Berefleksi dari Petebang (Mensinergiskan Kepedulian)

 

“Berburu ke padang datar, mendapat rusa berbelang kaki,

Kalau berguru kepalang ajar, bagai bunga kembang tak jadi”

(Pantun yang dibacakan Pak Liang di Pertemuan Dewasa)

WP_20141010_043

Perjalanan menuju desa Petebang Jaya

Desa Petebang Jaya adalah salah satu dari enam desa yang menjadi uji coba penelitian KIAT Guru (tempat saya bekerja sekarang). Desanya terletak di dataran tinggi yang wilayahnya masih banyak dinaungi hutan rimbun alami. Sebagian penduduknya menyandarkan penghasilan dari bertani karet, berladang dengan berpindah-pindah adalah untuk memenuhi kebutuhan akan beras di sepanjang tahun dan berjualan buah-buahan pada musim tertentu (misalnya duren). Jarak dari ibu kota kecamatan sekitar 33 Km, 11 Km di antaranya akan melewati hutan, tanah berlumpur,  jalanan berkelok rusak, dan hampir tidak ada rumah, apalagi desa atau kampung hingga sampai ke wilayah Desa Petebang (tapi jujur, pemandangannya menyegarkan). Desa Petebang Jaya memiliki tiga dusun dengan 176 kepala keluarga dan total 636 jiwa penduduk. Seratus persen penduduknya adalah Dayak yang sekarang beragama Kristen Katolik.  Cerita tentang asal usul masyarakat Petebang cukup menarik, menurut  Pak Budi (mantan guru di Petebang) dan beberapa referensi yang saya baca, masyarakat Dayak daerah ini berasal dari sub suku dayak Pesaguan Kanan, namun masyarakat lebih mengklaim dirinya sebagai Dayak Lemandau. Ada yang mengatakan bahwa mereka melarikan dari akibat perbudakan di Kalimantan Tengah, ada juga yang menjelaskan bahwa mereka melarikan diri agar tidak dijadikan tumbal untuk persembahan.  Membuat kampung dengan menebang pohon-pohon yang masih rimbun sehingga disebut desa Petebang.

IMG_0160

Budaya yang kental di desa Petebang

Saat memasuki Dusun Petebang dan mampir di salah satu rumah, saya terkesan dengan lukisan di depan rumah yang menggambarkan kebudayaan Dayak. Seorang laki-laki dengan perisai dan tombak serta pakaian khas Dayak. Saya membayangkan, mungkin inilah replika suku Dayak jaman dulu di mana masyarakatnya sepenuhnya masih mengandalkan alam untuk bertahan hidup. Sampai sekarang, budaya yang mencerminkan tatanan masyarakat Dayakpun masih sangat kental  yang terlihat dari berbagai macam upacara adatnya.

 Di desa ini ada demung adat yang mengatur tata cara bermasyarakat terkait hidup dan mati. Soal hidup misalkan pernikahan, membangun rumah, tempat berladang atau membantu menyelesaikan perkara perselisihan. Dan soal kematian terkait serangkaian upacara (seperti begendang) yang harus dilakukan keluarga yang ditinggalkan. Demung adat di Petebang bernama dipanggil Pak Kuan, sudah puluhan tahun menjabat sebagai demung adat. Umurnya mungkin lebih dari 80 tahun.  Saya membayangkan pasti sudah banyak masalah masyarakat yang dibawa ke beliau dan diselesaikan. Membayar tajau dan piring adalah hal  yang umumnya harus dilakukan pihak yang bersalah kepada  pihak yang memenangkan pertikaian, dan hal tersebut dilakukan dan ketahui oleh mayarakat umum. Menjadi demung adat pastilah orang yang cukup bijaksana untuk jeli dan adil dalam memutuskan pertikaian masyarakat.

