Refleksi

“Tuhan memberikan kita pengalaman, agar kita berefleksi (Rahmi Yunita, 2022)”

Dibicarakan dengan santai, ku dengar dengan sekilas sambil bekerja. Namun sejekab membuatku menghentikan aktivitas. ” Refleksi itu harus diluangkan, karena orang dewasa belajar dari pengalaman” lanjutnya kemudian. Seperti John Dewey bilang we do not learn from experience, we learn from reflection.

Refleksi menjadi kata-kata yang begitu sering baca, dengar, dan tulis belakangan. Sebagian besar karena urusan pekerjaan, sebagian lagi karena urusan personal. Rupanya, semakin tua seseorang tidak menjamin bahwa memaknai pengalaman seharusnya dapat membuat seseorang lebih baik. Sesederhana mencoba unlearn pattern and learn pattern, bahwa jika kebiasaanmu tidak membuat lebih baik, maka cobalah belajar pola yang baru. Sederhana, tapi begitu sulit dibiasakan.

Refleksi…

Seseorang bilang dengan tegas kepadaku “Kamu ada di sini.. bukan di masa depan, bukan di masa lalu” coba rasakan sekitarmu, fokus!” Populernya katanya mindfullness, tapi mungkin bagiku adalah belajar untuk menyelesaikan dengan sabar satu persatu. Seperti mudah dilogikakan, tapi lagi-lagi sulit untuk dibiasakan.

***

Tulisan yang mungkin tidak selesai, karena aku-pun mencoba merefleksikan!

Mereka yang Merebut Hati Murid

Aku merinding, terharu dan hampir menangis saat memimpin sebuah sesi fasilitasi bersama beberapa kepala sekolah keren. (Frasa yang agak berlebihan, tapi begitulah!)

Sambil terus berharap pemimpin seperti merekalah yang ada di ujung-ujung desa terpencil, tertinggal dan terluar. Cermin dari sebagian besar sekolah yang ada di Indonesia.

Kebetulan semua kepala sekolah di kelompokku adalah perempuan.

Kekagumanku bertambah, bahwa pemimpin keren bukan hanya untuk kaum adam. Membayangkan kompleksitas sekolah yang mereka pimpin membuat aku sadar bawah mereka memiliki jiwa untuk murid, murid, dan murid. Sehingga apapun masalahnya, bisa diselesaikan dengan tenang.

” Ibu-ibu, jika boleh diceritakan, apa moment paling berkesan, paling menyentuh, paling tidak dilupakan selama menjadi guru”.

Satu-persatu jawaban mereka membuatku sungguh terharu.

” Ada seorang anak yang bilang kepada saya, I want to be like you. Setelah besar saya bertemu lagi dengannya, dia ternyata menjadi guru”

” Saya punya anak didik yang saya dampingi dari dia kecil hingga SMA sekarang. Anak berkebutuhan khusus (sekolah di SLB), dari kecil biasanya selalu mencari saya di sekolah. Termasuk jika membeli bakso, dia akan ingat saya. Saat vaksin kemaren di sekolah, dia tidak mau disuntik. Katanya, hanya mau disuntik oleh saya”

” Saya mengajar di asrama dengan anak-anak dari semua daerah. saat wisuda biasanya orang tua akan datang dan menemani anaknya. Seorang anak yang dekat dengan saya menulis surat dan berkata: Ibu, maukah jadi pendamping wisuda saya”

” Semua moment bersama anak sangat berkesan bagi saya. Salah satu yang sangat berkesan, saat murid saya menjadi dokter. Orang tuanya kemudian berkata kepada saya, terimakasih. Ini karena jasa saya. Ini sangat tidak terlupakan”

” Saya punya anak yang selalu bermasalah di sekolah. Suka merokok,sering kali dia marah kepada saya karena saya keras dan menegur dia. Yang paling berkesan, setelah dia lulus.. anak ini menghampiri dan bilang.. Ibu, terimakasih sudah sabar dengan saya”

***

Mendengarkan cerita mereka, membuatku sedikit demi sedikit lebih memaknai perkerjaan baruku ini.

Semoga saja, ada anak-anak yang terus lebih baik belajarnya ya!

Lingkar Kekerasan

Kekerasan itu ibarat lingkar yang sulit putus. 

Saat aku bertugas di Ketapang. Aku  sering berdiri dengan getir dihadapan puluhan masyarakat dan guru.  Sering kali memohon dan sebagian besar hampir menangis. 

