Andi dan Perasaan yang Sama

Sekitar lima tahun lalu, saat saya  menjadi guru ada anak bernama Andi. Sudah dua tahun dia tidak naik kelas, sudah tidak punya orang tua dan hanya tinggal bersama kakek dan neneknya yang setiap sore pergi mencari ikan ke laut. Saat mereka pulang, Andi sudah tertidur lelap, entah sendiri di rumah atau di rumah tetangganya.

“Andi mau belajar membaca sama Enci?”  tanyaku suatu sore.

Iyek Enci” Jawab Andi dengan tawa, semangat dan mata yang berbinar.

Benar saja kata wali kelasnya, orang yang mengajar Andi akan kewalahan, karena Andi dengan cepat melupakan huruf yang diajarkan kepadanya. Saya mencoba berbagai cara untuk membuat Andi lebih mengenal huruf. Mengajarkan dengan bernyannyi, menulis berulang, main tebakan, hingga membuatkan kalung kartu yang dipakai Andi sepanjang hari di sekolah. Kartu tersebut akan ditukar kepada saya setelah dia ingat huruf  sebelumnya.

Sulit, kadang membuat sangat frustasi.

Tapi Andi tidak demikian.  Meskipun pelajaran yang selalu berulang, ekpresi saya yang hampir marah, atau ejekan teman-temannya,  Andi selalu datang dengan mata berbinarnya, lalu berteriak “Enci, ayo belajar”.

Pernah suatu pagi di hari minggu, Andi datang ke rumah dan membuat saya kaget.

“ Enci, ayok belajar”, teriak Andi

“ Andi, bukankah kita janjian jam 2 buat belajar”, kata saya.

“ Iya Enci, ini jam 2” jawab Andi

Saya baru tahu kemudian, kalau Andi tidak hanya kesulitan untuk membaca, tetapi mengenal angka. Andi menjadi penyemangat saya untuk menjadi guru yang lebih baik lagi.

Sayang, pendampingan saya terhadap Andi menjadi berkurang, karena saya harus sering ke kota untuk mengurus acara kabupaten ataupun masalah di tim. Saya semakin susah menghabiskan waktu belajar dengan Andi, apalagi menjelang kenaikan kelas.

Andi menampar saya. Saat wali kelasnya mengatakan tidak ada kemajuan dalam membaca, menulis dan berhitung sehingga Andi tidak akan naik kelas.

Saya menangis, sedih, bersalah, mengutuki diri sendiri, merasa gagal dan sebagai guru harusnya bisa melakukan hal lebih baik untuk Andi saat itu.  Bahkan sampai ditarik dari penugasan, saya tidak bisa berbuat banyak untuk Andi.

Perasaan itu sama, dan begitu rupa menyelimuti.

Ya…Hari ini perasaan itu sangat sama, terhadap pekerjaan saya sekarang. Di titik yang membuat saya berfikir keras, harus bagaimanakah kemudian???

22 Nov 2017

 

Refleksi: Kenangan dan Renungan

Sisi lain dari musik festival.

Saya menyumpah kenapa makanan saya harus disita hanya untuk melihat festival musik. “ pasti karena kita disuruh beli makanan di dalam”, tentu saja ini valid, karena begitu banyak food truks di arena festival.  

Beberapa jam kemudian saya langsung menarik sumpahan saya. Saat melihat seorang bapak, tua, berseragam hijau, sapu di tangan kanan, dan tempat sampah di tangan kiri. Bapak itu juga berada di tengah lapangan,  masuk dalam kerumunan anak muda yang hanyut dengan konser musik sang idola. Tujuan bapak bukan ikut berjoget, tetapi menuntaskan tugasnya untuk mencari sampah-sampah berserakan yang dibuang sembarangan.   Saya menjadi bersyukur, paling tidak larangan membawa makanan dari luar, mungkin sedikit mengurangi beban sampah yang harus dibersihkan oleh orang-orang seperti bapak ini.

Serupa tapi tidak sama dengan sang bapak.

