Dialog Tentang Hukum dan Keberagaman

                   Isu keberagaman masih menjadi isu yang asing di telinga anak-anakku. Aku senang sekali berkicau tentang betapa luasnya dunia ini agar mereka bisa menjelajah lebih dari kampung kami Moilong agar wawasan mereka lebih bertambah.  “Enci… kenapa kulit orang Papua itu hitam dan rambutnya keriting?”, tanya salah satu anakku dengan nada sambil mengejek yang disambut tertawa satu kelas. Banyak di antara anakku yang merasa aneh jika ada suku yang terlalu berbeda secara fisik dengan mereka. Aku kemudian bercerita tentang Cina dan tembok raksasa yang di sana, juga Eropa dan peradapan serta penduduknya yang punya kulit yang berbeda dengan mereka. Kutegaskan kepada mereka “ kalau misalkan kalian menganggap orang Papua itu paling hitam, karena pembandingnya adalah kulit kalian, bisa jadi kalau kalian pergi ke Eropa  atau Cina, justru kulit kalianlah yang paling hitam”. Kepada anak-anakku, aku ingin mereka lebih sekedar tau bahwa kulit berbeda adalah proses pigmen melanin dari manusia, paparan sinar matahari, atau genetis,  tetapi aku juga berharap mereka lebih belajar menghargai keberagaman itu sendiri.

            Di kampungku Moilong, penduduknya hampir seratus persen muslim dengan adat-adat kemusliman yang kental. Di sekitar desa kami, sebenarnya cukup banyak yang agamanya berbeda. Secara organis, anak-anakku memang sudah sering melihat orang-orang yang berbeda tata cara beribadah dengan mereka. Namun, kenapa mereka berbeda dalam mengekpresikan kecintaan kepada Tuhan. Logika anak-anakku sering menari-menari untuk menemukan jawabannya. Aku sebagai guru mereka kadang-kadang kebingungan menjelaskan dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh mereka. Enci… kenapa orang Kristen hari minggu ke gereja, kenapa sholatnya mereka sambil bernyanyi, lucu enci…orang Buddha macam bertapa sholatnya, yang bukan agama Islam ada puasakah enci?, mereka juga masuk surgakah Enci?. Persoalan menjelaskan hukum agama bagiku jauh lebih memutar otak dari pada menyampaikan runtutan SK dan KD pelajaran lainya, karena ini menyangkut hukum dan pemahaman yang bisa jadi membuat anak terdoktrinasi tanpa ilmu. Biasanya aku akan memilih jawaban aman seperti “ menurutmu bagaimana pikiran orang Buddha melihat kita sholat sambil sujud ke lantai? Atau posisi rukuk dengan cara menunggingkan badan?, setiap agama pasti punya tata cara ibadah sendiri, dan kita harus menghargainya”.  Beberapa anak-anakku yang kritis tentu tidak akan puas dengan jawaban ini dan mencercaku dengan berbagai pertanyaan lain.

            Suatu ketika Alia bertanya kepadaku, Enci…. benarkah kita tidak boleh meminum air orang Kristen?, pertanyaan yang cukup mengagetkanku.  Di waktu yang berbeda-beda, Suci, Via dan Fauzan juga pernah bertanya kepadaku. Di sela pelajaran IPS tentang keberagaman, kami kemudian membahas lebih dalam tentang perbedaan agama dan konsekuensinya. “Enci sekarang bertanya kepada kalian…jika ada orang yang berbeda agama memberikan kalian makanan, apakah kalian mau memakannya”.  Menarik menurutku melihat tentang pola pikir anak-anakku dari jawaban-jawaban polos mereka.  “ Tidak apa-apa enci…asal jangan kita makan bekasnya”, Ucap Jihan yang didukung oleh beberapa teman lainnya. “ kalau saya enci…tidak apa-apa, asal itu bukan babi mi”, celetuk Rahmad.  “ Sebentar, maksud kalian…kalian tidak mau kalau makanan itu bekas dimakan sama orang yang berbeda agama? Walaupun itu air putih?”, tegasku kepada mereka. Fauzan kemudian menimpali dengan jawaban “ iya enci…pokoknya yang sudah dipegang atau sudah masuk bibirnya, kitorang tidak mau mi…sapa tau tangannya sudah najis”.  Sejenak aku terdiam mendengar beberapa jawaban anak-anakku ini. Menurutku, aku tidak hanya sekedar memerlukan logika untuk menjawabnya, tetapi hukum agama itu sendiri, dan menjelaskan kepada anak-anak adalah PR terbesarnya.