“Mau sampai kapan anak-anak dikerasi di desa ini Pak, Bu!” 

“Harapan anak-anak di desa ini itu tidak banyak, disayang, tidak pukul, tidak dimarahi terus menerus agar mereka bisa belajar dengan senang”

“Dampaknya mungkin tidak dirasakan sekarang, tapi nanti saat anak Bapak dan Ibu besar.”

Relasi kuasa orang dewasa kepada anak kecil dianggap hal yang sangat lumrah. Anak seperti objek, dapat ditundukan dengan segala cara termasuk dengan kekerasan.  Hal serupa juga terjadi saat aku bertugas di Banggai menjadi guru. “Pukul pakai rotan, cubit saja itu Enci (Bu Guru) kalau nakal di kelas, anak-anak di sini tidak bisa dikasih hati.” Lalu kekerasan semacam warisan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. 

” Ibu marah, kenapa dia (menunjuk anaknya) cubit cucu Ibu, jadinya si kecil menangis. Memang gak pernah telaten mengurus anak. Siapa yang mengajar begitu?” 

Di lingkup terkecil keluarga. Rupanya sang ibu lupa, bahwa anak-anaknya telah dibesarkan dengan pukulan dan banyak pertengkaran.  Sang anak yang telah berkeluarga tanpa sadar meneruskan strategi ampuh ini untuk menundukan si kecil yang terus merengek meminta mainan. Setelah si kecil diam, kemudian dipuji kepintaran dan perilaku menurutnya. 

Kekerasan lebih dari sekadar luka fisik yang sembuh dengan waktu

Seorang anak yang dilecehkan oleh orang terdekatnya pada usia sekolah masih terus bisa mengingat setiap rincian kejadian hingga puluhan tahun berikutnya. Seorang wanita yang dipukul suaminya terus menerus merasa ketakutan di dalam rumah yang seharusnya menjadi tempat paling nyaman. Seorang remaja laki-laki yang dirundung saat SMA merasa terus terisolasi hingga dewasa. Luka fisik bisa lebih mudah hilang namun dampak psikologis, menjadi lebih rumit untuk disembuhkan.

Kekerasan, Pengetahuan dan Perubahan Budaya

Aku ingat, meminta orang tua dan guru berjanji tidak melakukan kekerasan adalah hal yang paling sulit dilakukan. Lebih sulit dari pada meminta guru masuk tepat waktu atau meminta orang tua menemani anak belajar. 

“Setelah kami berjanji tidak melakukan kekerasan, 6 bulan anak-anak di sini jadi melunjak” Ucap salah satu guru di pertemuan. Seperti kembali ke pola yang sama. Orang tua kemudian mempersilahkan anak-anak diberikan hukuman untuk bisa belajar dengan baik. 

Kekerasan adalah salah satu cara paling singkat untuk membuat seseorang tunduk. Aku belajar perlu ada alternatif pengetahuan baru bahwa pelukan, apresiasi, dialog, konsekuensi yang mendidik adalah bekal untuk orang tua dan guru dalam mendidik mereka. Gap pengetahuan yang sangat sulit sampai ke ruang paling kecil yaitu keluarga. 

Pengetahuan yang seharusnya juga mengubah paradigma budaya. Bahwa laki-laki dan perempuan seharusnya setara begitu juga relasi anak dan orang tua. Bahwa setiap orang punya hak untuk bersuara, menjadi dirinya apa adanya, dan lingkungan yang nyaman tanpa kekerasan adalah bagian dari hak hidup sebagai manusia.

Sepertinya, selalu menjadi hal yang rumit ya.

Kekerasan dan Bom Waktu

Butuh usaha yang besar dan lingkungan yang supportif bagi anak dan orang dewasa dalam lingkar kekerasan untuk bisa menerima dirinya sendiri, merasa tidak diabaikan, atau keluar dari trauma. 

Kadang berhasil, sering juga terus berada di pojok paling gelap tanpa tau dimana letak cahaya. 

Sulit lekang dimakan waktu. Memori akan kekerasan ibarat trigger sempurna saat seseorang mengalami situasi yang menimbulkan stres. Menjadikan seseorang terus menghubungkan masa lalu dengan kondisi yang dihadapinya sekarang. Bisa jadi, bagi sebagian orang peristiwa A seharusnya dihadapi dengan sangat normal, namun bagi mereka..

