Juvenile Forensic

PENDAHULUAN

Domain utama psikologi forensik, kaitannya dengan juvenile forensic adalah mengarahkan anak-anak untuk tidak berlaku kriminal, dan menjelaskan alasan dibalik perbuatan kriminal tersebut. Forensic psychology dapat pula membantu pengadilan memahami apa yang dilakukan remaja dan apa sebabnya.

Ada 4 topik kontroversial yang dibahas: (1) mendefinisikan usia tangung jawab hukum, (2) anak muda dan taraf kepercayaan pengakuan mereka di pengadilan, (3) doktrin tentang “minat utama anak-anak”, (4) hukuman: rehabilitasi psikologis remaja. Keempat topik ini adalah tema utama dalam perdebatan komunitas psikologi dan hukum. Keempat topik ini sekaligus menunjukkan peran seorang psikolog mendampingi proses pengadilan remaja sejak pra-putusan hakim sampai tahapan pasca putusan hakim. Walaupun demikian, problem utamanya adalah kebiasaan masyarakat (termasuk pejabat hukum) menganggap bahwa tugas seorang psikolog hanya terbatas pada remaja bermasalah, bagaimana merubah meraka, dan sedapat mungkin menjauh dari perkara pengadilan.

MENDEFINISIKAN USIA TANGGUNG JAWAB HUKUM

 Saat ini, pelaku kriminal remaja dipisahkan dengan pelaku kriminal dewasa, dengan alasan bahwa perilaku kriminal remaja tersebut masih dapat diubah. Walaupun demikian, pandangan masyarakat mulai beralih dari pandangan hukum yang merehabilitasi, menuju pada hukum yang berorientasi pada hukuman dan ganti rugi. Sekitar tahun 1980an, para pengambil kebijakan di legislatif menggabungkan pelaku kenakalan remaja dengan pelaku kriminal dewasa.

Kecenderungan pengadilan untuk menghukum seseorang mendorong para ahli psikologi untuk menganalisa kapan seseorang memiliki tanggung jawab hukum dan pada usia berapakah sebaiknya mereka mulai diberi hukuman. Ketika berbicara tentang umur psikologis, tentunya tidak dapat didasarkan pada putusan-putusan hukum. Sekalipun keadaan ini sekilas membuat konflik kedua ilmu ini memanas, namun di lain pihak keadaan ini justru semakin mendekatkan psikologi dan hukum untuk saling memahami.

 Literature Review

Menurut Fritsch dan Hemmens (1995), hukum Inggris pada umumnya menganggap anak-anak di bawah 7 tahun tidak berkemampuan untuk menerima tanggung jawab hukum. Anak-anak usia 7-14 tahun pun masih diasumsikan belum mampu menerima tanggung jawab hukum, kecuali mereka menyadari konsekuensi kenakalan mereka.

Walaupun masyarakan sangat menginginkan paradigma punishment atau hukuman diterapkan untuk remaja dan dewasa, nyatanya hanya sebagian kecil keinginan tersebut dipenuhi. Pasalnya, banyak remaja yang dimasukkan dalam penjara orang-orang dewasa, pada dasarnya hanya sebagai “waktu jeda” bagi mereka. Hukuman biasanya hanya diberikan pada kasus-kasus yang lebih serius seperti pembunuhan, pemerkosaan, dan penyerangan yang membabi-buta, karena perbuatan-perbuatan tersebut lebih membutuhkan hukuman, dimana pengadilan remaja tidak dapat memberikannya.

Beberapa remaja yang dikirim ke pengadilan umum, tidak mendapatkan konsekuensi langsung. Kebanyakan kasus, transfer ke pangadilan umum tidak berarti penyelesaian masalahnya diimplementasikan. 49,5% sampel yang dikirim ke pengadilan remaja mendapatkan hukuman percobaan (hukuman bersyarat). Remaja yang dikirim ke pengadilan dewasa mendapatkan perlakuan sebagai pelanggar hukum untuk pertama kalinya. Ini tidak berarti mereka mendapatkan hukuman lebih lama daripada pengedilan remaja. Pengadilan umum saat ini dianggap solusi bagi remaja-remaja dengan kasus berat, namun pada kenyataanya pengadilan umum hanya sebagai tempat penghindaran dari hukuman yang seharusnya, sehingga tidak menghasilkan efek yang diharapkan.

Ada beberapa jenis pembatalan hak resmi, namun yang paling terkenal adalah judicial waiver dan legislative waiver. Judicial waiver membolehkan juri pengadilan remaja menggunakan penilaian mereka untuk membatalkan kekuasaan kehakiman dengan menyerahkan kasus ke pengadilan dewasa. Legislative waiver disebut juga dengan automatic waiver karena pelanggar hukum remaja mendapatkan system pengadilan remaja, dan secara langsung menuju ke pengadilan kriminal dewasa, kemudian ditahan saat itu juga, tergantung pada hukum pemerintah setempat. Kenyataannya ketika di pengadilan dewasa, hanya sedikit yang mendapatkan hukuman.  Alasan utama pengadilan memenuhi hak-hak remajanya adalah karena usia, minimnya pengalaman, kemampuan, dan kapasitas pemenuhan keinginan.

Usia tanggung jawab hukum berbeda satu Negara dengan Negara lain, walaupun demikian, hukum federal menganggap umur 16 tahun telah dewasa secara hukum. Menurut mahkamah agung Amerika, konstitusi Amerika ke-8 melarang eksekusi seseorang di bawah usia 16 tahun saat melakukan kejahatan. Standar tanggung jawab orang dewasa diukur dengan kemampuan membuat keputusan (kompetensi). Kompetensi pada umumnya dilihat dari pengetahuan dan kemampuan seseorang mengekspresikan dirinya pada lingkungan ideal. Hukum lebih tertarik pada perbuatan seseorang daripada kompetensi. Menurut para psikolog, pengadilan pelaku kejahatan remaja harus menyadari bahwa remaja memiliki hak untuk menyadari akibat perbuatannya pada korban (cognitive meaning) dan memperbaiki diri (behavioral meaning). Umbreit (1995) menyarankan sistem peradilan remaja harus menggunakan “Restorative Justice” dimana korban, pelaku kejahatan, lingkungan aktif menyelesaikan masalah bersama dengan dibantu psikolog.