            Aku kemudian menjelaskan tentang apa itu makanan haram dan halal kepada mereka. “ kalian tau apa yang dimaksud dengan makanan haram?”.  Rebutan mereka menjawab “ anjing enci…babi, minuman keras”,  Baik..pikirku secara hukum mereka paling tidak sudah tau apa saja jenisnya. “ kalian tau kenapa itu haram?”,  rasanya aku deg-degkan menjelaskan ini kepada mereka, karena ilmuku yang tidak seberapa. “ kita ambil contoh minuman keras, jika kalian minum minuman keras, cap tikus misalkan, apa yang akan terjadi?” tanyaku kepada mereka. “ mabok mi enci…”  jawab entah siapa waktu  itu.  “lalu jika kalian mabok  memangnya kenapa?” , tanyaku sambil menerka jawaban sederhana mereka. “ tidak sadar enci…. tidak babangun mi dia, tidak disuka sama Allah, melayang-layang tubuhnya”, Jawaban yang sudah kuduga, percampuran pengaruh sinetron sudah menjelma di anak-anakku. “ Jika kemudian kalian tidak sadar, apakah kalian bisa belajar dengan baik, apakah kalian bisa berteman dengan baik dan tidak bapukul temannya, apakah kalian bisa dengan sehat pergi ke sekolah?”.  Anak-anakku sudah pasti menjawab tidak. “ Allah itu menetapkan sebuah hukum memakan makanan adalah haram, salah satunya karena banyak kejelekannya dari pada yang baiknya, karena Dia sayang kepada kita, maka dia haramkan makanan itu…”.  Persoalan tentu saja tidak sampai di sini, aku sungguh berharap anak-anakku kelak nanti akan belajar lebih banya tentang sebab musabab sebuah makanan dihalalkan dan diharamkan. Sejalan dengan perkembangan usia mereka, menurutku logika mereka akan banyak menjangkau hal-hal yang sekarang di luar pikiran mereka. “ ada lagi makanan yang haram, dari yang sudah langsung ditetapkan oleh Allah… yaitu makanan yang cara mendapatkannya tidak dengan cara yang benar, misalkan mencuri, tidak ijin kepada orang pemiliknya, memaksa memberikan makanan dari temannya, enci sekarang tanya…siapa yang pernah baambil mangga tapi tidak babilang?, mimum air temannya langsung minum, atau menemukan barang orang lain lalu langsung di bawa pulang?.  Tentu saja, anak-anakku akan tunjuk jari satu-satu karena masalah ini. “ Irsa, kalau kita ambil mangga Enci Ita tanpa ijin, itu namanya apa?”. “ mencuri Enci..tapi saya babilang Enci”, celetuk Irsa. “ Afdal, kalau air minum Hasna langsung kamu minum, lalu Hasnya tidak rela, kira-kira bagaimana”. Dengan gaya kocaknya Afdal langsung berkata “ Eh…Hasna, minta maaf e saya ya” .  Aku kemudian menjelaskan kepada anak-anakku soal konsep makanan halal dan toyib. “ Makanan yang halal itu telah ditentukan oleh Allah baik di dalam Al-Qur’an maupun Sunah, sedangkan makanan yang toyib itu adalah makanan yang sehat dan baik dikonsumsi oleh tubuh kita, misalkan mangga itu halal, tetapi  kalau kalian lagi sakit perut dan diare, maka itu menjadi tidak toyib, dan yang paling penting adalah bagaimana kalian mendapatkannya. Jika dengan cara menggambil punya orang lain walaupun makanan itu halal dan sehat untuk tubuh, maka tetap saja makanan itu haram untuk kita makan” . Aku kemudian menutup kesimpulan dengan pernyataan, “ walaupun  yang memberikan makanan itu adalah orang muslim,   dan kalian tahu makanan itu didapatkan dengan cara yang tidak baik, maka kalian tidak boleh memakannya, dan misalkan kalian mendapatkan makanan dari orang yang berbeda agama dengan kalian, kalian tau asal-usulnya baik, kenapa tidak diterima” .