Seandainya wanita itu tidak menggunakan make up tebalpun, wanita itu terlihat sangat cantik. Rambutnya panjang lurus, tubuhnya ramping, apalagi dengan balutan baju putih ketat dan sepatu berhak tinggi.  Dia pasti lelah pikir saya. Tanpa suara, hanya menyorokan kotak rokok kepada banyak laki-laki untuk dibeli.  Rokok dan sales perempuan sepertinya adalah stategi jitu penjualan perusahaan. Saya jadi penasan, para laki-laki itu, membeli rokok apa karena candu dengan tembakau atau justru rancu dengan sang penjualnya. Saya tidak bisa menjawabnya.

Ragam lain di sudut yang berbeda

Saya beranjak menuju mushola di lokasi festival. Dengan santai saya berjalan di antara beraneka booth yang meramaikan festival. Ada kaos, marchendise, makanan, sampai pameran tentang persiapan Asean Paralimpic Game dimana mereka yang difabel yang menjaganya.

Waktu magrib masih lama, saya tidak perlu tergesa batin saya.

Dalam acara festival dengan banyak pecinta musik dan penikmat kesenangan  dengan segala rupa di luar konsep normal manusia, pasti mushola bukan tempat yang ramai pikir saja.  Lalu saya sungguh terkejut, bahkan hanya untuk wudhu, saya harus anti lebih dari 30 menit. Ada 8 keran air untuk laki-laki dan perempuan, dan semuanya antri panjang dan meliuk-liuk. Belum lagi antri untuk sholat “duh… wudhu antri, sekarang saya juga harus menunggu ada mukena yang nanggur” kata seorang perempuan.

Ternyata saya salah,  Tuhan dan ritualnya selalu punya tempat. Entah karena ingin kembali, atau sekadar menuntaskan kewajiban. Hal yang sama saya pertanyakan untuk diri sendiri.

Waktu kemudian berlanjut untuk bergembira kembali.

Apa yang ada di dalam fikiran orang-orang ini saat mendengarkan lagu-lagu melow sudah berumur 10 tahun lebih. Mereka bernyanyi, saling merangkul, bergoyang santai, sambil melambaikan tangan ke atas. Sang penyanyi, lebih banyak menyorkan mikrofon ke penoton karena merasakan aura bahwa penonton inging bernostalgia dengan lagu. Bagi saya sendiri, beberapa lagu yang dinyanyikan adalah penanda dari banyak kehidupan saya.  Saat remaja dan pertama kali jatuh cinta, saat musik dan band adalah tanda bahwa kita keren, saat pertemanan dan mimpi mulai dirajut, saat harus mengepak dari satu kota ke kota lainnya, atau masa-masa gagal kemudian beranjak untuk segera bangkit. Bagi saya, lagu itu sama layaknya buku, selalu menjadi teman setia pengantar banyak kehidupan.

***

Kearifan paling purba adalah menunaikan kewajiban (Amba, Laksmi P)

Kenangan, kadang tidak hanya sekadar merefleksikan apa yang kita lakukan dimasa lampau, tetapi menyesali apa yang tidak kita lakukan di masa lampau.

Jakarta, 10 Oktober 2017.

Rangga dan Pengingat

“Saya ingin jadi tentara Enci, masih sama seperti dulu” Ucap Rangga di pantai saat aku kembali lagi ke Desa Moilong.

Selalu ada yang sama dari Rangga, anakku yang sekarang duduk di kelas 1 SMP. Tidak banyak cakap dan lebih sering mengamati sekitarnya.

Saat aku mengingalkan Moilong dulu, Rangga masih kelas tiga SD, setiap sore ia akan pergi ke sekolah entah membaca atau hanya sekadar bermain. Rangga dan adiknya Sindi adalah orang yang selalu konsisten menenaniku pergi sembahyang dan mengaji di mesjid.  

Dulu, Rangga memberikan kado paling bermakna untukku sebagai tanda perpisahan.  Sebuah Al-Quran tua, bertuliskan namanya dan dibungkus dengan kertas koran.  Perasaanku selalu damai jika menyentuh hadiah ini, membayangkan Rangga kecil dengan ketulusannya memberikan yang dia punya untuk Encinya yang beranjak pergi.