Psikologi Forensik dan Implikasi Kebijakan

Ini digunakan ketika sebuah penyerangan terjadi, pelaku yang dikenai kewajiban terhadap masyarakat dan atau korban. Meskipun keamanan publik adalah pertimbangan utama, idenya bukan untuk menghukum pelaku; lebih baik menyediakan kesempatan untuk pelaku dalam menawarkan ganti rugi pada korban atau komunitas. Hal ini penting, meskipun, perlu diingat oleh pengadilan bahwa remaja masih tumbuh dan berkembang, “keterbatasan ilmu mengenai perkembangan anak dan menyerahkannya pada fungsi keluarga tentang kepentingan anak sebagian besar tidak menentu” (Repucci & Crosby, 1993,p.5). Tidak ada jaminan bahwa apa yang psikolog dan pengadilan pecaya adalah kebutuhan yang paling baik bagi remaja. Jika masyarakat menganggap remaja sama seperti orang dewasa, maka remaja harus menerima hak yang sama seperti orang dewasa. Sebagai tambahan, ketika pengadilan memperlakukan pelaku remaja seperti orang dewasa, apakah pengadilan melindungi remaja dan masyarakat (sekarang dan di masa depan)? Di dalam hukum legal banyak tindakan tidak berdasar hukum yang juga merupakan kekerasan moral, karena itu kita harus menghitung bagaimana perkembangan moral mempengaruhi kemampuan remaja untuk memahami bahwa tindakan tertentu itu “salah” (Peterson-Badali & Abramovich, 1993).

Saran Untuk Penelitian Kedepan

Untuk menyediakan informasi yang berguna untuk pengambil keputusan hukum legal, penelitian  psikologi kedepannya harus membahas tentang isu-isu hukum legal. Dengan cara ini, penemuan penelitian akan mempunyai pengaruh langsung pada hukum (Repucci & Crosby, 1993). Kita butuh untuk melanjutkan memeriksa kasus hukum seperti Kent Vs Amerika Serikat (1966) dan menyatukan pengetahuan psikologi tentang kepentingan anak-anak yang terbaik dan kapasitas dalam proses pengambilan keputusan pada sistem pengadilan remaja. Jika penelitian berisi isu-isu hukum, hubungan antara psikologi dan hukum dapat bergerak bersama dan akan membuat hakim mengambil keputusan yang berpihak pada kepentingan terbaik bagi remaja. Standar hukum dan asumsi mereka tentang kapasitas anak-anak harus diselidiki dari sisi hukum dan psikologi (Woolard et al., 1996). Mempelajari kapasitas anak-anak dan performance dalam konteks hukum, bagaimanapun sangat sulit karena anak-anak hanya dapat dibandingkan dengan orang dewasa atau anak-anak “normal” lainnya (Woolard et al., 1996).

Melalui sesi ini, isu untuk merehabilitasi atau menghukum seseorang telah terjadi terus-menerus. Hal ini penting untuk meneliti pengaruh hukuman dengan perawatan sehingga remaja yang membutuhkan pertolongan dapat berjalan efektif. Hal ini penting untuk mempelajari pengambilan keputusan hukum berdasarkan umur sehingga remaja dapat mempunyai kebebasan untuk membuat keputusan hukum sendiri sementara memberikan kesempatan pada mereka untuk memahami hukum dan hak mereka. Hal itu juga menguntungkan untuk melakukan penelitian dalam hubungan yang ada antara tanggung jawab dan hak anak-anak. Penelitian ini sangat sulit karena hal ini sangat susah untuk menentukan pada umur berapa semua remaja  dapat diijinkan untuk membuat keputusan hidup mereka sendiri, ketika setiap remaja adalah unik. Mempelajari pengambilan keputusan berdasarkan umur memunculkan isu lain: apakah semakin baik keputusan kita membuat umur kita meningkat, dan apakah umur adalah faktor yang penting dalam menentukan tanggung jawab? Ketika memeriksa umur tanggung jawab kriminal, hal ini penting untuk memasukkan sebanyak mungkin variable seperti lingkungan, etnis, status sosial ekonomi, dan bahkan IQ. Dengan mempelajari umur tanggung jawab kriminal, psikologi forensik dapat memeriksa keefektifan sistem peradilan remaja saat ini dan membuat saran dimana hal ini dapat meningkatkan penanganan pada pelaku remaja.

ANAK-ANAK/REMAJA DAN TINGKAT RELIABILITAS KESAKSIAN MEREKA DALAM PERSIDANGAN

Pendahuluan

Lebih dan lebih lagi, anak-anak semakin terlibat dalam sistem hukum untuk menyediakan kesaksian dalam pengadilan, khususnya pada kasus pelecehan seksual (Ceci & Bruck, 1993). Telah diperkirakan lebih dari 200.000 anak-anak per tahun dengan berbagai cara terlibat dalam sistem hukum (Ceci & bruck, 1995). Anak-anak adalah saksi kunci karena kata mereka adalah satu-satunya bukti yang tersedia dalam banyak kasus pelecehan seksual. Pengadilan harus menentukan manakah anak-anak yang mempunyai kesaksian dapat dipercaya (J.E.B. Myers, 1993). Seperti yang telah didiskusikan, pengadilan harus memeriksa berbagai faktor, seperti umur anak, apakah anak dapat mengatakan perbedaan antara kebenaran dan kebohongan, dan apakah anak memahami konsekuensi dari kesaksian yang dilakukannya.

