Menyeduh Makna

Salah satu bacaan  dipenghujung tahun ini adalah “Tuhan Dalam Secangkir Kopi” Karya Denny Siregar. Buku yang renyah tanpa menggurui, tetapi bagi saya, rangkaian kata dari buku ini membantu untuk melihat kembali beragam peristiwa dan memahami makna di baliknya.

“Kenapa belajar agama disebut mendalami? kenapa kita harus menyebutnya kedalaman beragama, bukan ketinggian beragama?” pertanyaan reflektif yang kembali menggugah sadar saya bahwa  belajar agama adalah sesuatu yang harus diresapi, bukan soal logika dan nalar yang harus selalu terjawab.  Mereka yang menyelami ilmu agama, tidak akan pernah merasa tinggi, semakin dalam ilmu agamanya semakin merendah dia dihadapan manusia lainnya, bukan semakin meninggi. Tulisan yang kemudian mengingatkan pencarian abadi saya akan makna hidup dan keberagamaan.

Bagian yang paling saya suka adalah tulisan Denny tentang arti perjalanan, merefleksikan tahun-tahun lampau dimana saya berusaha menemukan siapa sebenarnya Tuhan saya.

Mereka yang masih saja mengasumsikan bahwa berhala itu adalah patung-patung yang disembah, sungguh terlambat lahir. Dunia ini berhala, agama berhala, ekonomi adalah berhala. Anak-istri dan suami juga berhala. Bos diperusahaan itu bisa menjadi berhala. Bahkan ada yang memberhalakan dirinya sendiri.  Itulah kenapa Tuhan selalu menjatuhkan kita berkali-kali di dunia, hanya untuk “memberi tahu”, bahwa Akulah yang layak dicintai dan disembah.  Mereka yang mengagungkan Tuhan lebih dari semua unsur materi yang ada, tidak akan pernah kecewa terhadap dunia. Karena selalu bersyukur, mereka menjadi tenang. Dan begitulah Tuhan selalu menyapa mereka dengan kalimat- “Wahai Jiwa-jiwa yang tenang”. (Denny Siregar)

Saya kemudian bertanya kepada diri saya, apa yang membuat saya menjadi begitu gelisah akhir-akhir ini. Mengapa ada masa saya merasa begitu damai dan tenang, tetapi ada saat dimana saya mengutuk, mencaci, dan menyalahkan seolah alpa dari rasa syukur atas banyak nikmat. Akhir-akhir ini, saya juga begitu mengeluh tentang pekerjaan saya. Saya terus bertanya, mengapa ditempatkan di situasi dimana setiap orang menjadi saling berprasangka.

Hari ini saya menyadari bahwa Tuhan kadang mengajarkan kita lewat perantara, untuk memetik makna, dan memahami maksud dari sebuah peristiwa.  Jiwa yang tenang  adalah ketika saya memilikiNya di hati saya dan berusaha sempurna dihadapanNya. Sempurna di depanNya adalah saat kita menjadi rendah diri di depan Tuhan karena dosa-dosa yang pernah kita lakukan dan selalu bersyukur atas semua peristiwa yang diberikanNya kepada kita.

Kita ini ibarat cangkir. Tuhan ingin menuangkan kopi panas untuk kita. Tapi, Tuhan tahu, letak cangkir kita masih miring, sehingga ketika Tuhan menuangkan kopi panasnya, pasti kopi itu akan tumpah (Deny Siregar)

Saya kemudian ingat pertanyaan teman satu kantor saya beberapa hari yang lalu. “Dalam satu tahun, apakah kita bisa mencegah diri kita dari dosa?, jawabannya pasti tidak, tetapi dalam satu detik ke depan, apakah kita bisa mencegah diri kira dari dosa?, jawabannya adalah iya. Itulah sebabnya kita bisa hidup dari detik ke detik untuk menjaga diri dan terus berbuat baik”.

Jika makan, minum, kerja, sholat, silaturahmi, dan segala aktivitasmu adalah bagian dari ibadahmu.  Maka melakukan yang terbaik, sekali lagi bukan soal menjadi sempurna di depan manusia, tetapi merupakan bentuk rasa syukur kepada Tuhanmu.