Rangga belum berubah, di usianya yang beranjak remaja, mesjid adalah salah satu tempat persinggahan kesehariannya dan mengaji masih menjadi kebiasannya.  

Rangga adalah  pengingatku untuk memberikan yang terbaik dikondisi seturpuruk apapun. Saat Rangga duduk di kelas enam dan sedang ada ulangan, ibunya meninggal karena sakit. Rangga menyelesaikan ujiannya sampai selesai,  baru meminta izin untuk meninggalkan sekolah. Tidak banyak yang tau bahwa Rangga sebenarnya menangis saat  berlari pulang.

Rangga adalah simbol akan semangat dan kebermaknaan untukku.  Akan kuambil nafas panjang, kutatap fotonya di meja kantorku, dan kuingat lekat semua tentang Rangga saat aku lelah dengan pekerjaan, bertanya banyak hal tentang hidup, mencari rupa tentang Tuhan atau sekadar bernostalgia betapa bahagianya saat aku menjadi seorang Enci .

Malam ini, Rangga mengingatkanku kembali untuk lebih bersyukur, dan menampar dengan keras bahwa ada makna mengapa seseorang dilahirkan di dunia ini. Bahwa mungkin untuk memberikan kebermanfaatan untuk manusia lainnya.

Rangga, terimakasih untuk terus menjadi pengingat Enci.

 

 

Mengulang Tahun dan Belajar

Hari lahir saya adalah hari dimana saya resmi untuk menjadi bagian tim KIAT Guru. “Berarti kamu merayakan kali keempat ulang tahun bersama KIAT Guru” kata teman kantor saya. Benar demikian, tahun pertama saat saya induksi dan tanda tangan kontrak untuk dikirim ke Ketapang, tahun kedua saat pelatihan Kader dan KPL (dengan asap dimana-mana karena kebakaran hutan), tahun ketiga saat saya pusing-pusingnya ngurusin rekrutmen tim daerah, dan tahun keempat di sela rapat seharian, bos dan teman-teman kantor datang ke meja membawakan cake besar rasa es campur ke meja saya.

Rupanya sudah tiga tahun saya bekerja di tim ini, dengan segala dinamika dan tantangannya. Satu hari sebelumnya,  kami semua merayakan  perpisahakan Mbk Upi,  personil paling awal di KIAT Guru, dan semua orang benar-benar merasa kehilangan. Saat Mbk Upi mengucapkan kata-kata perpisahannya. Saat itu saya berpikir ” apakah saya yang akan mengucapkan kata perpisahan atau saya akan menuntaskan sampai akhir?”. Sesuatu yang belum bisa saya jawab beberapa bulan belakangan.

Apakah semakin bertambah usia seseorang, akan menjadi semakin keras kepala? semakin tidak mau mendengarkan orang lain, selalu membenarkan apa yang dilakukannya, dan cenderung berpihak atas yang menguntungkan pribadinya? Model rupa yang sering saya temui akhir-akhir ini.

Lalu dengan bertambahnya usia, apakah saya akan menjadi seperti itu?!. Mungkin pada akhirnya, saya tidak hanya belajar menyelesaikan pekerjaan dengan baik, tetapi juga belajar  mendengar, memahami, dan bertindak dengan benar.

 

 

 

 

 

Respect

Ada yang lebih penting dari cinta kata teman saya, hal itu adalah “respect”. Ungkapan yang menggambarkan kepercayaan, penghargaan atas amanah, atau penghormatan atas pikiran, sikap dan perlilaku sesorang.  Teman saya mengisahkan tentang hilangnya kepercayaannya kepada seorang teman yang tidak amanah dalam mengelola uang, dan bagaimana sebuah organisasi  tempat kami sama-sama belajar memanfaatkan situasi tertentu untuk kepentingan politik. “Hormatku kepada beliau benar-benar hilang, dan sudah sangat malas berkaitan dengannya”,  ucap teman saya ini.