Contoh Kasus:

Martha, anak perempuan berumur 12 tahun yang akhir-akhir ini menuduh pengasuhnya, tetangganya bernama Mitch dengan tuduhan pelecehan seksual ketika dia berusia 8 tahun. Dia tidak pernah mengatakan kepada siapapun ketika hal itu terjadi karena dia berkata dia telah diancam anjingnya akan dibunuh. Bagaimanapun, akhir-akhir ini dia berlaku seksual yang tidak wajar, jadi orang tuanya bertanya kepadanya tentang perilakunya sampai dia akhirnya mengaku bahwa hal itu terjadi beberapa tahun yang lalu. Orang tuanya mengajukan tuntutan kepada Mitch, dan mereka menduga kasusnya akan disidangkan karena Mitch menolak dia bersalah. Martha adalah satu-satunya saksi ketika tuntutan itu ada, dan dia telah ditanyai beberapa kali tentang tuduhan pelecehan. Beberapa detil dari ceritanya telah berubah, dan dia mengekspresikan ketakutan yang sangat di dalam pengadilan jika ada Mitch. Karena tidak akurat dalam ceritanya, penuntut menginginkan hakim untuk menentukan apakah dia layak menjadi saksi. Dia juga meminta untuk menggunakan televisi sehingga Martha tidak berada satu ruangan dengan Mitch ketika dia bersaksi. Hakim harus menentukan apakah Martha layak menjadi saksi dengan memutuskan bahwa dia dapat membedakan kebenaran dari kebohongan dan pemahaman tentang diambilnya sumpah. Dia juga harus memutuskan apakah mengijinkan Martha bersaksi lewat televisi tetrtup yang akan menjadi pelanggaran hak konstitusional mitch.

Review Literatur              

Sebagaimana telah direfleksikan dalam ilustrasi kasus, ada anak yang akan bersaksi di dalam pengadilan tidaklah mudah. Banyak sekali faktor yang harus dipertimbangkan. Karena penuntut sangat bergantung pada kesaksian anak-anak, khususnya dalam kasus pelecehan. Ini menjadi penting untuk menentukan apakah anak-anak dibawah umur tertentu secara otomatis tidak layak. Dalam 1770 kasus, Rex Vs Brsier, tidak ada yang ototmatis dalam menentukan kelayakan, tidak perduli seberapa muda anak tersebut (J.E.B. Myers, 1993). Wheeler Vs U.S. (1895) menyatakan tidak ada batasan usia untuk menentukan kelayakan bersaksi. Bagaimanapun, ada beberapa Negara bagian yang masih menggunakan pendekatan ini. Pendekatan yang digunakan pada hampir semua Negara bagian saat ini adalah setiap orang layak, dimana hal itu dari aturan Federal-Aturan 601. Beberapa negara juga menjamin kelayakan dalam kasus pelecehan seksual (J.E.B. Myers, 1993b).

Apapun yang digunakan oleh Negara bagian, hakim mempunyai tanggung jawab penuh untuk menentukan kelayakan anak-anak, dan mereka mempunyai kekuatan. Menurut J.E.B. Myers (1993b), ada tiga permintaan utama ketika hakim menentukan kelayakan. Yang pertama, apakah anak memiliki kapabilitas tertentu. Sebagai contoh, mereka harus bisa melihat apa yang terjadi dalam pengadilan, tidak perlu melihat secara keseluruhan apa yang terjadi. Mereka harus mempunyai memori yang cukup. Firus dan Shukat (1995) melaporkan bahwa anak kecil, umur 3 sampai 6, mereka mampu menyediakan gambaran lengkap tentang kejadian masa lalu setelah waktu yang lama. J.E.B. Myers (1993b) menggambarkan kemampuan lebih lanjut bahwa anak harus memilikinya untuk memenuhi kelayakan dalam bersaksi. Anak-anak harus bisa berkomunikasi. Mereka juga harus bisa mengatakan yang sebenarnya dari sebuah kebohongan dan memahami pentingnya sebuah kebenaran. Dengan kata lain, mereka harus memahami konsekuensi dari berbohong. K.Bussey, Lee dan grimbeck (1993) mengindikasikan bahwa anak umur 4 tahun mempunyai kapasitas untuk membedakan kebohongan dari kebenaran dan mereka dapat untuk mengetahui kebohongan atau berkata jujur. Kebutuhan yang kedua digambarkan oleh J.E.B. Myers (1993b) adalah apakah anak mempunyai pengetahuan tentang fakta yang tepat untuk suatu kasus. Hal ini berasal dari aturan 602 aturan Federal tentang Bukti. Kebutuhan yang terakhir adalah pengambilan sumpah. A.G. Walker (1993) menyatakan bahwa anak dapat tidak layak jika mereka tidak memahami makna dari kata-kata dalam sumpah. Bagaimanapun, beberapa negara bagian mengijinkan anak untuk melupakan elemen ini dan tetap bersaksi (J.E.B. Myers, 1993b). Dalam situasi Martha, hakim akan menentukan apakah dia memiliki kemampuan menggambarkan diatas dan apakah dia memahami arti dari sumpah.

Jika penuntun menginginkan untuk melanjutkan kasus Martha dan menggunakan dia sebagai saksi kunci, dia harus memutuskan apakah kesaksiannya dapat dipercaya sehingga juri akan mempercayainya. Menurut jaskiewicz-Obydzinska dan Czerederecka 91995), evaluasi dari realibilitas anak adalah sangat imperative dan ditentukan oleh stabilitas dirinya setelah interogasi yang dilakukan terhadap anak. Pengarang melakukan studi dengan saksi/korban remaja dari kasus pelecehan seksual, dengan mayoritas usia antara 11 dan 15. Mereka menemukan bahwa dari sebagian yang telah diperiksa, kesaksian yang berubah terjadi. Bagaimanapun, mereka menemukan bahwa alasan paling umum untuk perubahan ini adalah tingkat kecerdasan intelektual remaja. Mereka menyimpulkan bahwa dalam upaya untuk menerima kesaksian anak sebagai sesuatu yang bisa dipercaya, factor psikologis yang meliputi kemampuan intelektual, rasa takut yang berlebihan atau evaluasi social, dan peningkatan kekritisan terhadap diri harus dipertimbangkan.