Pertemuan dewasa 5

Pak Kuan, Demung Adat Petebang

Pak Kuan adalah mantan guru di salah satu sekolah swasta yang cukup disiplin terhadap peraturan. Sehingga ketika diajak berbicara pendidikan, Pak Kuan akan sangat fasih membandingkan positifnya pendidikan jaman dulu dengan tantangan yang harus dibenahi dijaman sekarang. Pak Kuan pernah berada pada masa di mana guru-guru yang hadir sangat disipilin untuk mengajar dan ada pembinaan yang baik dari pemerintah sehingga guru terkontrol dan baik perkembangannya.  Menurut beliau, pada umumnya orang tua sudah mengerti anak-anak membawa tingkah laku yang negatif karena perkembangan jaman, dulu ketika beliau menjadi guru anak-anak diajar dengan baik dan dididik norma-norma, sekarang sudah tidak ada. Dulu di sekolah, selalu ditekankan tentang Pancasila dan nilai-nilainya dan sekarang sudah sangat luntur.

Mendengar kata-kata Pak Kuan, saya menjadi ingat satu ungkapan terkenal dari Ali Bin Abi Thalib tentang pendidikan “didiklah anakmu sesuai dengan jamannya, bukan sesuai jamanmu karena dia hidup dijamannya  sendiri”. Menjadi pertanyaan mendasar kemudian dibenak saya, Apakah sistem pendidikan yang kita bangun sekarang sudah mampu menyeleraskan kebutuhan akan perkembangan jaman anak-anak didik kita yang semakin kompleks?. Bukan hanya melulu soal kognisi, tetapi seperti jabaran Pak Kuan juga terkait bagaimana anak didik menghormati nilai dan norma-norma kehidupan. Apakah bekal untuk para orang tua dan pendidik sudah cukup untuk menyiapkan anak-anak hidup sesuai dengan jamannya?

Saya menyakini sebenarnya budaya dan kearifan lokal masyarakat pasti memiliki nilai-nilai universal yang luhur untuk diturunkan kepada generasi berikutnya. Nilai ini sebenarnya akan menjadi panduan dalam berperilaku keseharian. Di setiap agamapun pasti mengajarkan hal yang sama. Sekarang pertanyaan besarnya, kenapa nilai-nilai ini semakin jauh dari keseharian kita sekarang? Menarik benang merah ke pendidikan, lagi-lagi pertanyaan mendasar kemudian muncul, “ apa yang sebenarnya salah?”.

???????????????????????????????

Anak-Anak Desa Petebang

Menilik budaya Dayak, keberadaan hukum adat di suatu daerah pada dasarnya menjadi modal untuk mengatur kehidupan bermasyarakat termasuk bagaimana pendidikan harus dijalankan. Well, ini hanya logika ideal saya si.. Sebut saja misalkan upacara adat yang dilakukan selepas panen ladang, bagaimana misalnya pemuka adat, guru atau orang tua dapat bertutur  kepada anak-anak tentang rasa syukur, mengormati alam dan leluhur, berbagi dengan merayakannya bersama, atau bagaimana budaya gotong royong dalam berladang harus terus dilestarikan oleh masyarakat (apalagi budaya Dayak mempunyai budaya lisan yang kental). Pendidikan seperti ini sangat bersifat lokal, tidak ada di buku cetak pemerintah, tetapi sangat dibutuhkan oleh anak-anak suku Dayak yang mempunyai perbedaan budaya dengan anak lainnya. Nilai-nilai universial mencintai dan menjaga alam, toleransi kepada sesama, dan tolong menolong suatu saat akan menjadi bekal untuk mereka menghadapi dunia luar.

            Ketika berkunjung ke Petebang, saya dan koordinator kabupaten (Mas Handaru) melakukan pertemuan dengan guru-guru, anak-anak dan penduduk desa. Koin sosial saya hampir habis karena harus berinteraksi dengan begitu banyak orang. Saya harus berterimakasih kepada koordinator kabupaten saya yang dengan konsisten mampu mendengarkan banyak cerita masyarakat yang datang silih berganti. Refleksi saya adalah masyarakat itu hanya butuh didengarkan atas keluhan dan masalah mereka, kemudian berdialog untuk bersama-sama menemukan jalan keluarnya. (lha…dikunjungi pemerintah aja jarang).  Di luar uji coba penelitian, saya belajar sangat banyak tentang dinamika dan tantangan masyarakat di level akar rumput.