Bos saya pernah bertanya, sampai kapan saya akan bertahan di sebuah pekerjaan yang kemudian saya jawab dengan diam. Namun, sesungguhnya hati saya berujar saat saya sudah tidak memiliki rasa hormat kepada siapapun dan apapun yang ada dipekerjaan saya. Saat saya mulai melihat banyak orang saling menjatuhkan, berbicara satu sama lain di belakang, saat di dalamnya hanya berisi sekumpulan orang yang bekerja bersama-sama tetapi bukan kerja sama, saat saya bahkan tidak menemukan nilai baik dan manfaat atas apa yang saya kerjaan. Akhir-akhir ini saya belajar banyak bahwa tentang respect ini, saya mengamini bahwa jika tidak ada rasa hormat kepada seseorang, bagaimanapun bagusnya seseorang bekerja, tetap akan terasa cacat dan terkesan licik! Di titik itulah, saya butuh hijrah!

Saya kemudian belajar untuk lebih mengargai yang tidak terlihat, mereka yang bekerja dalam diam, mengusahakan yang terbaik dalam proses, terus bekerja walaupun banyak stigma dan rasa tidak percaya, tuduhan tidak becus dan tidak mampu mencapai target pekerjaan. Saya belajar bahwa rasa hormat, dibangun  dengan silaturahmi, tidak menyakiti perasaan dan menjaga hubungan baik terhadap sesama terlepas begitu banyak perpedaan yang menyelimutinya.

* 4 Juni 2017

Ragam Rasa

Saya akhirnya menikah!, setelah sempat gagal karena perbedaan pendapat kedua orang tua. Ternyata perbedaan dapat diselesaikan dengan kesabaran dan komunikasi yang baik, itu pembelajaran terbesar dari ujian pernikahan kami. Saya akan membawanya ke desa beberapa hari, melihat bagaimana pekerjaan saya dan tinggal di kos-kosan ini sementara waktu.

Kosan 3 x 4 Meter itu, di sewa seharga Rp. 300 ribu perbulan, dengan keberkahan orang desa yang meminjamkan kompor gas, peralatan masak, dan tentu saja kasur ala kadarnya. Tapi, saya sangat bahagia, karena akhirnya bersamanya!”

***

Saya akan pulang, tidak peduli dengan pekerjaan karena istri saya sudah mengeluh perutnya sakit. Meskipun ini adalah anak ke empat kami, tapi tetap saja dia sendirian. Jauh-jauh saya kerja di Kalimantan adalah untuk keluarga di Jawa. Bisa jadi laki-laki, bisa jadi perempuan, bagi saya sama saja. walaupun ketiga kakaknya adalah perempuan.

Ia segera pulang, kata Si B pada rekannya. Jangan seperti saya yang akhirnya tidak bisa menemani istri di meja operasi. Berjuang sendirian dengan perasaan redam tak bisa memegang tangannya. Bagaimanapun, keluarga adalah segalanya!”

***

Saya hampir kehilangan dia di usianya yang baru dua tahun. Setelah lama meminum obat paru karena sakit, kemudian tak sadarkan diri karena DB, dokter mengatakan bahwa saya harus pasrah, hari ke delapan adalah titik kritisnya. Saya panggil Nama Yesus dan semua leluhur saya, berdoa di samping ranjangnya, dan pasrah yang terbaik untuk anak saya. Saya bilang kepada Tuhan, jika dikembalikan ke saya, saya akan menjaganya dengan sepenuh hati.  Ketika saya beranjak keluar, membuka gagang pintu rumah sakit, si kecil saya berkata “ Bapak….bapak….”, ada guncangan lega dikalbu saya,  anak saya kembali setelah tidurnya yang panjang, dan tugas saya kemudian adalah menjaga amanah ini sebaiknya-baiknya.

***

Saya benci rumah sakit!, mungkin karena banyak pesakitan di sana yang membuat saya sedih dan tidak tega. Mungkin saya juga harus belajar bahwa ada harapan dan tawa lega saat mereka dinyatakan sembuh. Ketakutan saya terhadap rumah sakit semakin menjadi saat saya melihat dan mendengar banyak praktik yang tidak sesuai yang menjadikan saya berfikir tidak logis tentang membenarkan tulang akibat jatuh ke tukang urut. Paling cuman keselo, dan bukankah selama ini tukang urut berkerja dengan baik, pikir saya!

