Cerita Baik Dari Kampung Sempekolan

WP_20160227_002

Guru dan masyarakat sudah bisa berdiskusi dengan cair (27 Februari 2016)

Teman satu tim saya berkata “mungkin SDN 20 yang nantinya paling sustain”, menanggapi inisiasi pihak sekolah membentuk koperasi bersama orang tua murid. Saya lalu mencoba mengingat kembali bagaimana orang tua murid dan guru di sekolah berproses untuk sama-sama saling belajar satu sama lainnya. 14 Februari 2015, adalah pertama kali mereka bertemu bersama untuk saling berdiskusi masalah pendidikan anak-anak mereka. Kampung kecil yang tidak pernah memperkenalkan urun rembuk untuk kepentingan anak. Saling menyalahkan, saling menuntut, dan merasa masing-masing pihak yang paling benar.  “ Sulit bu…orang tua di sini, sulit untuk peduli”, begitulah rupa-rupa ucapan yang sering saya dengar dari guru-guru. “ Guru-guru di sini susah berubah bu, mending diganti saja, banyak yang mau jadi PNS”, ucapan yang selalu saya dengar ketika ke kampung.

Saya selalu khawatir dengan sekolah ini, karena ada anak yang jalan lebih dari tujuh kilo meter untuk sampai ke sekolah.  Hutan mereka sebentar lagi habis, alam sudah tidak bisa menopang penghidupan sehari-hari, dan pendidikanlah yang bisa membuat hidup anak-anak ini lebih baik. Saya selalu bertanya, diantara keterbatasan pendidikan orang tua murid, apakah komunikasi sekolah dan orang tua selepas program KIAT Guru selesai akan terus berjalan?, Di satu tahun perjalanan saya dengan mereka, saya memahami bahwa ketika sekolah terus terbuka untuk menerima keterbatasan orang tua, sulitnya anak untuk menempuh pendidikan, menjadi contoh bagi mereka. saya percaya, bahwa anak-anak di kampung ini akan baik-baik saja.

Pelan-pelan saya mendengar berita baik dari kampung ini. Dimulai dari guru yang hadir tepat waktu, upacara bendera yang mulai rutin, dan pramuka yang mulai berjalan. “ tapi bu, orang tua di sini memang sulit, sapi masih saja ditambat, padahal sudah berapa kali kita pertemuan” “ Pak Andre harus merangkul orang tua ya pak, pelan-pelan saja”, ucap saya kepada Pak Andre. “ kata orang bu, jika daerah terpencil begini, bukan hanya murid yang diajari, tetapi juga orang tuanya”, tutur saya kepada Bu Rahayu

 Di Tanggal 27 Februari 2016 Pak Andre berucap “ jadi bapak dan ibu, kalau kita bikin koperasi, selain tujuannya untuk menjalin silaturahmi, juga bisa menjadi tabungan untuk anak-anak kita nanti, biar nanti bapak ibu kalau sudah mau lulus SD anaknya, tidak pusing lagi cari uangnya ya”. Orang tua yang mendengarkannya tampak sangat antusias dengan wacana sekolah ini. “ kami misalnya ada uang, seminggu sekali boleh nabung pak Guru”, “ kalau  anak kami lulus, kami tetap boleh menabung”, “ kalau misalnya meminjam boleh”, banyak pertanyaan dari orang tua tentang ide koperasi bersama ini. “Azaznya adalah kepercayaan” ucap bu Rahayu.  “ Pak Guru, bagaimana kalau kita ketika kelas enam lulus, kita adakan pesta, biar kumpul-kumpul” Ucap orang tua Mego. Pak Pandu  namanya, berjalan dari dalam hutan untuk ikut pertemuan. Masih dengan celana pendek dan sandal jepitnya. Saya mencintai kepolosan dan kepedulian Pak Pandu terhadap anaknya. “ Saya kasih Mego setiap bulan untuk uang jajan itu lebih dari 50 ribu, jadi tidak apa-apa kalau saya tabungkan buat dia”, Kata Pak Pandu antusias.

“ Saya tadi berjalan ke rumah beberapa orang tua bu…mereka antusias dengan koperasi ini, banyak yang bertanya”, ucap pak Andre saat menelpon saya. “ Pelan-pelan saja pak”, sahut saya kemudian. Satu tahun lebih sejak pertemuan untuk yang pertama itu, mereka sudah berproses untuk sama-sama saling menghargai. Mungkin masih banyak kerikil yang bisa merusak kerja sama yang mulai terbangun, namun saya percaya, ketika kepedulian kepada anak menjadi pemersatu, semoga selalu ada cerita baik di kampung ini.

Terimakasih telah mengajarkan saya luar biasa banyak satu tahun belakangan. Pada akhirnya saya lega, ada hal baik yang terus bisa kita usahakan.