Sebagai tambahan pada cerita Martha yang berubah-rubah, umur dia juga merupakan masalah yang berhubungan dengan realibilitasnya. Bottoms (1993) melaporkan bahwa anak-anak yang lebih muda cenderung untuk dilihat lebih dipercaya daripada anak yang lebih tua dan remaja dewasa dalam bersaksi tentang pelecehan seksual. Orang percaya bahwa anak tidak efisien secara kognitif dan dapat pula menambahkan suatu cerita, dimana remaja dewasa dipercaya bersalah dalam pelecehan seksual atau mempunyai cerita yang dibuat-buat.

Faktor lain yang mempengaruhi tingkat kepercayaan terhadap kesaksian anak adalah tekanan pada seluruh situasi. Anak harus menghadapi setting ruang sidang yang mengintimidasi dan mendiskusikan hal pribadi, kejadian traumatis sementara dibenturkan dengan pelaku yang tertuduh (Batterman-Faunce & Goodman, 1993). Jika ada orang yang ditakuti dalam ruang siding dapat mengurangi kemungkinan anak untuk bersaksi menceritakan seluruh kejadian. Karena itu, mengijinkan anak untuk bersaksi tanpa kehadiran terdakwa mungkin akan didapatkan kesaksian yang dapat dipercaya (Pipe & Goodman, 1991). Tobey, Goodman, Batterman-Faunce, Orcutt, dan Sachsenmaier (1995) menyarankan bahwa jika anak bersaksi di depan terdakwa, maka mereka mungkin merasakan trauma secara psikologis karena menghadapi pelaku pelecehan. Mereka menekankan bahwa trauma ini akan berakibat negative terhadap keseluruhan kesaksian dan tingkat kepercayaannya. Pengarang menyatakan bahwa menggunakan teknologi sirkuit-tertutup menghilangkan kebutuhan anak untuk bersaksi dalam situasi traumatis. Mereka dapat bersaksi dari luar ruangan siding melalui monitor televise. Kebalikan dari prosedur ini adalah hal ini melanggar amandemen empat belas tentang hak terdakwa tentang proses karena hal ini mengganggu dengan kemampuan penemu fakta dalam menentukan kredibilitas saksi dan hal ini melanggar amandemen keenam tentang hak untuk menngkonfrontasikan saksi secara langsung (Goodman et al., 1998).

Pengadilan tinggi telah setuju dengan pertentangan ini. Dalam Coy Vs Iowa (1988), pengadilan menolak penggunaan televise yang melanggar amandemen keenam dan empatbelas tentang hak terdakwa. Bagaimanapun, 2 tahun kemudian dalam Maryland Vs Craig (1990), pengadilan memutuskan untuk mengijinkan penggunaan televise dalam kasus pelecehan seksual anak, dimana anak sangat trauma sehingga tidak dapat berkomunikasi. Pengadilan tinggi juga setuju bahwa penggunaan teknologi adalah pelanggaran terhadap hak namun bahwa ada pengaruh psikologis yang berhubungan dengan kesaksian anak menjadi hal yang khusus terhadap hak ini. Dalam kasus Martha, hakim juga butuh untuk menentukan apakah dia akan trauma sehingga tidak mampun untuk melakukan komunikasi, jika hal itu terjadi maka penggunaan televise akan diperbolehkan.

Goodman et al. (1998) mempelajari studi tentang perbandingan kesaksian anak dalam ruang siding dan melalui televise (CCTV). Mereka menemukan bahwa CCTV mengurangi pengaruh tekanan dari lingkunan pada nak yang lebih muda dan membuat anak melakukan sedikit kesalahan terhadap pertanyaan yang menjebak ketika dibandingkan dengan kesaksian yang ada dalam ruang sidang. CCTV secara keseluruhan menumbuhkan kepercayaan yang lebih terhadap kesaksian anak-anak. Pengarang juga menyimpulkan bahwa situasi CCTV, terdakwa tidak mempunyai kesempatan lebih besar untuk dihukum, dan pengadilan tidak mengidentifikasi secara tidak adil terhadap terdakwa. Bagaimanapun, juri dalam studi yang dilaporkan dengan anak bersaksi melalui CCTV ternyata juga kurang percaya, meskipun kesaksiannya lebih akurat, daripada anak yang bersaksi di ruang sidang.

Masih banyak isu yang dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan terhadap kesaksian anak. Hal ini muncul karena tekanan dan trauma dalam kesaksian dapat mengurangi tingkat kepercayaan. Dalam ilustasi kasus ini, Martha agaknya mempunyai ketakutan jika berhadap dengan pelakunya, dan ketakutan ini dapat mengurangi tingkat kepercayaan kesaksiannya.

Psikologi Forensik dan Implikasi Kebijakannya

Isu apakah anak layak bersaksi kelihatannya hanya semata-mata permasalahan dengan hakim. Hal ini mengijinkan hakim membuat keputusan yang mungkin mempunyai implikasi psikologis. Kemampuan ini diperlukan untuk dianggap layak adalah sangat psikologis, kemudian hakim jarang melibatkan professional dalam kesehatan mental dalam proses pengambilan keputusan (J.E.B. Myers, 1993b). Psikolog forensik harus dilibatkan dalam kasus seperti ini, khususnya jika hakim merasa tidak yakin. Jika mereka tidak menyediakan keahlian ahli, mereka setidaknya dapat mendidik pengadilan yang berhubungan dengan kelayakan untuk kesaksian anak. Dalam ilustrasi kasus, psikolog forensic dapat menawarkan informasi pada hakim apakah Martha memiliki kebutuhan untuk bersaksi.