Di ruang operasi, saya mendengar dokter bertanya tentang umur saya, menyuntikan sesuatu ke tangan saya, meletakan masker berisi oksigen dan entah zat apa lagi ke mulut saya. Mendadak lampu sangat terang menjadi gelap dan saya kemudian tersadar di ruang pemulihan. Yang saya ingat, saya kedingingan dan hanya ingin pulang, semewah apapun rumah sakit, saya tetap benci ada di sana. Meskipun demikian,  rumah sakit mengingatkan saya untuk bersyukur bahwa sehat adalah sesuatu yang mahal dan harus dijaga baik-baik!.

Dan bahwa, jika terjadi sesuatu dengan kita bukan pekerjaan yang akan kehilangan, tetapi keluarga dan orang-orang yang kita sayangi.

***

Korek dan rokok adalah barang terakhir yang diberikan kepada saya. Setelah perjalanan panjang kami menyusuri sungai dengan perahu menuju desa sangat terpencil. Lokasi tugas saya dengan orang yang saya anggap abang untuk membuat anak-anak di desa lebih baik lagi belajarnya. Dia pamit untuk pulang ke rumah, tak ada tanda bahkan permisi. Abang saya yang peduli ini, meninggalkan kami tiba-tiba, dalam sebuah kecelakaan tunggal di jalan raya. Menyisakan duka mendalam dan ketidakpercayaan. Diam, tawa, kebaikan dan kebijaksanaannya kini hanya tinggal cerita. Memberikan penegas kepada saya, bahwa maut bisa datang kapan saja

***

Hufh… Berbagai cerita hidup akhir-akhir ini.

May 2017

Menyeduh Makna

Salah satu bacaan  dipenghujung tahun ini adalah “Tuhan Dalam Secangkir Kopi” Karya Denny Siregar. Buku yang renyah tanpa menggurui, tetapi bagi saya, rangkaian kata dari buku ini membantu untuk melihat kembali beragam peristiwa dan memahami makna di baliknya.

“Kenapa belajar agama disebut mendalami? kenapa kita harus menyebutnya kedalaman beragama, bukan ketinggian beragama?” pertanyaan reflektif yang kembali menggugah sadar saya bahwa  belajar agama adalah sesuatu yang harus diresapi, bukan soal logika dan nalar yang harus selalu terjawab.  Mereka yang menyelami ilmu agama, tidak akan pernah merasa tinggi, semakin dalam ilmu agamanya semakin merendah dia dihadapan manusia lainnya, bukan semakin meninggi. Tulisan yang kemudian mengingatkan pencarian abadi saya akan makna hidup dan keberagamaan.

Bagian yang paling saya suka adalah tulisan Denny tentang arti perjalanan, merefleksikan tahun-tahun lampau dimana saya berusaha menemukan siapa sebenarnya Tuhan saya.

Mereka yang masih saja mengasumsikan bahwa berhala itu adalah patung-patung yang disembah, sungguh terlambat lahir. Dunia ini berhala, agama berhala, ekonomi adalah berhala. Anak-istri dan suami juga berhala. Bos diperusahaan itu bisa menjadi berhala. Bahkan ada yang memberhalakan dirinya sendiri.  Itulah kenapa Tuhan selalu menjatuhkan kita berkali-kali di dunia, hanya untuk “memberi tahu”, bahwa Akulah yang layak dicintai dan disembah.  Mereka yang mengagungkan Tuhan lebih dari semua unsur materi yang ada, tidak akan pernah kecewa terhadap dunia. Karena selalu bersyukur, mereka menjadi tenang. Dan begitulah Tuhan selalu menyapa mereka dengan kalimat- “Wahai Jiwa-jiwa yang tenang”. (Denny Siregar)

Saya kemudian bertanya kepada diri saya, apa yang membuat saya menjadi begitu gelisah akhir-akhir ini. Mengapa ada masa saya merasa begitu damai dan tenang, tetapi ada saat dimana saya mengutuk, mencaci, dan menyalahkan seolah alpa dari rasa syukur atas banyak nikmat. Akhir-akhir ini, saya juga begitu mengeluh tentang pekerjaan saya. Saya terus bertanya, mengapa ditempatkan di situasi dimana setiap orang menjadi saling berprasangka.