???????????????????????????????

Diskusi Pendidikan Bersama Masyarakat Petebang

            Di pertemuan masyarakat saya bertanya “apa atau siapa yang bertanggung jawab dalam kualitas pendidikan anak-anak kita di desa ini”.  Perwakilan masyarakat menyebutkan guru, orang tua, siswa, komite sekolah, sarana dan prasarana, pemerintah, masyarakat dan hukum.  Kalau boleh jujur, kemampuan saya memfasilitasi masih sangat minim untuk orang sebanyak di desa Petebang yang hampir semuanya ingin bercerita dan mengeluhkan uneg-unegnya. Catatan pentingnya adalah belanja sosial yang sudah saya dan mas Handaru lakukan dihari sebelumnya cukup membantu untuk lebih memetakan masalah dan mengarahkan ke tujuan pertemuan.

            Apa yang paling menarik dari diskusi pendidikan di Petebang??, mungkin kata yang tepat adalah “ Mensinergiskan Kepedulian”. Saya percaya semua orang peduli terhadap pendidikan, saya juga sangat menyakini bahwa semua orang tua ingin anaknya pintar, masyarakat ingin berbangga terhadap anak-anak yang memiliki prestasi, pun guru selaku pemberi layanan pendidikan pasti bercita-cita akan keberhasilan anak didiknya, apalagi pemerintah yang pastinya akan sangat peduli dengan angka Education Development Index yang kabarnya masih di ranking 69 dari 127 dunia.  Setiap unsur ini punya cara untuk mewujudkan kepeduliannya, pekerjaan besarnya menurut saya adalah memaksimalkan dan mensinergikannya.

Pak Kuan berkata, “ Pendidikan sekarang semakin semeraut”. Ucapan beliau mungkin benar adanya.  Ketika guru merasa sendiri dan kurang diapresiasi, komite sekolah ingin membantu tapi kurang mengerti bagaimana perannya, dan orang tua murid yang ingin anaknya sekolah dengan baik kemudian gelisah dengan menyalahkan pihak sekolah. Apalagi ketika pemerintah alpa untuk menengok pendidikan di daerah terpencil.  Ujung pangkalnya tentu saja kualitas pendidikan anak.

Saya tidak tau sebenarnya apa saja tugas komite sekolah, sehingga takut kalau salah langkah” ucap Pak Liang. Well, rupanya menjadi fasilitator pendidikan harus menguasai banyak isu seputar masalah pendidikan baik dalam tataran praktis maupun ideal. Saya kemudian menemukan pemahaman bahwa bisa jadi masayarakat akar rumput sangat ingin berperan dalam proses perkembangan pendidikan di desanya, tetapi PRnya adalah bagaimana mengedukasi mereka, memberikan wawasan pentingnya keterlibatan dan tindakan yang harusnya perlu dilakukan. Saya membayangkan, ketika seorang Pak Liang atau banyak komite sekolah lainnya di daerah terpencil yang berpendidikan terbatas, kemudian dibebani menjadi komite sekolah, tidak pernah mendapatkan pengetahuan fungsi dan perannya, bisa jadi ada dua pilihan. Bagi orang-orang yang ingin melihat perubahan yang lebih baik, akan bergerak sesuai dengan insting atau naluri perbaikannya yang bisa jadi semakin baik atau justru memperkeruh keadaan, atau bagi mereka yang tidak terlalu peduli, akan menjadikan komite sekolah hanya sekedar pajangan nama di papan sekolah. Dimintai tanda tangan ketika dibutuhkan, dan dianggap benalu ketika  berhubungan dengan keuangan sekolah. Hal serupa juga saya liat di sekolah lainnya. Ada sorot tidak percaya diri di mata mereka  “saya hanya lulusan SMP, yang ingin melakukan sesuatu tetapi tidak tahu harus bagaimana”,  rupanya mengedukasi komite sekolah di daerah terpencil untuk terlibat dalam proses pendidikan sama pentingnya dengan melatih kurikulum baru kepada guru-guru.

???????????????????????????????