Implikasi penting lainnya adalah untuk mengurangi tingkat trauma dan stres pada anak ketika mereka harus bersaksi, khususnya dalam kasus pelecehan. Satu pendekatan ditawarkan adalah untuk menyiapkan anak dengan mengenalkan terlebih dahulu ruang sidang dan mengajari mereka informasi tentang system hukum. Hal ini akan membutuhkan bahasa yang cocok dan mungkin mengurangi kecemasan mereka  dan meningkatkan tingkat kepercayaan terhadap kesaksian mereka (Saywitz, 1995). Kebijakan harus dikembangkan untuk menjamin bahwa anak-anak ini tidak mengalami trauma lebih lanjut, sementara pada saat yang sama juga mempertimbangkan hak konstitusional terdakwa. Meskipun CCTV muncul sebagai solusi yang memungkinkan, hal ini tidak hanya standar prosedur yang mengarah pada dilemma konstitusional. Bagaimanapun, lebih banyak solusi seperti ini harus diterapkan sehinggan anak dapat menyediakan kesaksian yang dapat dipercaya.

Saran Untuk Penelitian Kedepan

Banyak penelitian tentang kesaksian anak berfokus pada tingkat sugesti pada saksi anak, ada hal yang lebih penting yang berhubungan dengan tingkat kepercayaan yang harus diperiksa apakah tingkat sugesti mempengaruhi kemampuan anak untuk melakukan kesaksian yang dapat dipercaya (Ceci & Bruck, 1993). Sejak kesaksian anak semakin diperlukan, peneliti harus menemukan teknik yang optimal yang membatasi stress emosional yang dapat menangani reliabilitas dan kredibilitas kesaksian mereka (K.bussey et al., 1993). Penelitian pada topic ini harus memeriksa situasi mana yang menyediakan persidangan yang adil. Kelihatannya bahwa CCTV adalah suatu langkah ke arah sana, tapi belum ada analisis empiris untuk mencapai kesimpulan yang pasti (Batterman-Faunce & Goodman, 1993). Penelitian yang berlanjut harus dilakukan pada CCTV sebagai solusi yang mungkin  terhadap masalah trauma anak dan apakah hal itu menyediakan peradilan yang adil. Focus lainnya pada penelitian adalah pada bagaimana menyiapkan anak untuk bersaksi lebih layak dan dengan stress yang minimal (J.E.B. Myers, 1993a). Jika hal ini ditemukan bahwa CCTV adalah prosedur yang tidak adil, maka anak akan melanjutkan persidangan dengan bertemu muka dengan pelaku pelecehan dalam pengadilan dan harus melakukan kesaksian yang dapat dipercaya.

KEPENTINGAN TERBAIK DARI DOKTRIN ANAK

Pendahuluan

Kepentingan terbaik dari doktrin anak ditetapkan dalam sistem hukum untuk menentukan komponen perawatan anak yang akan menyediakan lingkungan yang terbaik bagi perkembangan dan penyesuaian anak (Kelley, 1997).  Menurut Mason (ditulis dalam Skolnick, 1998), kira-kira 50% anak dialhirkan pada tahun 1990 akan  terlibat dalam kasus penjagaan anak. Kepentingan terbaik dari doktrin anak biasanya diminta selama proses perceraian, dimana alasan dari semua penjagaan diperdebatkan (Kelley, 1997; Skolnick, 1998). Perceraian mempunyai konsekuensi signifikan pada anak, dan tujuan dibalik hal ini adalah untuk mempertimbangkan orang dewasa mana yang dapat menyediakan hubungan paling positif dengan dan lingkungan terbaik untuk anak (G. Miller, 1993).  Meskipun positif aspek dari doktrin ini telah dicatat, termasuk ide dalam setiap keputusan dapat berfokus pada kebutuhan individu anak dan hal ini mengijinkan masyarakat menilai dengan moral, nilai dan situasi (Kelley, 1997), banyak literature yang menerangkan standar batasannya.

Contoh Kasus

Joe dan Sarah mempunyai tiga anak, berumur 6, 10 dan 13. Dua yang termuda adalah perempuan dan kakak tertua mereka adalah laki-laki. Orang tua mempunyai masalah dengan obat-obatan dan alkohol. Sebagai tambahan, Joe dipenjara beberapa tahun yang lalu karena melakukan kekerasan seksual terhadap anak perempuan berumur 12 tahun. Sarah menikah dengan Joe selama waktu tersebut tetapi mulai berselingkuh dengan pekerja sehingga membuatnya hamil. Sementara Joe masih di penjara, anak mereka sementara dipindahkan dari penjagaan Sarah karena penggunaan obat terlarang. Bagaimanapun, Sarah bisa memperkuat dirinya dan keluar dan anak-anak kembali padanya. Ketika Joe bebas dari penjara, dia dan Sarah tidak memulai proses perceraian; mereka berbagi penjagaan dua anak perempuan sementara anak laki hidup dengan ayahnya. Joe tidak mempunyai pekerjaan tetap. Dia bekerja sebagai seorang mekanik dan hidup dengan pacarnya dalam sebuah trailer di halaman belakang orang tuanya. Sarah tidak bekerja sama sekali dan hidup dengan tunangan barunya dalam satu apartemen. Mereka berdua mengklaim bebas obat-obatan. Akhir-akhir ini, Joe dan Sarah menjadi saling marah, dan Sarah mengajukan cerai. Dalam usaha melukai Joe, dia menuntut untuk penjagaan satu-satunya bagi dua anak perempuan, menyatakan bahwa Joe ancaman bagi mereka karena kasus seksnya dahulu. Pertanyaan sebelum pengadilan adalah orang tua mana yang menyediakan lingkungan terbaik bagi anaknya.

