungan keluarga dan untuk mengidentifikasikan kekuatan dan kelemahan masing-masing.

            Psikolog yang diminta untuk melaksanakan pengukuran harus menyandarkan diri pada berbagai sumber informasi. Pedoman APA menyebutkan bahwa evaluator hak asuh anak mengumpulkan informasi yang relevan dengan tiga macam isu yaitu:

  • Kebutuhan psikologis dan perkembangan anak
  • Kekuatan dan kelemahan masaing-masing orang tua
  • Interaksi dan hubungan diantara setiap anggota di dalam keluarga.

Saran Untuk Penelitian Kedepan

            Penelitian kedepan diperlukan untuk melihat faktor apa saja tepatnya yang mendasari pembuatan keputusan hak asuh anak diberikan tertutama yang berdasar atas standar “kepentingan anak”. Sebelum panduan yang spesifik ditetapkan, hal ini harus juga diwadahi. Selain itu, penelitian juga bisa melihat seberapa jauh konsep gender bisa menimbulkan bias dalam pemberian hak asuh satu-satunya terhadap anak, karena terkadang banyak pandangan yang mengatakan bahwa wanitalah yang paling cocok untuk merawat anak.   

HUKUMAN: PSIKOLOGI REHABILITASI REMAJA

Pendahuluan

Kontroversi yang meliputi penanganangan yang tepat untuk remaja yang melakukan pelanggaran masih menjadi perdebatan hingga sekarang. Ada dua pendekatan yang digunakan dalam memandang pelanggaran remaja yaitu apakah ia harus langsung dihukum layaknya orang dewasa (Retributive Model) atau dilakukan rehabilitasi (Rehabilitative Model).

Pemberian rehabilitasi atau model rehabilitasi berdasarkan keyakinan bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh remaja harus dilakukan treatment, jika treatment tersebut berlangsung baik, maka ia terbebaskan dari perilaku kriminal. Tentu saja, dalam pemberian rehabilitasi juga harus mempunyai tujuan utama yang harus dicapai untuk sistem peradilan remaja. Sedangkan  retributive model mengganggap bahwa remaja yang melakukan tindak kejahatan atau pelanggaran haruslah mendapatkan hukuman yang keras. Dari ilustrasi kasus Kinkel, beberapa orang berpendapat bahwa kejahatan yang dilakukan olehnya membutuhkan perawatan, sedangkan yang lainnya berpendapat dia harus mendapatkan hukuman yang berat.

Contoh Kasus:

Pada tanggal 21 mei 1998, siswa tingkat tahun pertma yang berumur 15 tahun yang bernama Kiplan Kinkel menurut dugaan melakukan kejahatan mengerikan. Anak laki-laki muda ini berjalan dalam Kafeteria sekolah dan menembakan senjata dalam ruangan yang penuh dengan siswa tersebut. Dia menembak hampir sebanyak 52 rentetan, hingga seolah terdengar seperti bunyi kembang api. Amukan Kinkel tersebut membuat dua orang meninggal dan 22 lainnya terluka. Parahnya lagi, Ia juga membunuh kedua orang tuanya sebelum berangkat ke sekolah hari itu. Kinkel sebenarnya sudah mengumumkan kepada gurunya bahwa ia bermimpi menjadi pembunuh dan dia menggekspresikan kekagumannya kepada seorang teroris atau pembunuh. Selain itu, sehari sebelum penembakan dia tertangkap membawa senjata di sekolahnya, namun alih-alih diserahkan kepada konseling psikologi atau pusat perawatan, Kinkel dilepaskan dan dikembalikan kepada orang tuanya pada hari yang sama.

Literature Review

Kasus Kinkel adalah sesuatu yang sangat kontroversial mengingat apa yang telah dia lakukan walaupun usianya masih terbilang muda.  Kasus ini terbilang menjadi salah satu sorotan yang mengandung banyak perdebatan, apakah ia diadili layaknya kejahatan yang dilakukan oleh orang dewasa atau sistem pengadilan remaja. Ketika penggadilan pada remaja ditetapkan, biasanya yang menonjol untuk selanjutnya adalah fokus kepada rehabilitasi. Sistem peradilan remaja dibangun secara terpisah dari sitem peradilan orang dewasa, hal ini diasumsikan berdasarkan remaja yang bersalah cenderung berbeda dengan orang dewasa. Atau dengan kata lain pelaku kriminal remaja dipisahkan dengan pelaku kriminal dewasa, dengan alasan bahwa perilaku kriminal remaja tersebut masih dapat diubah.