Menjadi semakin rendah diri atau agresi? melawan atau  menghindar? menjadi penakluk atau merasa bersalah? Arogan atau tidak berharga? Pada kasus-kasus tertentu menjadi teror dan semakin tidak berdaya.

Kekerasan ibarat bom waktu bagi diri. Menggerogoti pelan dan menghancurkan dengan kejam. 

***

Semoga saja, dunia ini menjadi tempat yang lebih baik buat semua.

Tanpa kekerasan.

Mengingat Sabtu Bersama Raka

Melihat galeri foto, saya menemukan banyak Raka di sana.  

 Satu tahun lebih saya tidak duduk di sampingnya. Untuk sekadar mendampingi membuat segitiga, melihatnya mewarnai Captain Amerika, membuat plastisin bersama atau mengajar beberapa huruf dan angka. 

 Ya, karena pandemi. Sabtu saya tidak berisi tawa anak-anak di stasiun Manggarai. 

Raka memakai baju dokter. Saat dia dan beberapa anak lainnya belajar di Pepsoden  Center di sebuah mall besar di Jakarta. Saya ingat, Raka kecil begitu senang dan bersemangat. 

Di perjalanan dia selalu bertanya dan bercerita. 

 “Kak Yanti, kenapa pohon itu bergerak” kata Raka di mobil saat  kami menuju pepsodent center di sebuah mall. Mendengar banyak celoteh membuat saya menyadari satu hal: kesempatan, itu yang semua anak butuhkan!

“Kak Yanti, mau main di sana, mau beli yang itu!” Sambil  menunjukan dua lembar lima ribuan. 

“Raka, kita ke sini buat belajar, tidak untuk jajan ya ” Saya hanya bisa mengalihkan, sulit untuk menjelaskan uang Raka tidak cukup untuk membeli makanan yang dia tunjuk.

“Kak Yanti, ini enak sekali…enak, saya mau lagi” Raka bersedia menghabiskan makanan temannya yang lain. Raka ternyata sangat suka Yosinoya, restoran daging cepat saji, menu daging dengan bayam kering.  Saya tau, daging adalah menu yang terlalu istimewa untuk keluarga Raka. 

Beberapa waktu lalu saya mengunjungi Manggarai kembali. 

“Kak, Raka sudah bisa membaca, sudah kelas 1. Kapan belajar lagi Kak, Pandemi anak-anak jarang belajar” Cerita ibunya. 

Saya menatap Raka yang sekarang semakin tinggi. Dia tersenyum, meski sebagian wajah tertutup masker. Di antara perbincangan kami Raka bilang “Kak Yanti, dulu makan dagingnya enak banget”

“Ayo belajar lagi, Kak”‘

Raka dan kawan (setahun setalah pandemi)

***

Hemm…

Belakangan rasanya terus berlari seperti maraton. 

Mengingat Sabtu bersama Raka, membuat saya bertanya?

Apakah pekerjaan saya sekarang setimpal? 

Mungkin iya, jika ada anak-anak yang sedikit lebih baik belajarnya di tempat yang paling pelosok di negeri ini?

Atau mungkin seperti Sabtu bersama Raka.

Bukan hanya soal mereka, tetapi memberi makna kepada saya!

Beragam dalam Seiman

Sudah beberapa tahun saya di Jakarta, namun baru kali ini berkesempatan untuk sholat taraweh di Mesjid Istiqlal.  Berdasarkan sumber sejarah, mesjid ini diprakasai oleh Presiden Soekarno pada tahun 1951, di mana arsiteknya adalah Fredich Silaban seorang Batak Toba yang beragama Kristen.

Banyak tulisan yang menjelaskan bahwa mesjid ini adalah salah satu simbol toleransi agama dan ke Indonesiaan. Namun, bagi saya pengalaman pertama sholat di mesjid ini seperti pengalaman syahdu menerima perbedaan dalam se-iman.

***

Selepas shoat isya berjamaah, seorang hafiz melantunkan beberapa ayat Al-Quran dengan nyaring. Dibacakannya juga makna ayat-ayat tersebut. Jujur, hati saya sungguh bergetar. Rindu karena begitu lama tidak mendengarkan secara langsung suara begitu merdu.  Ya… bagaimanapun, kegelisahan selalu terjawab dengan cara kembali kepadaNya.