Review Literatur

Pertanyaan utama dari kasus Joe dan Sarah adalah siapakah yang berhak menurut pertimbangan pengadilan untuk menjadi pengasuh satu-satunya dari anak mereka. Menilik tentang kasus hak asuh anak, adalah sesuatu yang sudah menjadi perdebatan sejak lama. Dulu menetapkan hak asuh anak adalah sesuatu yang sangat sederhana. Di dalam hukum Inggris, anak-anak dianggap sebagai properti dan wanita tidak diijinkan untuk memiliki properti. Konsekuensinya ayahlah yang otomatis mengasuh anak-anaknya.  Pada tahun 1800an, ide bahwa anak adalah properti diganti dengan ide bahwa masa kanak-kanak adalah tahap penting kehidupan yang memberikan sumbangan penting terhadap perkembangan menjadi orang dewasa. Pada akhir abad ke 19, dokrin “tender years” (tahun-tahun rentan, tahun-tahun yang membutuhkan kelembutan) menjadi standar utama untuk memutuskan hak asuh anak. Sehingga konsekuensinya banyak hak asuh anak diberikan kepada seorang ibu seolah menjadi sesuatu yang bersifat standar. Sampai pertengahan abad ke dua puluh “tahun-tahun rentan” itu mempunyai tantangan yang sangat serius karena anggapan bahwa seseorang seharusnya mendapatkan perlindungan yang sama di dalam hukum. Ayah kemudian mulai menuntut haknya untuk mengasuh dan menolak pandangan tentang hubungan orang tua-anak yang stereotip-seksual yang tersirat dalam dokrin kono tersebut. Skolnick (1998) menyatakan bahwa ketentuan standar tentang perawatan anak adalah diberikan kepada ibu. Warshak (1998) mencoba menjelaskan tentang fenomena ini, dikarenakan:

  • Wanita secara alami menjadi orang tua yang lebih baik bagi anak dan dipandang lebih esensial bagi kehidupan anak.
  • Kebanyakan wanita menjadi orang tua yang baik, tidak hanya karena sifat alami yang dibawanya, namun juga mereka lebih mempunyai pengalaman dalam membesarkan anak.
  • Bagi seorang perempuan, dapat merawat anaknya sendiri adalah merupakan suatu penghargaan dan merupakan suatu kontribusi yang harus diberikan
  • Wanita biasanya akan lebih menderita secara emosional jika ia kehilangan hak asuh anaknya dibandingkan laki-laki.

Kemudian, hukum yang saat ini berlaku disebagian besar negara bagian mengisyaratkan bahwa penatalaksanaan hak-hak asuh anak harus berdasarkan “ the best interest of the child”  atau kepentingan terbaik untuk anak. Dalam pengertian tertentu, standar ini terkesan patut dipuji dan elegan dalam artian tidak ada praduga bahwa si ayah atau si ibu lebih berhak mendapatkan hak-asuh anak, dan kebutuhan orang tua dan pihak-pihak lain yang berkepentingan bersifat sekunder dibanding kepentingan anak. Tujuan yang paling tinggi adalah menempatkan anak di lingkungan yang paling menguntungkannya, lingkungan yang memungkinkannya berkembang dengan sehat. Tetapi paling tidak ada tiga permasalahan yang terkait dengan standar ini :

  • Ketidakjelasan standar, dalam artian bagaimanakah standar yang terbaik untuk anak membuat keputusan berada di tangan hakim. Misalkan bila hakim mendukung hak asuh ibu. Standar kepentingan terbaik yang kabur itu tidak dapat dianggap sebagai kemajuan yang berarti dari dokrin tahun rentan-rentan kuno
  • Standar kepentingan yang terbaik ini tanpa disadari justru mempertinggi konflik diantara orang tua
  • Standar ini mengharuskan pengadilan untuk memprediksi masa depan. Hakim harus membayangkan, bentuk  penatalaksanaan hak-asuh seperti apa yang memungkinkan perkembangan yang sehat selama masa kanak-kanan atau selama beberapa puluh tahun setelah keputusan itu diambil

Standar seperti ini mengandung banyak kritikan. Dolgin (1996) contohnya, melaporkan bahwa banyak ktirikan tentang standar tersebut dikarenakan tidak cukup mewadahi pedoman substansial pengadilan mengenai keputusan pengasuhan anak.  Penulis juga mengganggap bahwa penggunaan standar dalam pengadilan hanya membawa pertentangan keputusan di dalam pengasuhan anak, yang tergantung pada ketua hakim. Bagian dari masalah ini muncul dikarenakan tidak adanya definisi oprasional yang dikenali secara luas mengenai standar tersebut. Bahkan, salah satu studipun menemukan standar pada kitab undang-undang pun sangat sedikit yang menunjukan panduan mengenai standarisasi ini. Standar keputusan juga dikirtik kerena secara lebih luas, kesepakatan masyarakat tentang standar yang terbaik untuk anak juga tidak ada.

Dolgin (1996) percaya bahwa kurangnya panduan mungkin akan membawa hakim lebih fokus kepada kepentingan orang tua dari pada kepentingan anak. Sehingga, menurut G. Miller (1993) menyatakan bahwa pengadilan sering mengujikan faktor lain untuk menambah keberpihakan kepada anak. Miller melihat selama ini, keputusan pengadilan lebih berpihak kepada orang tua dibandingkan kepada anak itu sendiri. Misalkan saja dalam kasus Joe dan Sarah, hakim mungkin mendasarkan pada hak konstitusional Joe dari kehilangan anaknya karena kejahatan yang mungkin tidak pernah ia lakukan, jika ini menggantikan keberpihakan terhadap anak. Kandel (1994) menyarankan bahwa standar tentang perawatan terhadap anak sebaiknya tidaklah didasarkan pada dimensi-dimensi konstitusional, implikasinya substansi maupun proses prosedural hak asasi menjadi tidak ada. Kemudian, ini juga membatasi kepentingan orang tua, dan kepentingan anak sendiri. Standar juga membuat lebih banyak pelanggaran terhadap hak dari anak dari pada orang tua karena keputusan juri didasarkan pada opini hakim kepada kepentingan anak.

            Terkadang dalam membentuk opini ini dan menghasilkan keputusan, hakim tidak mendasarkannya pada sugesti psikological. Faktanya, menurut Miller (1993) indikasi kepentingan yang terbaik untuk anak jelas digambarkan berbeda antara pandangan hukum dan padangan psikologi. Padangan dari sudut psikologi atau kesehatan mental adalah kepentingan terbaik dari anak haruslah menjadi faktor penentu dalam penetapan perwalian tidak hanya sekedar standar institusional ataupun faktor hukum saja.Oleh karena itulah, ketika pengadilan meminta bantuan psikolog, hasilnya bisa dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan.

