Celoteh Kurikulum, Guru dan Opini Pribadi

Celoteh Kurikulum, Guru dan Opini Pribadi.

            Hari ini saya sosialisasi kurikulum 2013, dan mendengarkan banyak petuah tentang “karakter”, sampai pak pemateri bilang, kita akan mandi karakter…karena yang disampaikan dari pagi hingga sore adalah  serba ini kata. Secara keseluruhan pemateri di kecamatan saya cukup ok, mengingat cerita teman penempatan saya di Bintek mereka, saya rasa kekonyolan itu tidak terjadi di pemateri yang saya ikuti. Kata habituasi berasal dari kata habitat, dan contoh pekerjaan entrepreneur semacam MC untuk acara tidak muncul. Pun soal memilih anak mana yang orang tuanya bisa dipukul atau tidak, atau contoh merokok sebagai topik lain dari karakter. Pemateri di Kecamatan saya rupanya cukup menghayati pelatihan yang mereka peroleh di Kabupaten, saya merasakan semangat dan pandangan baru dari pemateri yang cukup tertular ke guru-guru.

            Bicara soal kurikulum 2013, secara esensi cukup bagus, walaupun sebenarnya tanpa ganti kurikulumpun pendidikan karakter sudah ada dan diterapkan oleh guru-guru sebagai hidden curriculum, walaupun tidak semua guru merepakan itu, dan semua sekolah sadar pentingnya karakter. Eh, Btw, Pak Mentri harusnya sadar dong, sebenarnya hampir sepuluh tahun ini, ada hal esensi yang merusak karakter bangsa kita, yaitu soal Ujian Nasional. Dari pelaku ujian nasional yang merasa terzolimi waktu itu, hingga saya menjadi guru dan menyaksikan sendiri bagaimana kepolosan anak-anak ternodai atas nama nilai dan kelulusan. Kembali ke kurikulum 2013, mungkin Pak Mentri maunya perubahan karakter menjadi tersistem dan tidak hanya menjadi wacana pada kalangan  tertentu. Fine, saya pikir-pikir, melihat pengalaman saya mengajar hampir satu tahun ini, si hidden curriculumnya  tentang karakter memang tidak sampai. Why, karena guru-guru sudah cukup sibuk dengan anak bodoh dan pintar yang ukurannya dari mana?. Untuk guru kampung macam saya ini, dari mana lagi kalau bukan evaluasi kognitif.

            Dulu ketika saya lagi gandrungnya berkunjung ke sekolah dengan kurikulum berbeda,  saya sungguh terpesona dengan penerapan karakter yang mereka bangun. Sekolah Alam di Yogya dengan kotak utama adalah cinta lingkungan, anak-anak SD Tumbuh yang menghargai keberagaman, atau sekolah Al-Azhar yang menerapkan Paikem. Saya paham satu hal, sekolah gemilang seperti ini, tidak berlaku untuk anak-anak di desa saya, yang mengeja saja masih susah, nemambah mengurang menjadi PR, atau bercerita cita-cita adalah hal istemewa.  Anak-anak saya ini sebenarnya butuh guru-guru yang juga harusnya sama berkualitasnya dengan anak-anak di kota dan sekolah mahal sana. Eh, bukan saya mengatakan guru-guru saya tidak berkualitas ya….Guru-guru di sekolah saya ini sudah melakukan hal yang maksimal, hanya saja frame dan pendekatannya yang berbeda. Bukan mereka tidak mau belajar, tetapi mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan diri menjadi lebih baik sehingga tambah berbuka wawasannya. Menjadi guru di desa, kemudian menambahkan list pemahaman baru untuk saya…bahwa guru-guru inipun harus mendapatkan kesempatan untuk terus belajar, dan ini pada akhirnya menjadi urusan kita bersama.

            Cerita saya tambah melebar, sebelum menyambung tentang kurikulum tadi. Masih soal guru. Kenapa saya bisa beragumen seperti di atas karena saya menemukan banyak orang yang sebenarnya berdedikasi dengan caranya. Ada seorang guru yang memukul, bukan karena dendam atau marah semata, tetapi dalam kaca mata  mereka, cara yang harus dilakukan biar anak pintar adalah dengan membuat mereka patut. Patut sama dengan anak tidak ribut dan keluar kelas, How…. salah satunya dengan pukulan.  Jika kita melihat esensi maksud, sebenarnya ini tidak salah, yang kurang tepat mungkin adalah cara. Saya membayangkan diri saya, ketika saya tidak sekolah di Psikologi bertahun-tahun, lalu dibekali pelatihan intensif di Indonesia Mengajar, kemudian moro-moro yang didaulat menjadi guru dengan anak-anak spesial seperti penempatan saya…Cara apa yang saya gunakan? Mungkin begitulah kira-kira gambaran guru di daerah, kesempatan untuk belajar untuk meningkatkan kemampuan mereka hampir tidak pernah ada.