Hari ini saya menyadari bahwa Tuhan kadang mengajarkan kita lewat perantara, untuk memetik makna, dan memahami maksud dari sebuah peristiwa.  Jiwa yang tenang  adalah ketika saya memilikiNya di hati saya dan berusaha sempurna dihadapanNya. Sempurna di depanNya adalah saat kita menjadi rendah diri di depan Tuhan karena dosa-dosa yang pernah kita lakukan dan selalu bersyukur atas semua peristiwa yang diberikanNya kepada kita.

Kita ini ibarat cangkir. Tuhan ingin menuangkan kopi panas untuk kita. Tapi, Tuhan tahu, letak cangkir kita masih miring, sehingga ketika Tuhan menuangkan kopi panasnya, pasti kopi itu akan tumpah (Deny Siregar)

Saya kemudian ingat pertanyaan teman satu kantor saya beberapa hari yang lalu. “Dalam satu tahun, apakah kita bisa mencegah diri kita dari dosa?, jawabannya pasti tidak, tetapi dalam satu detik ke depan, apakah kita bisa mencegah diri kira dari dosa?, jawabannya adalah iya. Itulah sebabnya kita bisa hidup dari detik ke detik untuk menjaga diri dan terus berbuat baik”.

Jika makan, minum, kerja, sholat, silaturahmi, dan segala aktivitasmu adalah bagian dari ibadahmu.  Maka melakukan yang terbaik, sekali lagi bukan soal menjadi sempurna di depan manusia, tetapi merupakan bentuk rasa syukur kepada Tuhanmu.

***

 Well, bukankah kopi terlalu manis tidak enak dirasa, bubuk kopi yang terlalu pahit dan asam juga tidak sehat di lambung.

Mempertegas Kasta

“Mengapa orang harus mempertegas kasta? tidak bisakah kita membuat manusia setara?!”

Suatu malam di pertengahan bulan November, saya dan beberapa teman pergi ke sebuah pernikahan mewah di Hotel Darmawangsa. Menurut Google, untuk menikah di sana diperlukan uang paling tidak setengah miliyar.  Harga wajar untuk teman saya ini, master lulusan luar negeri, bekerja di perusahaan minyak international, dan anak seorang petinggi partai besar negeri ini.

Undangan yang hadir termasuk saya tentu saja sangat menikmati suguhan makanan yang super enak dan mewah. Dimulai dari daging beraneka masakan, bebek panggang, udang, sate, sushi, salad, hingga beragam kue, es krim, dan buah sebagai makanan penutup. Juga disediakan mini bar kecil untuk tamu undangan yang ingin memesan minuman beralkohol. Di sisi lain pelaminan, tersedia band yang bergenre clasic-jazz sebagai pengiring tamu untuk menikmati hidangan. Sang penganten,  menggunakan baju kebaya merah dengan model terusan-semi tradisional yang dipadukan dengan batik untuk bawahannya. Terkesan sederhana, tetapi saya yakin payet di kebaya teman saya ini di buat dengan detail dan dengan biaya yang tidak sedikit.  Ditambah lagi, kami sebagai tamu undangan, juga dimanjakan dengan video mempelai dari mereka kecil, hingga proses akad pernihakan. Sejenak, menonton video ini menyajikan bahwa kehidupan mereka benar-benar beruntung.

Tetapi di salah satu sudut ruangan, saya melihat seorang perempuan berpakaian babysitter sedang menjaga anak kecil. Sangat mencolok di tengah ratusan para undangan yang menggunakan setelan baju terbaik, dan riasan wajah yang membuat seseorang menjadi lebih lebih cantik. Perempuan ini memberi makan kepada si kecil di saat sang majikan menikmati hidangan atau mungkin belanja sosial dengan undangan lainnya.