Perbincangan mengenai penanganan apakah yang tepat dalam pelanggaran remaja, menjadi sesuatu yang seolah bersebrangan. Grisso (1996) mencatat bahwa para pembuat aturan lebih sekapat pemberian hukuman atas pelanggaran remaja dari pada memberikan rehabilitasi. Sedangkan para pakar kesehatan mental seperti psikolog pengadilan pelaku kejahatan remaja harus menyadari bahwa remaja memiliki hak untuk menyadari akibat perbuatannya pada korban (cognitive meaning) dan memperbaiki diri (behavioral meaning), dalam artian mereka membutuhkan rehabilitasi untuk perubahan perilaku.

Weaver (1992) mendiskusikan salah satu program di Florida yang didesain untuk remaja yang melakukan kejahatan yang serius. Program ini disusun berjalan dengan sukses tanpa memenjarakan remaja.  Program ini disusun atas tiga phase dimana di dalamnya remaja bekerja keras, mendapatkan pendidikan, dan belajar keterampilan kerja. Program ini adalah program kompetensi perilaku dimana remaja akan menerima “point’ atas peningkatan performa dari tugas sehari-hari yang mereka lakukan. Point yang terkumpul bisa ditukar dengan berbagi macam hak istemewa. Hasil dari program ini membuktikan bahwa rehabilitasi yang dilakukan efektif dalam merubah gaya hidup kriminal dari remaja yang melakukan pelanggaran. Kemudian, polisi di salah satu Negara bagian Amerika mengatakan bahwa program yang berbasis komunitas lebih efektif merubah perilaku remaja dari pada memenjarakan mereka (Melton, et al, 1997)

Psikologi Forensik dan Dampak Kebijakan

            Masalah-masalah yang terlibat dalam putusan hukuman dari pelanggar remaja menimbulkan implikasi untuk berbagai bidang forensik psikologi. Para psikolog ferensik membutuhkan kedua sisi dari perdebatan putusan hukuman. Disatu sisi, mereka yang menyepakati  memberikan rehabilitasi bagi para pelanggar remaja harus bisa menghitung atau mengukur siapa saja yang bisa atau berhak menerima pelayanan-pelayanan semacam hal tersebut. Satrus (1994) menyatakan bahwa mungkin saja, pelayanan rehabilitasi yang ada sekarang ini tidak memiliki pedoman yang komprehensif. Dengan data yang jelas mendokumentasikan bagaimana program rehabilitasi dijalankan untuk melindungi masyarakat dari tindakan kekerasan remaja dimasa yang akan datang, kemungkinan masyarakat dan pembuat kebijakan akan menahan diri dari memberikan hukuman kepada remaja.

            Sedangkan, bagi mereka yang mendukung model balasan hukuman dalam menghukum remaja yang melakukan pelanggaran juga harus bisa menjelaskan alasannya, dari era yang memberikan hukuman yang keras kepada pelanggar, remaja seperti Kinkel terus melakukan kejahatan yang bengis seperti itu. Tercatat sejak tahun 1992, ada 16 kasus serupa seperti Kinkel. Ini berarti memberikan bukti bahwa dengan memberikan hukuman tidak mengurangi kasus kejahatan yang dilakukan oleh remaja.

 

 Saran Untuk Penelitian Kedepan

Sangat kurang sekali studi longitudinal yang mencoba membandingkan dua pendekatan ini yaitu hukuman dan pendekatan hukuman balasan untuk melihat manakah yang lebih efektif untuk merubah perilaku semaja.

Selain itu tidak ada studi tentang usaha mendeteksi dasar kebebebasan menentukan keputusan dari hakim dalam peradilan remaja. Ini sebenarnya sesuatu yang sangat penting untuk diteliti kenapa hakim memberikan hukuman kepada beberapa remaja dengan memasukannya ke dalam ke dalam penjara sedangkan yang lainnya dengan perkara yang sebanding diberikan hukuman percobaan (hukuman bersyarat) atau program rehabilitasi. Kemudian, Penelitian lain juga dibutuhkan untuk menguji desain program rehabilitasi yang berjalan apakah sudah efektif ataukah membutuhkan perubahan guna perbaikan.

Previous Older Entries