Ibu-Ibu biasanya lebih tau tentang anak mereka

“Saya merasa tidak ada kepedulian dari masyarakat”, ucap guru dalam obrolan kami. Orang tua dalam kesempatan lain berkata “saya sudah membuatkan anak saya sarapan dan berusaha menyiapkan keperluan sekolahnya, saya kecewa jika anak saya tidak diajar dengan baik”. Lalu ada masyarakat yang berujar “harusnya pemerintah bisa membagunkan RGS (rumah dinas) yang rusak, biar guru yang jauh bisa tinggal di sini”. Jujur, saya merasa sedikit mellow drama berada dalam situasi seperti ini ketika membayangkan akan ada banyak anak berpotensi yang menjadi korban dari rusuhnya pendidikan. Saya menjadi bertanya, apa Undang-Undang kita terlalu abstrak untuk dirumuskan dalam tataran pelaksanaan?, atau sulitnya akses yang membuat keidealan cuman ada ditataran kebijakan?

Ketika membaca Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jujur saya merasa nasib negara ini akan semakin baik. Apalagi ketika pelibatan masyarakat semakin digalakan. Di dalam Pasal 8 disebutkan bahwa masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Selain juga penyeimbang di pasal 9 bahwa masyarakatpun berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan.  Di pasal lainnya juga disebutkan tugas seorang guru, siswa, orang tua dan pemerintah sendiri. Cita-cita besarnya adalah anak-anak tidak hanya mendapatkan pendidikan, tetapi sepenuhnya bisa mengembangkan bakat dan minatnya agar menjadi orang yang berguna untuk bangsa dan negara (Damai ya bacanya). Untuk daerah terpencil seperti Petebang, tugas besarnya adalah bagaimana mensinergikannya agar bergerak bersama-sama, sehingga untuk kumpulan pasal ini tidak hanya menjadi sekedar kata tetapi bukti nyata.

Semoga, seperti harapan Pak Liang mewakili masyarakat yang hadir di pertemuan, anak-anak Petebang tidak akan menjadi “ bunga kembang tak jadi”, karena semua pihak bekerjasama dan peduli. Amin

Catatan Pribadi :

Jujur, saya sempat khawatir dengan resistensi masyarakat kepada saya karena perbedaan agama dan respon orang-orang di kecamatan ketika tau saya akan menginap di Petebang. Namun saya senang kekhawatiran tersebut ternyata tidak terbukti. Di Petebang saya belajar bahwa perbedaan itu kadang hanya ada di fikiran. Saya menemukan toleransi dan sikap masyarakat yang menerima saya dengan terbuka. “ maaf ibu, makanan yang kami sediakan yang sesuai hanya telur dan mie”  kata Pak Liang kepada saya.  Sayapun bisa sholat dengan nyaman di tempat yang bersih dan suci. Senang bisa mengenal lebih dalam masyarakat desa ini dengan bonus bertambangnya pengetahuan tentang suku Dayak yang menjadi obsesi saya selama ini (rejeki tersendiri dari Tuhan yak).

WP_20141010_046

Motornya lagi direparasi 🙂

            Pulang dari Petebang, motor yang kami tumpangi gir rantainya rusak, dampaknya motornya gak bisa jalan. Korkab saya katanya sudah iklas harus dorong dari tengah hutan ke jalan poros. Saya kemudian berjalan beberapa ratus meter mencari sinyal. Sialnya pulsa saya hampir habis, telpon temen minta isikan malah ditolak (hiksss…ha). Disisa pulsa terakhir untungnya bisa mengubungi Pak Madat, kepala sekolah yang baru saya kenal beberapa hari, dan luar biasanya Pak Madat dari kecamatan datang ke jalan menuju Petebang membawa tukang bengkel dan membantu kami.  Beberapa orangpun berhenti untuk membantu kami kemudian. Sekali, Tuhan maka baik kok ya, meskipun kemudian hujan cukup deras, kami akhirnya berhasil tiba dengan selamat di Kecamatan.  Jika tujuannya baik, disela kesulitan pasti ada kemudahan. (lain kali, cek beneran motornya ya…)

Saya bersyukur bisa belajar lebih banyak