IstiqlalSeorang Ustadzah kemudian berdiri ke mimbar, dan mengisi ceramah kepada para jamaah. Jujur, seumur hidup saya, baru kali ini melihat seorang perempuan berdiri dengan tegak di ratusan atau mungkin ribuan jamaah laki-laki dan perempuan dan memberikan untaian hikmah tentang keluarga.

” Saat engkau memilih berkeluarga, ingatlah didasari dengan taqwa, karena itu adalah sumber kebahagiaan dan ketenangan”.  Kata beliau. 

Ya, di mesjid Istiqlal, mesjid simbol kenegaraan.  Saya haru, dan serasa membiru bahwa laki-laki dan perempuan adalah setara dalam menebar kebaikan.

Takmir mesjid sudah menjelaskan sebelumnya bahwa sholat taraweh akan dilakukan dalam dua rangkaian. Delapan rakaat terlebih dahulu, dilanjutkan oleh witir, kemudian akan dilanjutkan oleh imam ke-dua untuk 20 rakaat dan diakhiri oleh witir.

Dari kecil, saya selalu disuguhi perbedaan ibadah tentang sholat delapan atau dua puluh rakaat, menggunakan qunut atau tidak, lafaz niat nyaring atau di dalam hati, dan banyak perbedaan-perbedaan lainnya. Saya kecil kadang merasa bahwa surga dimonopoli oleh sebagian kelompok yang merasa benar. Sementara apa itu surga dan Tuhan begitu abstrak buat saya

Saya terkesima melihat beberapa jamaah golongan taraweh delapan rakaat mundur, kemudian dilanjutkan dengan mereka yang melanjutkan dua puluh rakaat.

Di mesjid ini, saya kemudian dipertontonkan bahwa beragam dalam seiman itu tidak apa. Bahwa interpretasi dalam fiqih bisa beragam, dan toh kenapa harus selalu diperdebatkan, jika semuanya kemudian bisa diakomodasi.

***

Saya merasa lapang dan  bahagia.

 

 

 

 

How fast time flies!

25 Mei 2017

Menjelang Ramadhan. Saat itu, ditemani beberapa teman, saya harus masuk rumah sakit, ngerasain pertama kali diinfus dan masuk ruang operasi. Em, agak drama karena saya cukup takut berurusan sama rumah sakit.

Memori yang tak akan lekang oleh waktu. Saat tiga puluh menit sebelum tindakan, saya mendapatkan kabar rekan kerja saya di Ketapang mengalami kecelakaan dan meninggal dunia. Rasanya kelu dan sangat pilu.

Lalu waktu begitu cepat berlalu.

Entah bagaimana, mereka yang di daerah kemudian menjadi orang-orang yang sangat saya pedulikan. Tempat saya bertumbuh dan belajar bersama.

25 Mei 2018

Ramadhan ke sembilan. Saya dan seorang teman melakukan perjalanan tak bertema ke Madiun, Tulung Agung dan Malang. Bagi saya, mungkin sekadar mengambil nafas lebih panjang dan beranjak sebentar dari kota besar.

Benar… Semua ada batasnya. Sepeti hari ini, semua tim daerah resmi mengakhiri kontraknya. Resmi menyelesaikan pembelajarannya.

Apa kelegaan saya yang amat besar? Setelah kejadian setahun lalu, mereka semua pulang ke rumah dengan selamat. Terlepas dengan huru-haranya, satu persatu memberikan makna amat besar bagi hidup saya.

Well.. Semua orang mulai beranjak. Sebentar lagi, mungkin juga saya.

Semoga.

-Kereta Majapahit, Jakarta-Madiun-

Sendu…… Pram!!!

Saya berkenalan dengan Pramoedya Ananta Toer mungkin agak terlambat. Justru dimasa setelah saya selesai kuliah, dan bekerja menjadi guru di Banggai Sulawesi Tengah. Itupun saya juga belum tertarik menyentuh karyanya. Saya hanya melihat teman-teman satu penempatan secara bergantian membaca tetralogi pulau buru.

Saya resmi membaca karya-karya Pram ketika saya bekerja sebagai Fasilitator di daerah sangat terpencil. Jujur, sulitnya akses ke desa-desa dampingan membuat fisik menjadi sangat lelah. Saya sendiri merasa waktu membaca buku terasa sangat miskin karena lebih mimilih untuk tidur. Justru itulah, saya kemudian mulai memilah apa saja buku-buku yang saya baca. Untuk mengingatkan bahwa apa yang saya kerjakan tidak ada apa-apanya dibandingkan banyak sejarah yang kelam dari negeri ini. Ya, karya Pram bagi saya bukan sekadar mengajarkan sejarah dengan tutur kata sederhana, tetapi mengingatkan untuk terus bergerak.

