Lingkar Kekerasan

Kekerasan itu ibarat lingkar yang sulit putus. 

Saat aku bertugas di Ketapang. Aku  sering berdiri dengan getir dihadapan puluhan masyarakat dan guru.  Sering kali memohon dan sebagian besar hampir menangis. 

“Mau sampai kapan anak-anak dikerasi di desa ini Pak, Bu!” 

“Harapan anak-anak di desa ini itu tidak banyak, disayang, tidak pukul, tidak dimarahi terus menerus agar mereka bisa belajar dengan senang”

“Dampaknya mungkin tidak dirasakan sekarang, tapi nanti saat anak Bapak dan Ibu besar.”

Relasi kuasa orang dewasa kepada anak kecil dianggap hal yang sangat lumrah. Anak seperti objek, dapat ditundukan dengan segala cara termasuk dengan kekerasan.  Hal serupa juga terjadi saat aku bertugas di Banggai menjadi guru. “Pukul pakai rotan, cubit saja itu Enci (Bu Guru) kalau nakal di kelas, anak-anak di sini tidak bisa dikasih hati.” Lalu kekerasan semacam warisan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. 

” Ibu marah, kenapa dia (menunjuk anaknya) cubit cucu Ibu, jadinya si kecil menangis. Memang gak pernah telaten mengurus anak. Siapa yang mengajar begitu?” 

Di lingkup terkecil keluarga. Rupanya sang ibu lupa, bahwa anak-anaknya telah dibesarkan dengan pukulan dan banyak pertengkaran.  Sang anak yang telah berkeluarga tanpa sadar meneruskan strategi ampuh ini untuk menundukan si kecil yang terus merengek meminta mainan. Setelah si kecil diam, kemudian dipuji kepintaran dan perilaku menurutnya. 

Kekerasan lebih dari sekadar luka fisik yang sembuh dengan waktu

Seorang anak yang dilecehkan oleh orang terdekatnya pada usia sekolah masih terus bisa mengingat setiap rincian kejadian hingga puluhan tahun berikutnya. Seorang wanita yang dipukul suaminya terus menerus merasa ketakutan di dalam rumah yang seharusnya menjadi tempat paling nyaman. Seorang remaja laki-laki yang dirundung saat SMA merasa terus terisolasi hingga dewasa. Luka fisik bisa lebih mudah hilang namun dampak psikologis, menjadi lebih rumit untuk disembuhkan.

Kekerasan, Pengetahuan dan Perubahan Budaya

Aku ingat, meminta orang tua dan guru berjanji tidak melakukan kekerasan adalah hal yang paling sulit dilakukan. Lebih sulit dari pada meminta guru masuk tepat waktu atau meminta orang tua menemani anak belajar. 

“Setelah kami berjanji tidak melakukan kekerasan, 6 bulan anak-anak di sini jadi melunjak” Ucap salah satu guru di pertemuan. Seperti kembali ke pola yang sama. Orang tua kemudian mempersilahkan anak-anak diberikan hukuman untuk bisa belajar dengan baik. 

Kekerasan adalah salah satu cara paling singkat untuk membuat seseorang tunduk. Aku belajar perlu ada alternatif pengetahuan baru bahwa pelukan, apresiasi, dialog, konsekuensi yang mendidik adalah bekal untuk orang tua dan guru dalam mendidik mereka. Gap pengetahuan yang sangat sulit sampai ke ruang paling kecil yaitu keluarga. 

Pengetahuan yang seharusnya juga mengubah paradigma budaya. Bahwa laki-laki dan perempuan seharusnya setara begitu juga relasi anak dan orang tua. Bahwa setiap orang punya hak untuk bersuara, menjadi dirinya apa adanya, dan lingkungan yang nyaman tanpa kekerasan adalah bagian dari hak hidup sebagai manusia.

Sepertinya, selalu menjadi hal yang rumit ya.

Kekerasan dan Bom Waktu

Butuh usaha yang besar dan lingkungan yang supportif bagi anak dan orang dewasa dalam lingkar kekerasan untuk bisa menerima dirinya sendiri, merasa tidak diabaikan, atau keluar dari trauma. 

Kadang berhasil, sering juga terus berada di pojok paling gelap tanpa tau dimana letak cahaya. 

Sulit lekang dimakan waktu. Memori akan kekerasan ibarat trigger sempurna saat seseorang mengalami situasi yang menimbulkan stres. Menjadikan seseorang terus menghubungkan masa lalu dengan kondisi yang dihadapinya sekarang. Bisa jadi, bagi sebagian orang peristiwa A seharusnya dihadapi dengan sangat normal, namun bagi mereka..

Menjadi semakin rendah diri atau agresi? melawan atau  menghindar? menjadi penakluk atau merasa bersalah? Arogan atau tidak berharga? Pada kasus-kasus tertentu menjadi teror dan semakin tidak berdaya.

Kekerasan ibarat bom waktu bagi diri. Menggerogoti pelan dan menghancurkan dengan kejam. 

***

Semoga saja, dunia ini menjadi tempat yang lebih baik buat semua.

Tanpa kekerasan.