Mengumpulkan Koin Sosial

Mengumpulkan Koin Sosial

Koin sosial dan belanja sosial pertama kali dikumandangkan oleh teman sepenempatan saya  dulu di Banggai, dan sekarang cukup populer di teman-teman satu tim saya di Ketapang. Jika merujuk kepada belanja sosial dalam konteks pekerjaan saya sekarang berarti akan menghabiskan sekian banyak energi (entah rela atau terpaksa) kepada pihak-pihak tertentu seperti kepala desa, tokoh agama, tokoh masyarakat, guru-guru, ataupun orang tua. Kalau boleh jujur sodara-sodara!, belakangan ini sangat melelahkan,  koin saya untuk belanja benar-benar mau habis, bahkan kalau bisa ngutang mau deh ngutang!!

Kadang saya mikir, lebih baik mana?! Bermuka masam atau  berwajah palsu?? Dengan wajah sengak kemudian berkata “husss sana, jangan ganggu saya, gak liat apa saya gak pengen diganggu” atau saya mengambil nafas panjang, memasang kuping yang lebar, lalu tersenyum sambil berkata “lalu bagaimana ceritanya?”. Pilihan yang sulit rupanya!. Hasilnya, dalam seminggu ini, saya kemudian lebih memilih bolak balik desa kecamatan untuk memberikan jeda kepada diri sendiri untuk mengendapkan apa yang saya dapat dan mengikis-ngikis koin sosial di perjalanan pulang saya.

“Mbk…gak capek ya bolak-balik ke Tumbang Titi, kenapa gak nginep aja si”, ucap mbk Ati kepada saya. “Ndak mbk, soalnya ada yang saya harus kerjakan di Tumbang Titi”, jawab saya singkat.  Kau boleh jujur si ya… Pasti sangat melelahkan…perjalanan udah kaya syaitan gitu, beberapa titik masih basah dan berlumpur, kemaren malah saya jatuh lagi (ditambah sandal cantik saya yang putus), kadang berdebu tebal kadang gerimis selebat-lebatnya…tapi hidup memang pilihan,  saya ternyata lebih membutuhkan waktu sendiri dari pada harus tinggal di desa

Saya paham si sekarang, kenapa teman sepenempatan saya rela naik dari Luwuk ke desanya, lalu turun lagi dalam hari yang sama ketika site visit dulu. Katanya sambil mendengarkan lagu sendiri dan menikmati perjalanan. Ya, mungkin itulah yang saya perlukan hari-hari gila belakangan ini. Saya senang bisa berangkat pagi-pagi, menikmati segarnya perjalanan sambil memutar play list saya, melewati kampung-kampung, hutan, deretan sawit, ditambahnya susahnya jalan tentunya. Lalu pulang mengambil rute yang berbeda sambil berfikir apa yang sudah saya dapatkan pada interaksi terbatas saya hari ini. Mungkin melelahkan mengabiskan kurang lebih  3 jam perjalanan setiap harinya, tetapi ketika saya ingat bahwa sampai rumah ada ruangan kecil yang berantakan, tetangga kecil saya yang menyenangkan, menikmati kuah asam ibu yang menjadi favorite saya, atau sekadar berceloteh ringan di blog ini tanpa ada yang mengganggu saya. Rasanya koin sosial untuk belanja lagi besoknya mulai terisi lagi.

Jadi apakah ini wajar?, sementara saya bisa memilih lebih relaistis dengan badan saya. Ha… saya juga tidak tau. Sepertinya nanti saya memang harus cari tukang pijet si ya. Refleksi terbesar apa yang saya pahami belakangan?, saya menjadi membayangkan bagaimana lelahnya guru-guru yang dari luar desa yang menempuh perjalanan sulit setiap harinya untuk sampai di desa. Mereka yang tidak punya rumah, atau memilih untuk tidak menetap entah karena alasan apa, bisa jadi kenyamanan seperti yang saya rasakan sekarang. Bagaimana mana mereka bisa optimal mengajar, jika perjalanan yang ditempuh semelelahkan ini?. Pertanyaan yang samapun saya ajukan kepada diri sendiri?!!!

Tinggalkan komentar