Sekali Peristiwa di Banten Selatan adalah karya Pram pertama yang saya baca. “tubuh boleh disekap, ditendang, diinjak-injak, tetapi semangat tidak boleh redup, mungkin itulah yang bisa membuat orang untuk terus hidup dan dapat bekerja”. Tentu saja, hidup saya kala itu bukan sosok yang terpinggirkan atau tertindas. Namun, buku ini mengajak saya merefleksikan banyak hal tentang kehidupan di desa sangat tertinggal. Bisa jadi tema penindasannya tidak sama tetapi sebenarnya serupa. Bahwa kaum miskin, lemah, tidak berpendidikan selalu jadi objek empuk untuk selalu disengsarakan demi keuntungan.

Dari sana, saya mulai jatuh cinta dengan karya Pram. Tentu saya tidak akan mengulik banyak tentang Bumi Manusia yang sudah pasti jadi bacaan wajib bagi pecinta sastra. Dengan latar belakang sejarah yang luar biasa, Bumi Manusia mengajarkan saya satu hal bahwa Nyai Ontosoroh selalu berulang pada setiap masanya. Ah, ada masa kadang saya seperti Nyai Ontosoroh, memperjuangkan sesuatu yang dianggap penting, namun tetap saja ada kekuasaan yang membuat saya tidak bisa bertindak. Selalu ada politik yang seolah cantik dan rupa, namun sesungguhnya menusuk dan menjatuhkan.

Atau sosok lain dari seorang Kartini yang justru saya pelajari dari Karya Pram. Kartini bukan soal memakai kebaya sebagai simbol dihari perayaannya, juga bukan hanya soal memperjuangkan kaum perempuan. Kartini adalah pecinta pengetahuan, pembaca buku dan kehidupan yang rakus kemudian menuliskannya sebagai tanda kritik sosial pada jamannya. Kartini juga bukan orang yang mengimani sesuatu dengan membabi buta, dia menemukan Tuhannya dengan bertanya, mencari, dan belajar. Membaca Panggil Aku Kartini Saja membuat saya sangat iri. Iri karena banyak kemewahan dan kesempatan belajar tetapi tidak saya manfaatkan dengan baik, sementara pada masanya Kartini berjuang begitu rupa.

Singkat kata, Pram adalah manusia yang tidak saya kenal, tetapi mempengaruhi hidup saya.

Lalu, hari ini saya merasa sendu, karena dari dekat melihat sisi manusia seorang Pram, bukan dari surat-surat Pram ke anaknya seperti yang dituliskan di Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, tetapi dari sudut pandang lingkungan yang pernah membersamainya.

Dari surat anak-anak Pram, foto keluarga, alat kerja, pakaian, tas, cerutu dan peralatan keseharian yang dipamerkan ke hal layak. Saya menjadi melihat sisi lain seorang Pramoedya Ananta Toer.

Ada dialog yang syahdu antara surat anak ke bapak yang meminta izin atas pernikahannya, tentang penantian panjang anak yang terpisah karena ketidakadilan, tentang pelukan bapak setelah keluar dari penjara, atau tentang tawa lepas yang seperti tidak tergambar dalam buku-bukunya yang menggerakan dan penuh rasa marah.
Ya, Pram dengan karya besarnya tetap adalah seorang suami dan bapak bagi putra-putrinya.

Ah, Saya merasa benar-benar menjadi sendu….

Sendu saat melihat lampu baca, tulisan tangan, kaca mata dan tiga mesin tik tua kepunyaan Pram. Saya membayangkan seorang Pram yang sepanjang hidupnya berjuang, bukan dengan senjata tetapi dengan kata-kata.
Pram benar, semua orang bisa mengambil kebebasan ragawi, tapi tidak pikiran meskipun kita sudah lelah dan merasa renta.

Terimakasih Pram
Dan entah kenapa saya masih merasa sendu.

Belajar

Hari ini saya belajar bahwa hidup itu adalah sekumpulan pilihan untuk mengambil keputusan.

Hari saya belajar bahwa menjadi peduli itu baik, hanya bertindak lebih prioritas mungkin lebih perlu.

Hari ini saya belajar bahwa memberikan yang terbaik itu penting, tapi kembali menolkan ekspektasi atas apapun pada akhirnya membuat kita tidak berharap berlebihan.