Pemandangan ini membuat saya berefleksi,  tidak bisakah sang majikan memintanya berpakaian keseharian saja, yang membuatnya menjadi sama dengan para undangan lainnya, yang membuat saya tidak mencirikan sang perempuan sebagai orang bayaran sang majikan.  Apakah tidak bisa, perempuan yang sudah menjaga anak majikan ini juga sama-sama menikmati makanan yang super mewah ini, tanpa harus melihat tatapan manusia lain bahwa dia berbeda.

Entah apa yang difikirkan sang majikan. Mungkin ingin mempertegas kasta, memperjelas bahwa manusia itu setara dinilai dari harta. Pemandangan yang membuat saya berjanji, tidak akan memperlakukan orang lain seperti itu.

 ***

Lagi, saya berfikir dalam atas apa yang saya lihat belakangan. Ini adalah tentang Bos yang saya hormati, ketika dalam sebuah acara yang melibatkan pemerintahan diminta membawakan tas kecil bermerk mahal kepunyaan sang eselon satu.

“seberat apa tas itu, sampai harus ada orang yang membawakannya, yang saya lihat itu hanya tas kecil yang bisa diselempangkan di bahu”.

Sepanjang acara, otak saya tidak pernah berhenti untuk bertanya. Mengamati bos saya berdiri, berjalan, dan mengikuti kemanapun sang eselon pergi. Bos saya tampaknya begitu amanah, sampai tak satu detikpun dia letakan tas tersebut dari genggaman tangannya.

Hari itu saya sedih, pertama karena sang eselon adalah orang yang saya anggap berbeda dengan pejabat tinggi negara lainnya, yang kedua karena orang yang membawa tas tersebut adalah bos yang saya hormati.

Bos saya kemudian berkata “menjadi aspri seperti hari ini, membuat saya sadar bahwa saya tidak akan punya aspri untuk membawakan tas seperti itu”.

Ya… sekali lagi saya kembali belajar.

Jeda

Hei…. Sudah lama saya tidak menulis di blog ini,

Dari celotehan tidak penting, sampai teramat tidak penting, dan sepertinya saya merindukan hanya sekenanya menulis, lalu menjadi diri sendiri dalam tulisan saya.

 Menulis tidak beraturan, tanpa peduli ejaan benar dan salah atau tanpa harus berfikir apakah orang lain mengerti maksud tulisan saya.  Saya hanya ingin menulis untuk merefleksikan, atau sekadar mengeluarkan uneg-uneg kusut yang bisa jadi tambah kusut.

 Ya… saya lupa entah sejak kapan, menulis adalah cara katarsis dalam hidup saya!, walaupun akhir-akhir ini menulis rupanya menjadi beban pekerjaan yang membuat frustasi  hidup saya!

And than temen sekantor saya bilang “ make some distance”

Yup, bisa jadi demikian.  “ Waktu jeda, untuk melihat lebih jauh atas apa sudah kita lakukan” kata teman saya kemudian.

Mungkin bisa jadi jeda sejenak dari banyak kekhawatiran-kekhawatiran saya. Tidak hanya soal pekerjaan, tetapi mungkin banyak hal dari hidup saya belakangan. Jeda, untuk menarik nafas lebih panjang, diam sejenak, kemudian memuai berjalan kembali.

 Yah…ternyata saya hanya ingin sekadar jeda….

***

Gagan, Anjan, Petebang, dan Saya!

WP_20160126_005[1].jpg

Gagan dan Anjan dengan mata dan senyumnya yang indah

Gagan dan Anjan adalah beberapa hal hari ini yang membuat saya tersenyum dengan lapang. Di sela banyak hal yang membuat saya marah dan geram, menjadikan uring-uringan seharian, dan malas melakukan sesuatu. Saya bersyukur hari ini pergi ke Desa Petebang, walau sebentar paling tidak saya bisa menemukan banyak alasan kebahagiaan di sana.

