Rangga dan Pengingat

“Saya ingin jadi tentara Enci, masih sama seperti dulu” Ucap Rangga di pantai saat aku kembali lagi ke Desa Moilong.

Selalu ada yang sama dari Rangga, anakku yang sekarang duduk di kelas 1 SMP. Tidak banyak cakap dan lebih sering mengamati sekitarnya.

Saat aku mengingalkan Moilong dulu, Rangga masih kelas tiga SD, setiap sore ia akan pergi ke sekolah entah membaca atau hanya sekadar bermain. Rangga dan adiknya Sindi adalah orang yang selalu konsisten menenaniku pergi sembahyang dan mengaji di mesjid.  

Dulu, Rangga memberikan kado paling bermakna untukku sebagai tanda perpisahan.  Sebuah Al-Quran tua, bertuliskan namanya dan dibungkus dengan kertas koran.  Perasaanku selalu damai jika menyentuh hadiah ini, membayangkan Rangga kecil dengan ketulusannya memberikan yang dia punya untuk Encinya yang beranjak pergi.

Rangga belum berubah, di usianya yang beranjak remaja, mesjid adalah salah satu tempat persinggahan kesehariannya dan mengaji masih menjadi kebiasannya.  

Rangga adalah  pengingatku untuk memberikan yang terbaik dikondisi seturpuruk apapun. Saat Rangga duduk di kelas enam dan sedang ada ulangan, ibunya meninggal karena sakit. Rangga menyelesaikan ujiannya sampai selesai,  baru meminta izin untuk meninggalkan sekolah. Tidak banyak yang tau bahwa Rangga sebenarnya menangis saat  berlari pulang.

Rangga adalah simbol akan semangat dan kebermaknaan untukku.  Akan kuambil nafas panjang, kutatap fotonya di meja kantorku, dan kuingat lekat semua tentang Rangga saat aku lelah dengan pekerjaan, bertanya banyak hal tentang hidup, mencari rupa tentang Tuhan atau sekadar bernostalgia betapa bahagianya saat aku menjadi seorang Enci .

Malam ini, Rangga mengingatkanku kembali untuk lebih bersyukur, dan menampar dengan keras bahwa ada makna mengapa seseorang dilahirkan di dunia ini. Bahwa mungkin untuk memberikan kebermanfaatan untuk manusia lainnya.

Rangga, terimakasih untuk terus menjadi pengingat Enci.

 

 

Tinggalkan komentar