Hari ini saya belajar bahwa belajar itu memang ada tempat dan porsinya, juga selalu ada batas waktunya.

Hari ini saya belajar bahwa menjadi tua itu bukan berarti menjadikan kamu lebih dewasa.

Ya…Hari ini saya belajar bahwa semua orang akan datang dan pergi. Bisa saja tanpa permisi, bisa juga meninggalkan jejak yang berkesan. Ah, bijak itu kadang soal sudut pandang. Bisa jadi semua orang punya alasannya sendiri buat mengepak.

Ya hari ini saya belajar….

Jakarta, 24 April

 

Mereka yang Memberi Makna

Salah satu teman di kantor saya bilang, panduan adalah saya, dan saya adalah panduan. Saat saya mengunjungi tim daerah, sering mereka berkata, “bawa panduan apa lagi mbk yang harus kita jalankan” seolah agak trauma dengan modul-modul fasilitasi yang pernah mereka baca.

Ya, menulis panduan adalah salah satu bagian dari keluaran pekerjaan yang harus saya hasilkan. Dengan segala kontroversinya, saya menjadi belajar.

Awal tahun lalu, dalam satu bulan sepertinya saya menulis sekitar delapan panduan, yang terus direvisi dan direvisi. Bagi beberapa orang, apa yang saya tulis selalu saja tidak sempurna. Rasanya benar-benar bikin muak, dan tidak tahu lagi kenapa saya harus menulis itu semua (ha… kadang ngerasa demikian si).

Namun Pak Uli dan para Kader Desa itu membuat saya merasa berbeda.  Membuat saya menitikan air mata, bahwa mungkin sesuatu yang saya hasilkan memberikan manfaat bagi mereka.

Saat saya pergi ke Kabupaten Landak beberapa hari yang lalu, dan melihat bagaimana Kader Desa bertranformasi menjadi seorang fasilitator dan menggantikan kami yang akan pergi. Jujur, saya haru!,  bahwa mungkin ada makna dibalik usaha  menunaikan sebuah kewajiban.

Saya melihat Kader Desa yang usianya begitu tua, membaca perlahan langkah-langkah fasilitasi, terdiam, lalu mengangguk-angguk mulai mengerti. Saya mendengar seorang Kader lainnya berkata, “kami sekarang sudah naik pangkat jadi fasilitator”.  Lalu ada seorang ibu mendatangi saya dan bilang “saya sudah tidak gemetar lagi mah bu, besok kami saja yang simulasi biar belajar”.

Mungkin Fasilitator Masyarakat yang bertugas di Landaklah yang harus mendapatkan apresiasi paling besar atas dedikasi mereka mendampingi Kader Desa. Namun, di titik ini, saya merasa lega dan berterima kasih karena mereka memberi makna atas bagian kecil yang saya lakukan.

Terimakasih bapak dan Ibu Kader Desa, juga temen-temen Fasilitator Masyarakat yang membuat saya belajar dan menjadi lebih bermakna.

Jakarta, 21 April 2018

 

Menunaikan Kewajiban

Kearifan paling purba adalah menunaikan kewajiban (Amba, Lakmi P)

Entah bagaimana, kalimat ini selalu terucap di dalam hati ketika saya mengambil nafas lebih panjang.

Kadang saya merasa seperti robot, yang bergerak kesatu poros yakni menunaikan kewajiban. Kewajiban sebagai seorang anak yang harus berbakti kepada orang tua, sebagai seorang buruh yang harus bekerja sebaik-baiknya, sebagai seorang teman/ sahabat yang lebih peduli, sebagai manusia yang harus bermanfaat, dan kewajiban sebagai seorang hamba yang memiliki Tuhan.

Lalu, kemudian saya mulai bertanya, apakah semata-mata menunaikan kewajiban membuat saya mulai mati rasa, dan menjadi tidak jujur dengan diri sendiri. Entah bagaimana, di titik ini, saya menjadi begitu lelah.

Mungkin saya harus mencerna baik-baik bahwa “Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, dan sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Maka apabila engkah telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berhadap (Al-Insyirah 6-8).

Mungkin saya harus belajar kembali untuk memperbaiki niat dan  menyerahkan kembali kepadaNya. Bahwa mungkin akan banyak hal indah pada ujungnya nanti.

Semoga saja.

Jakarta, 1 April 2017

“ dengan list kewajiban baru….”

 

Previous Older Entries