Gagan dan Anjan, tiba-tiba langsung ada di sisi meja tempat saya saya duduk di kantor guru. Mereka tersenyum manja, dan berkata “ ibu…….”, reflek saya mengambil handphone dan memfoto mereka berdua. Gagan dan Anjan, mengingatkan saya betapa senangnya saya bermain dan menghabiskan waktu bersama anak-anak Petebang. Butuh waktu hampir satu tahun untuk saya menjinakan hati Anjan, yang suka cemberut dan marah-marah, sedangkan Gagan, cukup beberapa jam pertemuan, dia bermanja ria dengan saya. Saya senang dipeluk dan disambut hangat oleh mereka.

Masih dengan kemarahan saya, selepas magrib tadi, saya berfikir apa yang bisa meredakannya. Apa yang bisa membuat hati saya lega selain saya menuliskan alasan kenapa marah di selembar kertas kemudian membuangnya. Ternyata jawabannya adalah dengan mengingat kunjungan singkat saya ke desa Petebang tadi siang.

Saya kemudian ingat Pak Liang yang tidak sengaja bertemu di jalan, menyapanya saat mengambil kayu bakar. Pak Liang tampak sehat kali ini dan bercerita istri dan Winan anaknya sudah kembali ke rumah. Lega dan bahagia…. Itulah yang saya rasakan untuk keluarga ini. Keluarga yang dulu pernah menjadi tempat tinggal saya saat melakukan fasilitasi. Walaupun dengan lika-liku masalah yang kami lewati, saya berterimakasih kepada  Pak Liang karena melupakan perbedaan, dan menerima saya dengan pelayanan tamu yang luar biasa. Tanpa jasa awal Pak Liang, mungkin kegiatan saya di desa, tidak akan berjalan lancar seperti sekarang.

Saya masuk ke ruang guru dengan hati yang ringan, berbeda sekali dengan beberapa bulan lalu. Semua guru menyambut saya dengan hati yang tulus. Paling tidak itulah perasaan saya sekarang. Tidak ada perasaan curiga seperti dulu, dan kami bisa tertawa bersama. Menertawakan Pak Tri yang tidak sadar tunjangannya dipotong, menceritakan jalan yang sudah semakin parah, menyaksikan Pak Kadek yang dekat dengan semua guru, atau bercerita santai dengan bu Murni tentang benang rajutan yang saya belikan di Jakarta. Saya bahagia mengambil nafas lega untuk satu tahun di Petebang. Satu tahun penuh konflik yang kemudian memulai babak baru bertema kerja sama. Saya sekarang bisa berkata, senang tidak meninggalkan mereka dulu dan memilih karir yang lebih baik.

Terakhir kunjungan saya adalah bertemu dengan Pak Wanto, kader desa SDN Petebang. Mendengarkannya bercerita jatuh dari motor, soal calon bupati pilihannya yang kalah, atau ketidaktahuan saya bahwa saat rapat di Ketapang, beberapa kepala desa menghabiskan waktu dengan minum-minum. Saya hanya tersenyum menggelengkan kepala. Cerita Pak Wanto kemudian berlanjut dengan cerita kepala desa sudah siap memberikan dana talangannya. Bahwa saya tidak perlu khawatir, pertemuan bulanan penilaian dan diskusi kesepakatan pelayanan pendidikan dapat dilakukan secara mandiri. Huhhh…. Apakah saya benar-benar lega?, saya tidak bisa mendefinisikan dengan pasti. Hanya saja, di titik ini, hal inilah upaya terbaik yang bisa saya lakukan. Bagaimana mereka kelak, saya percaya ketika sama-sama punya kepentingan baik untuk anak-anak, pasti akan selalu mudah untuk berjalan beriringan.

WP_20160126_004[1].jpg

Dan membayangkan alam Petebang yang sejuk, membuat malam saya lebih baik. Bahwa seburuk apapun jalan munuju Petebang, saya selalu bisa mengambil nafas panjang dan bersyukur kepada Tuhan karena memberikan udara, langit, dan alam seindah itu. Mengingatkan saya kembali malam ini, selepas hujan yang deras, biasanya akan muncul pelangi untuk dinikmati. Lalu masalah dan rasa marah, bukankah akan berlalu ketika dekat masa kadaluarsanya.

Benar… menulis, membuat perasaan lebih lega 🙂

Previous Older Entries Next Newer Entries