            Otak saya kemudian berusaha mengali, berapakah pelatihan yang pernah saya ikuti sebagai bagian dari guru desa selama saya di pemerintahan. Otak saya hanya terkait dengan urusan KKG pembuatan soal, perumusan prosem yang berujung pada pembagian sekolah mana yang mengerjakan sisanya bayar dan copy paste, atau mengisi masalah teknik bagaimana RPP yang baik dan penilaia kinerja. Ini masih agak mendingan dibandingkan kecamatan teman saya yang selama ini hampir tidak pernah ada KKG bermutu. Saya kemudian menjadi berfikir lagi…. bagaimana mungkin anak-anak di desa ini mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar maksimal sementara guru-gurunya saja tidak mendapatkan kesempatan yang maksimal.

            Entah kenapa saya menjadi teringat kata-kata yang amat sering dikuandangkan oleh orang-orang Indonesia Mengajar, “ berhenti mengutuk kegelapan dan nyalakan lilin”, saya di sisa penugasan saya menjadi benar-benar tersadar, seharusnya kehadiran Pengajar muda di Banggai adalah sebagai jalan untuk memberikan kesempatan untuk guru-guru ini meningkatkan kompetensinya sebagai seorang guru, entah bagaimana caranya. Saya kemudian sedikit mengutuki diri saya sendiri…. Yang seharusnya bisa lebih membagi waktu untuk bisa berbagi lebih banyak terhadap guru-guru, walaupun hanya di lingkup sekolah saya. Pada akhirnya ini akan juga berdampak kepada anak-anak saya.

            Saya mencoba memahami kemudian satu persatu personal guru-guru saya. Pandangan saya beberapa bulan ini cukup banyak perubahan dari awal saya menginjakan kaki di desa. Idialisme saya yang melangit kemudian mulai membumi dengan kenyataan, tetapi bukan pasrah kepada keadaan. Ini hanya melahirkan pemahaman baru yang mungkin versinya IM adalah  grassroot. Di sisa waktu saya, terhadap guru-guru ini, saya tidak tahu seberapa banyak bisa berbuat. Tetapi saya harus menghargai kemajuan-kemajuan kecil yang kami buat bersama. Kami yang saling mempengaruhi, saling mengajarkan dengan tidak saling menggurui. Mereka melihat perpektif yang berbeda dari saya, dan saya mendapatkan pemahaman yang lebih utuh dari bagaimana kondisi pendidikan sebenarnya. Pada akhirnya benar, pendidikan itu bukan urusan saya semata sebagai seorang guru, tetapi urusan kita bersama secara sinergis.

            Ha, semacam saya sudah melantur terlalu banyak. Kembali ke kurikulum 2013,  saya kagum melihat beberapa respon dari guru di pelatihan tentang karakter. Semacam guru-guru ini merindukan karakter anak yang dalam gambaran utupis seperti yang disampaikan sang pemateri. “Dulu kitorang itu tidak ada yang berani sama guru-guru, sekarang murid itu macam teman memperlakukan guru”. Papar pemateri. Ini mungkin ada benarnya, tetapi sesungguhnya esensi perubahan perilaku adalah multi faktor dan tidak hanya sebab musabab kurikulum bukan.  Kalau difikir-fikir, selama ini memang pembelajaran lebih berpusat kepada kognitif semata, kecuali sekolah-sekolah dengan binggkai tersendiri, dengan catatan itu tidak banyak dan kadang mahal. Tetapi kebanyakannya memang berorentasi seperti itu. Oleh karena itulah, saya cukup menghargai usaha jajaran kementrian pendidikan, terlepas apapun motif terselubungnya untuk membuat karakter menjadi tersistem dan nilai-nilanya bisa meresap hingga garda paling depan yaitu para guru. Semoga saja, cita-cita luhurnya tercapai….

Ngelanturnya sebenarnya masih banyak si… dan aslinya bisa semakin ngawur, tapi wes ngantuk.

Jadi yan…. belajarlah yang baik ya…