***

 Well, bukankah kopi terlalu manis tidak enak dirasa, bubuk kopi yang terlalu pahit dan asam juga tidak sehat di lambung.

Mempertegas Kasta

“Mengapa orang harus mempertegas kasta? tidak bisakah kita membuat manusia setara?!”

Suatu malam di pertengahan bulan November, saya dan beberapa teman pergi ke sebuah pernikahan mewah di Hotel Darmawangsa. Menurut Google, untuk menikah di sana diperlukan uang paling tidak setengah miliyar.  Harga wajar untuk teman saya ini, master lulusan luar negeri, bekerja di perusahaan minyak international, dan anak seorang petinggi partai besar negeri ini.

Undangan yang hadir termasuk saya tentu saja sangat menikmati suguhan makanan yang super enak dan mewah. Dimulai dari daging beraneka masakan, bebek panggang, udang, sate, sushi, salad, hingga beragam kue, es krim, dan buah sebagai makanan penutup. Juga disediakan mini bar kecil untuk tamu undangan yang ingin memesan minuman beralkohol. Di sisi lain pelaminan, tersedia band yang bergenre clasic-jazz sebagai pengiring tamu untuk menikmati hidangan. Sang penganten,  menggunakan baju kebaya merah dengan model terusan-semi tradisional yang dipadukan dengan batik untuk bawahannya. Terkesan sederhana, tetapi saya yakin payet di kebaya teman saya ini di buat dengan detail dan dengan biaya yang tidak sedikit.  Ditambah lagi, kami sebagai tamu undangan, juga dimanjakan dengan video mempelai dari mereka kecil, hingga proses akad pernihakan. Sejenak, menonton video ini menyajikan bahwa kehidupan mereka benar-benar beruntung.

Tetapi di salah satu sudut ruangan, saya melihat seorang perempuan berpakaian babysitter sedang menjaga anak kecil. Sangat mencolok di tengah ratusan para undangan yang menggunakan setelan baju terbaik, dan riasan wajah yang membuat seseorang menjadi lebih lebih cantik. Perempuan ini memberi makan kepada si kecil di saat sang majikan menikmati hidangan atau mungkin belanja sosial dengan undangan lainnya.

Pemandangan ini membuat saya berefleksi,  tidak bisakah sang majikan memintanya berpakaian keseharian saja, yang membuatnya menjadi sama dengan para undangan lainnya, yang membuat saya tidak mencirikan sang perempuan sebagai orang bayaran sang majikan.  Apakah tidak bisa, perempuan yang sudah menjaga anak majikan ini juga sama-sama menikmati makanan yang super mewah ini, tanpa harus melihat tatapan manusia lain bahwa dia berbeda.

Entah apa yang difikirkan sang majikan. Mungkin ingin mempertegas kasta, memperjelas bahwa manusia itu setara dinilai dari harta. Pemandangan yang membuat saya berjanji, tidak akan memperlakukan orang lain seperti itu.

 ***

Lagi, saya berfikir dalam atas apa yang saya lihat belakangan. Ini adalah tentang Bos yang saya hormati, ketika dalam sebuah acara yang melibatkan pemerintahan diminta membawakan tas kecil bermerk mahal kepunyaan sang eselon satu.

“seberat apa tas itu, sampai harus ada orang yang membawakannya, yang saya lihat itu hanya tas kecil yang bisa diselempangkan di bahu”.

Sepanjang acara, otak saya tidak pernah berhenti untuk bertanya. Mengamati bos saya berdiri, berjalan, dan mengikuti kemanapun sang eselon pergi. Bos saya tampaknya begitu amanah, sampai tak satu detikpun dia letakan tas tersebut dari genggaman tangannya.

Hari itu saya sedih, pertama karena sang eselon adalah orang yang saya anggap berbeda dengan pejabat tinggi negara lainnya, yang kedua karena orang yang membawa tas tersebut adalah bos yang saya hormati.

Bos saya kemudian berkata “menjadi aspri seperti hari ini, membuat saya sadar bahwa saya tidak akan punya aspri untuk membawakan tas seperti itu”.

Ya… sekali lagi saya kembali belajar.