            Dialog dengan anak-anakku menjadi semakin menarik rasanya “jika kalian diajar guru yang bukan Islam mau apa tidak?”.  Jihan berkata “ mau enci…asal dia baik sama kitorang”, “Semua manusiakan baik enci, asal dia tidak bajahat, mau kitorang” Ucap Fadel menambahkan. Sedangkan Fauzan berkata “ ah, enci…. saya tidak mau, lebih baik saya bodoh Enci dari pada punya guru seperti itu”. Anak-anakku masih terbagi menjadi dua kubu untuk pertanyaan ini. Antara mau dan tidak menerima, “ Yang penting dia tidak baajar agama Enci, kalau baajar agama tetap Pak guru tidak apa-apa kitorang mau”, tambah Alia. Lalu Edil berkata “ nanti kitorang diajar banyanyi-nyanyi enci….”.  Aku kemudian memancing mereka dengan pernyataan “kalian mau diajar Enci Lili?”. Serentak anak-anakku berkata “ mau…!”. Lili adalah teman sepenempatanku di Banggai yang beragama Kristen, anak-anakku sudah mengenal Lili dari beberapa interaksi mereka. “lho…ibu Lili kan agamanya Kristen kenapa kalian mau diajar oleh mereka?”,  Aku  berusaha menerka-nerka pikiran polos mereka  tentang orang-orang yang seolah berbeda dengan mereka. “ Karena enci Lili orangnya baik Enci…! dan dia temannya Enci, mau kitorang diajar sama dia”.  Aku tertawa dan geleng-geleng dengan jawaban mereka. “ jadi sebenarnya, jika orang itu baik, apapun agamanya kita harusnya berteman dan juga baik sama diakan!”,  tegasku kepada mereka. “Kalian semua beragama Islamkan, muslim yang baik itu salah saatunya adalah menghargai dan menghormati orang lain terlepas apa agama dan bagaimana warna kulitnya… bukan muslim yang baik kalau terus bagara orang lain”.

            Aku tidak tahu seberapa banyak dialog sederhana bersama anak-anakku memberikan kesan dipikiran mereka dan memberikan dampak apa atas penerimaan keberagaman. Namun aku belajar bahwa, pikiran anak kecil memang tidak serumit pikiran orang dewasa. Tidak mau diajar karena gurunya berbeda agama, kemudian digugurkan dengan pernyataan, mau diajar beda agama karena orangnya baik. Anak-anak pada dasarnya akan dengan tulus menerima siapapun yang juga tulus kepada mereka, terlepas apapun latar belakangnya. Usia, lingkungan atau orang-orang desawasa sekitar mereka yang kemudian membuat ketulusan itu memudar dengan prasangka kepada sesama.

            Aku menjadi merefleksi diriku sendiri terhadap kondisi anak-anakku. Aku kecil dulu, merasa bingung ketika orang dewasa menjelaskan tentang agama kepadaku. Tentang Tuhan itu harus diimani, nabi yang hidupnya harus diteladani atau tata cara ibadah yang harus dilakukan, kenapa manusia yang beragama itu harus berbeda. Otak kecilku tidak mampu menangkap hal-hal abstrak yang jauh di luar logikaku. Sepajang perjalanan usiaku kemudian aku menemukan banyak esensi tentang ketuhanan dan kemanusiaan yang lebih dari sekedar tuturan-tuturan saklek hukum oleh pemuka agama. Bahwa bagaimana makna membaca maknanya lebih luas dari hanya sekedar teks di buku atau lafal ayat di dalam kitab suci. Agama yang pada akhirnya menjadi tuntutan bagi anak-anak sebagai pedoman moral dalam berperilaku, agar seberapa suksespun nanti mereka dimasa depan, mereka tetap menyadari bahwa ada nilai-nilai yang ketika mereka kembali, mereka akan menemukan tidak hanya tuntutan hidup, tetapi juga ketenangan.

Semoga anak-anakku terus mendapatkan kesempatan untuk belajar.

Tinggalkan komentar