Psikologi Forensik dan Implikasi Kebijakannya

Banach (1998) mengatakan bahwa dalam membuat keputusan, para professional harus meminimalkan bias yang ada di dalam diri mereka. Dia juga menyarankan definisi oprasional utamanya di suatu Negara bagian atau daerah haruslah memiliki keseragaman. Sehingga professional tidak semata-mata menyandarkan keputusan mereka atas asumsi pribadi, tetapi juga berdasarkan evaluasi dengan para professional lainnya untuk menghindari bias.

            Begitu juga dengan kasus yang melibatkan kepentingan anak-anak harus juga berdasarkan pertimbangan yang memiliki keseragaman kirteria. Ini melibatkan pengujian pertalian emosi anak dengan orang tua dan kebutuhan anak akan stabilitas, juga aturan juga harus memastikan bahwa perilaku orang tua atau life style yang dipilih tidaklah secara langsung membahayakan hubungan dengan anak. Misalnya dalam situasi Joe dan Sarah, hal ini merupakan tugas yang sulit untuk menyelesaikan kedua hubungan dalam perilaku yang berpotensi membahayakan anak-anak.

            Goldsteins dan kawan-kawan (1996) menawarkan gagasan dari perubahan interes anak, dimana penempatan keputusan hak asuh anak harus tetap membuka kemungkinan dari keadaan intervensi dan penempatan secara permanen terhadap satu pihak. Selain itu, Walldan Amadio (1994) menyatakan bahwa keputusan pengasuhan anak harus didasarkan pada keseluruhan anggota keluarga dan membutuhkan seluruh anggota keluarga untuk memberikan banyak manfaat dan hubungan yang berkelanjutan antara orang tua dan anak-anak.

            The Uniform Marriage and Divorce Act (Undang-Undang Perkaminan dan Perceraian) tahu 1976 menusulkan lima kriteria untuk menetapkan hak asuh anak yaitu: a) keinginan orang tua anak, b) keinginan anak,c) hubungan antara anak, orang tuanya, saudara kandung, dan orang lain yang memberikan pengaruh siginifikan pada kepentingan terbaik anak, d) penyesuaian anak di rumah, sekolah, dan masyarakat, e) kesehatan fisik dan mental orang-orang yang terlibat dengan anak. Tidak dapat disangkal, kelima kriteria ini sangat bersifat psikologis. Sehingga pengadilan seharusnya menangani isu-isu psikologis dengan atau tanpa bantuan ahli psikologi.

            Kadang-kadang psikolog klinis bertindak sebagai penasehat pengadilan, dan kadang-kadang psikolog dengan pendapat yang beragam tentang apa yang terbaik bagi seorang anak akan menawarkan kesaksian yang berlawanan, yang mendukung ayah dan ibunya. Seringkali hakim menunjuk  ahli psikologisnya sendiri untuk melaksanakan evaluasi hak asuh atas nama pengadilan. Salah satu tugas psikolog yang bertugas di pengadilan misalnya dapat meneliti hubungan keluarga dan untuk mengidentifikasikan kekuatan dan kelemahan masing-masing.

            Psikolog yang diminta untuk melaksanakan pengukuran harus menyandarkan diri pada berbagai sumber informasi. Pedoman APA menyebutkan bahwa evaluator hak asuh anak mengumpulkan informasi yang relevan dengan tiga macam isu yaitu:

  • Kebutuhan psikologis dan perkembangan anak
  • Kekuatan dan kelemahan masaing-masing orang tua
  • Interaksi dan hubungan diantara setiap anggota di dalam keluarga.

Saran Untuk Penelitian Kedepan

            Penelitian kedepan diperlukan untuk melihat faktor apa saja tepatnya yang mendasari pembuatan keputusan hak asuh anak diberikan tertutama yang berdasar atas standar “kepentingan anak”. Sebelum panduan yang spesifik ditetapkan, hal ini harus juga diwadahi. Selain itu, penelitian juga bisa melihat seberapa jauh konsep gender bisa menimbulkan bias dalam pemberian hak asuh satu-satunya terhadap anak, karena terkadang banyak pandangan yang mengatakan bahwa wanitalah yang paling cocok untuk merawat anak.   

HUKUMAN: PSIKOLOGI REHABILITASI REMAJA

Pendahuluan

Kontroversi yang meliputi penanganangan yang tepat untuk remaja yang melakukan pelanggaran masih menjadi perdebatan hingga sekarang. Ada dua pendekatan yang digunakan dalam memandang pelanggaran remaja yaitu apakah ia harus langsung dihukum layaknya orang dewasa (Retributive Model) atau dilakukan rehabilitasi (Rehabilitative Model).

Pemberian rehabilitasi atau model rehabilitasi berdasarkan keyakinan bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh remaja harus dilakukan treatment, jika treatment tersebut berlangsung baik, maka ia terbebaskan dari perilaku kriminal. Tentu saja, dalam pemberian rehabilitasi juga harus mempunyai tujuan utama yang harus dicapai untuk sistem peradilan remaja. Sedangkan  retributive model mengganggap bahwa remaja yang melakukan tindak kejahatan atau pelanggaran haruslah mendapatkan hukuman yang keras. Dari ilustrasi kasus Kinkel, beberapa orang berpendapat bahwa kejahatan yang dilakukan olehnya membutuhkan perawatan, sedangkan yang lainnya berpendapat dia harus mendapatkan hukuman yang berat.

