Refleksi: Kenangan dan Renungan

Sisi lain dari musik festival.

Saya menyumpah kenapa makanan saya harus disita hanya untuk melihat festival musik. “ pasti karena kita disuruh beli makanan di dalam”, tentu saja ini valid, karena begitu banyak food truks di arena festival.  

Beberapa jam kemudian saya langsung menarik sumpahan saya. Saat melihat seorang bapak, tua, berseragam hijau, sapu di tangan kanan, dan tempat sampah di tangan kiri. Bapak itu juga berada di tengah lapangan,  masuk dalam kerumunan anak muda yang hanyut dengan konser musik sang idola. Tujuan bapak bukan ikut berjoget, tetapi menuntaskan tugasnya untuk mencari sampah-sampah berserakan yang dibuang sembarangan.   Saya menjadi bersyukur, paling tidak larangan membawa makanan dari luar, mungkin sedikit mengurangi beban sampah yang harus dibersihkan oleh orang-orang seperti bapak ini.

Serupa tapi tidak sama dengan sang bapak.

Seandainya wanita itu tidak menggunakan make up tebalpun, wanita itu terlihat sangat cantik. Rambutnya panjang lurus, tubuhnya ramping, apalagi dengan balutan baju putih ketat dan sepatu berhak tinggi.  Dia pasti lelah pikir saya. Tanpa suara, hanya menyorokan kotak rokok kepada banyak laki-laki untuk dibeli.  Rokok dan sales perempuan sepertinya adalah stategi jitu penjualan perusahaan. Saya jadi penasan, para laki-laki itu, membeli rokok apa karena candu dengan tembakau atau justru rancu dengan sang penjualnya. Saya tidak bisa menjawabnya.

Ragam lain di sudut yang berbeda

Saya beranjak menuju mushola di lokasi festival. Dengan santai saya berjalan di antara beraneka booth yang meramaikan festival. Ada kaos, marchendise, makanan, sampai pameran tentang persiapan Asean Paralimpic Game dimana mereka yang difabel yang menjaganya.

Waktu magrib masih lama, saya tidak perlu tergesa batin saya.

Dalam acara festival dengan banyak pecinta musik dan penikmat kesenangan  dengan segala rupa di luar konsep normal manusia, pasti mushola bukan tempat yang ramai pikir saja.  Lalu saya sungguh terkejut, bahkan hanya untuk wudhu, saya harus anti lebih dari 30 menit. Ada 8 keran air untuk laki-laki dan perempuan, dan semuanya antri panjang dan meliuk-liuk. Belum lagi antri untuk sholat “duh… wudhu antri, sekarang saya juga harus menunggu ada mukena yang nanggur” kata seorang perempuan.

Ternyata saya salah,  Tuhan dan ritualnya selalu punya tempat. Entah karena ingin kembali, atau sekadar menuntaskan kewajiban. Hal yang sama saya pertanyakan untuk diri sendiri.

Waktu kemudian berlanjut untuk bergembira kembali.

Apa yang ada di dalam fikiran orang-orang ini saat mendengarkan lagu-lagu melow sudah berumur 10 tahun lebih. Mereka bernyanyi, saling merangkul, bergoyang santai, sambil melambaikan tangan ke atas. Sang penyanyi, lebih banyak menyorkan mikrofon ke penoton karena merasakan aura bahwa penonton inging bernostalgia dengan lagu. Bagi saya sendiri, beberapa lagu yang dinyanyikan adalah penanda dari banyak kehidupan saya.  Saat remaja dan pertama kali jatuh cinta, saat musik dan band adalah tanda bahwa kita keren, saat pertemanan dan mimpi mulai dirajut, saat harus mengepak dari satu kota ke kota lainnya, atau masa-masa gagal kemudian beranjak untuk segera bangkit. Bagi saya, lagu itu sama layaknya buku, selalu menjadi teman setia pengantar banyak kehidupan.

***

Kearifan paling purba adalah menunaikan kewajiban (Amba, Laksmi P)

Kenangan, kadang tidak hanya sekadar merefleksikan apa yang kita lakukan dimasa lampau, tetapi menyesali apa yang tidak kita lakukan di masa lampau.

Jakarta, 10 Oktober 2017.

Rangga dan Pengingat

“Saya ingin jadi tentara Enci, masih sama seperti dulu” Ucap Rangga di pantai saat aku kembali lagi ke Desa Moilong.

Selalu ada yang sama dari Rangga, anakku yang sekarang duduk di kelas 1 SMP. Tidak banyak cakap dan lebih sering mengamati sekitarnya.

Saat aku mengingalkan Moilong dulu, Rangga masih kelas tiga SD, setiap sore ia akan pergi ke sekolah entah membaca atau hanya sekadar bermain. Rangga dan adiknya Sindi adalah orang yang selalu konsisten menenaniku pergi sembahyang dan mengaji di mesjid.  

Dulu, Rangga memberikan kado paling bermakna untukku sebagai tanda perpisahan.  Sebuah Al-Quran tua, bertuliskan namanya dan dibungkus dengan kertas koran.  Perasaanku selalu damai jika menyentuh hadiah ini, membayangkan Rangga kecil dengan ketulusannya memberikan yang dia punya untuk Encinya yang beranjak pergi.

Rangga belum berubah, di usianya yang beranjak remaja, mesjid adalah salah satu tempat persinggahan kesehariannya dan mengaji masih menjadi kebiasannya.  

Rangga adalah  pengingatku untuk memberikan yang terbaik dikondisi seturpuruk apapun. Saat Rangga duduk di kelas enam dan sedang ada ulangan, ibunya meninggal karena sakit. Rangga menyelesaikan ujiannya sampai selesai,  baru meminta izin untuk meninggalkan sekolah. Tidak banyak yang tau bahwa Rangga sebenarnya menangis saat  berlari pulang.

Rangga adalah simbol akan semangat dan kebermaknaan untukku.  Akan kuambil nafas panjang, kutatap fotonya di meja kantorku, dan kuingat lekat semua tentang Rangga saat aku lelah dengan pekerjaan, bertanya banyak hal tentang hidup, mencari rupa tentang Tuhan atau sekadar bernostalgia betapa bahagianya saat aku menjadi seorang Enci .

Malam ini, Rangga mengingatkanku kembali untuk lebih bersyukur, dan menampar dengan keras bahwa ada makna mengapa seseorang dilahirkan di dunia ini. Bahwa mungkin untuk memberikan kebermanfaatan untuk manusia lainnya.

Rangga, terimakasih untuk terus menjadi pengingat Enci.