Contoh Kasus:

Pada tanggal 21 mei 1998, siswa tingkat tahun pertma yang berumur 15 tahun yang bernama Kiplan Kinkel menurut dugaan melakukan kejahatan mengerikan. Anak laki-laki muda ini berjalan dalam Kafeteria sekolah dan menembakan senjata dalam ruangan yang penuh dengan siswa tersebut. Dia menembak hampir sebanyak 52 rentetan, hingga seolah terdengar seperti bunyi kembang api. Amukan Kinkel tersebut membuat dua orang meninggal dan 22 lainnya terluka. Parahnya lagi, Ia juga membunuh kedua orang tuanya sebelum berangkat ke sekolah hari itu. Kinkel sebenarnya sudah mengumumkan kepada gurunya bahwa ia bermimpi menjadi pembunuh dan dia menggekspresikan kekagumannya kepada seorang teroris atau pembunuh. Selain itu, sehari sebelum penembakan dia tertangkap membawa senjata di sekolahnya, namun alih-alih diserahkan kepada konseling psikologi atau pusat perawatan, Kinkel dilepaskan dan dikembalikan kepada orang tuanya pada hari yang sama.

Literature Review

Kasus Kinkel adalah sesuatu yang sangat kontroversial mengingat apa yang telah dia lakukan walaupun usianya masih terbilang muda.  Kasus ini terbilang menjadi salah satu sorotan yang mengandung banyak perdebatan, apakah ia diadili layaknya kejahatan yang dilakukan oleh orang dewasa atau sistem pengadilan remaja. Ketika penggadilan pada remaja ditetapkan, biasanya yang menonjol untuk selanjutnya adalah fokus kepada rehabilitasi. Sistem peradilan remaja dibangun secara terpisah dari sitem peradilan orang dewasa, hal ini diasumsikan berdasarkan remaja yang bersalah cenderung berbeda dengan orang dewasa. Atau dengan kata lain pelaku kriminal remaja dipisahkan dengan pelaku kriminal dewasa, dengan alasan bahwa perilaku kriminal remaja tersebut masih dapat diubah.

Perbincangan mengenai penanganan apakah yang tepat dalam pelanggaran remaja, menjadi sesuatu yang seolah bersebrangan. Grisso (1996) mencatat bahwa para pembuat aturan lebih sekapat pemberian hukuman atas pelanggaran remaja dari pada memberikan rehabilitasi. Sedangkan para pakar kesehatan mental seperti psikolog pengadilan pelaku kejahatan remaja harus menyadari bahwa remaja memiliki hak untuk menyadari akibat perbuatannya pada korban (cognitive meaning) dan memperbaiki diri (behavioral meaning), dalam artian mereka membutuhkan rehabilitasi untuk perubahan perilaku.

Weaver (1992) mendiskusikan salah satu program di Florida yang didesain untuk remaja yang melakukan kejahatan yang serius. Program ini disusun berjalan dengan sukses tanpa memenjarakan remaja.  Program ini disusun atas tiga phase dimana di dalamnya remaja bekerja keras, mendapatkan pendidikan, dan belajar keterampilan kerja. Program ini adalah program kompetensi perilaku dimana remaja akan menerima “point’ atas peningkatan performa dari tugas sehari-hari yang mereka lakukan. Point yang terkumpul bisa ditukar dengan berbagi macam hak istemewa. Hasil dari program ini membuktikan bahwa rehabilitasi yang dilakukan efektif dalam merubah gaya hidup kriminal dari remaja yang melakukan pelanggaran. Kemudian, polisi di salah satu Negara bagian Amerika mengatakan bahwa program yang berbasis komunitas lebih efektif merubah perilaku remaja dari pada memenjarakan mereka (Melton, et al, 1997)

Psikologi Forensik dan Dampak Kebijakan

            Masalah-masalah yang terlibat dalam putusan hukuman dari pelanggar remaja menimbulkan implikasi untuk berbagai bidang forensik psikologi. Para psikolog ferensik membutuhkan kedua sisi dari perdebatan putusan hukuman. Disatu sisi, mereka yang menyepakati  memberikan rehabilitasi bagi para pelanggar remaja harus bisa menghitung atau mengukur siapa saja yang bisa atau berhak menerima pelayanan-pelayanan semacam hal tersebut. Satrus (1994) menyatakan bahwa mungkin saja, pelayanan rehabilitasi yang ada sekarang ini tidak memiliki pedoman yang komprehensif. Dengan data yang jelas mendokumentasikan bagaimana program rehabilitasi dijalankan untuk melindungi masyarakat dari tindakan kekerasan remaja dimasa yang akan datang, kemungkinan masyarakat dan pembuat kebijakan akan menahan diri dari memberikan hukuman kepada remaja.

            Sedangkan, bagi mereka yang mendukung model balasan hukuman dalam menghukum remaja yang melakukan pelanggaran juga harus bisa menjelaskan alasannya, dari era yang memberikan hukuman yang keras kepada pelanggar, remaja seperti Kinkel terus melakukan kejahatan yang bengis seperti itu. Tercatat sejak tahun 1992, ada 16 kasus serupa seperti Kinkel. Ini berarti memberikan bukti bahwa dengan memberikan hukuman tidak mengurangi kasus kejahatan yang dilakukan oleh remaja.

 

 Saran Untuk Penelitian Kedepan

Sangat kurang sekali studi longitudinal yang mencoba membandingkan dua pendekatan ini yaitu hukuman dan pendekatan hukuman balasan untuk melihat manakah yang lebih efektif untuk merubah perilaku semaja.

Selain itu tidak ada studi tentang usaha mendeteksi dasar kebebebasan menentukan keputusan dari hakim dalam peradilan remaja. Ini sebenarnya sesuatu yang sangat penting untuk diteliti kenapa hakim memberikan hukuman kepada beberapa remaja dengan memasukannya ke dalam ke dalam penjara sedangkan yang lainnya dengan perkara yang sebanding diberikan hukuman percobaan (hukuman bersyarat) atau program rehabilitasi. Kemudian, Penelitian lain juga dibutuhkan untuk menguji desain program rehabilitasi yang berjalan apakah sudah efektif ataukah membutuhkan perubahan guna perbaikan.

Tinggalkan komentar